Pada masa Perang Dunia I, di Perancis banyak Laki-laki yang gugur. Semula mereka melarang poligami, namun kemudian berubah menjadi menganjurkan untuk berpoligami…
Hal ini dikarenakan, bagaimana nasib para janda tersebut ? dan bagaimana pula nasib anak-anak yatim itu ? Jika Poligami masih tetap dilarang…
Jadi sebenarnya ada situasi tertentu secara perorangan atau dalam masyarakat, poligami bisa dibenarkan…
Poligami memang persoalan yang penuh kontroversial. Kita sering mendengar, banyak rumah tangga yang hancur, gara-gara sang suami nekad kawin lagi. Namun, sering kali kita juga mendengar, tentang Kisah Poligami yang Sukses.
Bagaimana sesungguhnya Poligami itu ?
Benarkah Poligami itu Sunnah ?
Ketika membahas persoalan yang berkaitan dengan Poligami, Ustadz Quraish Shihab menulis:
Poligami itu dibolehkan oleh agama, selama yang bersangkutan memenuhi persyaratan, yaitu yakin atau diduga keras dapat berlaku adil. Dan keadilan yang dituntut adalah keadilan di bidang materi bukan keadilan di bidang hati. Poligami bukan perintah, tetapi izin. Bedakan perintah dengan izin. Poligami bukan perintah, bukan sunnah, bukan pula anjuran, akan tetapi boleh kalau memenuhi persyaratan (sumber : Forum Swaramuslim dan Kajian Lintas Agama).
.
Kisah Imam Hanafi dan Poligami
Dahulu, ada salah seorang penguasa dinasti Abbasiyah yang isterinya tidak senang pada suaminya, dikarenakan suaminya baru kawin lagi. Maka dia mengadukan hal ini kepada Khalifah, yang bernama Abu Mansyur.
Lalu Khalifah berkata, “Baiklah, kita mengundang seorang ulama besar yang bernama Abu Hanifah atau Imam Hanafi.”
Diundanglah ulama tersebut. Mereka hadir bertiga dalam diskusi. Sang suami, bertanya kepada ulama tersebut, “Berapa banyak seorang laki-laki diperkenankan untuk kawin ?“.
Maka Abu Hanifah menjawab, “4 orang isteri“. Suami kemudian berkata dan melirik kepada isterinya, “Nah kamu udah dengar tuh“.
Isteri menjawab, “Ya saya sudah dengar. Bolehkah seseorang keberatan jika suaminya kawin lebih dari satu ?“.
Imam menjawab, “Tidak boleh karena itu ketetapan Tuhan“. Suami berkata lagi kepada isterinya, “Dengar tuh“.
Kemudian Imam berkata, “Tetapi wahai penguasa, Tuhan itu menetapkan harus adil. Dan bagi yang tidak mampu adil sebaiknya mengikuti tuntunan Tuhan, supaya cukup satu“.
Isterinya yang mendengar ini berkata balik kepada suaminya, “Dengar tuh“.
Selesai diskusi, beberapa hari kemudian, sang isteri kemudian mengirim hadiah kepada Imam Hanafi. “Terima kasih, engkau sudah menasehati suamiku“.
Imam kemudian mengembalikan hadiah itu, dan dia berkata “Saya berucap menyampaikan hal itu, bukan berbasa-basi kepada kamu. Tetapi saya menyampaikan, inilah pandangan saya tentang poligami yang saya pahami dari Al Quran“.
.
Dalil Berpoligami
Al-Quran surat Al-Nisa’ [4]: 3 menyatakan :
Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (dalam hal-hal yang bersifat lahiriah jika mengawini lebih dari satu), maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Ayat itu turun karena ada orang-orang yang sedang memelihara anak-anak yatim yang kebetulan anak-anak yatim itu cantik, masih muda dan punya harta. Mereka ingin mengawini anak-anak yatim itu, atau juga ingin mendapatkan hartanya namun dengan tidak ingin membayar maharnya yang sesuai. Itu namanya mereka tidak berlaku adil.
Karena itu, Allah melarang para pengasuh anak yatim ini, “Kamu harus berlaku adil, kalaupun kamu ingin mengawininya lantas tidak berlaku adil, maka kawinilah perempuan yang lain, karena anak-anak yatim itu lemah.“
Ayahnya sudah meninggal sehingga tidak ada yg membela dia, tetapi kalau perempuan yang lain, mereka masih punya orang tua yang bisa membela dia dan sebagainya.
Atas dasar ayat ini, Nabi Saw. melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang istri bagi seorang pria. Ketika turunnya ayat ini, beliau memerintahkan semua yang memiliki lebih dari empat orang istri, agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal, setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita.
Imam Malik, An-Nasa’i, dan Ad-Daraquthni meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda kepada Sailan bin Umayyah, yang ketika itu memiliki sepuluh orang istri. Pilihlah dari mereka empat oranq (istri) dan ceraikan selebihnya.
Di sisi lain ayat ini pula yang menjadi dasar bolehnya poligami. Sayang ayat ini sering disalahpahami. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang orang lain memakan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya, “Jika Anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan Anda selama Anda tidak khawatir sakit“.
Tentu saja perintah menghabiskan makanan yang lain hanya sekadar untuk menekankan larangan memakan makanan tertentu itu.
Pertanyaan pertama yang kemudian muncul adalah : Kalau ayat ini turun berkaitan dengan pengasuh anak-anak yatim yang ingin mengawini mereka itu yang kemudian dilarang karena khawatir mereka tidak bisa berlaku adil tapi kemudian diperbolehkan untuk berpoligami dengan wanita lain, maka apakah izin poligami ini hanya berlaku pada pengasuh anak-anak yatim ?
Kalau jawabannya hanya berlaku pada pengasuh anak-anak yatim seperti ada yang berpendapat seperti ini, itu keliru, karena sahabat-sahabat Nabi pun yang tidak memelihara anak yatim ternyata berpoligami.
Pertanyaan kedua : Berapa banyakkah berpoligami itu, karena dikatakan “dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat” ? Berapakah jumlahnya ? Bolehkah 18 (dari 2+2+3+3+4+4) ?
Bukan itu maksudnya. Tidak boleh 18. Ataukah bolehkah 9 (dari 2+3+4=9) ? Tidak boleh 9. Nabi menjelaskan maksimal 4 orang isteri. Kita lihat lebih jauh di ayat itu, “Kalau kamu takut (khawatir) tidak berlaku adil“.
Kita kaji seperti berikut :
1. Kalau yakin tidak adil bolehkah ? Tidak boleh.
2. Kalau menduga keras tidak berlaku adil, bolehkah ? Tidak boleh.
3. Kalau ragu bisa berlaku adil atau tidak ? Ada ulama yang menjelaskan kalau dia ragu, itu boleh. Namun sebaiknya, orang yang ragu meninggalkan keraguannya menuju yang baik. Jadi kalau ragu, mestinya tidak boleh.
4. Kalau yakin bisa berlaku adil bolehkah ? Boleh.
5. Kemudian apakah boleh itu berarti perintah atau hanya sekedar boleh ? Itu boleh saja. Istilah dalam bahasa agama, itu mubah/boleh. Bukan sunnah, bukan wajib, bukan makruh tapi mubah/boleh.
6. Sekarang kalau menduga keras bisa berlaku adil ? Boleh, tapi syaratnya adil.
Apa yg dimaksud kemudian dengan adil ? Jadi sebelum berpoligami, harus melihat dulu diri kita. Kira-kira mampu berlaku adil atau tidak. Melihat diri itu, berarti mempelajari diri dari segi ekonomi dan dari segi jasmani pula. Jangan sampai Anda sakit2an mau berpoligami, bisa tidak adil. Lalu pelajari dari segi mental.
Ada orang kaya yang sehat jasmaninya tapi boleh jadi terlalu cenderung kepada isteri muda, walaupun uangnya banyak kecendrungan hatinya terlalu padanya maka ini namanya juga tidak berlaku adil. Kalau syarat-syarat ini memenuhi, maka ketika itu bolehlah berlaku adil dan dibolehkanlah poligami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar