Beberapa waktu yang lalu, saya mendengarkan curhat seorang teman. Seorang teman yang terlibat percintaan dengan pria yang sudah beristri. Selama ini saya selalu mencibir atau membentuk senyum sinis pada sudut bibir saya jika mendengar atau membaca cerita tentang hal demikian. Tapi kali ini tidak. Karena saya melihat sendiri betapa teman saya begitu terluka, bahkan sampai saya tak tahu harus memberi saran apa karena melihat sorot matanya yang putus asa dan rapuh.
Setiap orang yang pernah terlibat dalam affair seperti ini pastilah punya alasannya masing-masing. Entah alasan itu berupa fakta yang logis dan rasional, atau sekedar pembenaran emosional belaka. Dengan dalih baru tahu belakangan kalau sang pria sudah beristri dan sudah terlambat untuk menghentikan perasaan cinta yang menggebu-gebu, atau bahkan sudah tahu dan sadar sejak awal bahwa hubungan itu berjenis affair yang dibangun di atas ketidak-seharusan. Dan saya tak pernah sekali pun menanyakan apa yang sedang terjadi antara dia dan pacarnya yang juga suami orang lain.
Teman saya menggambarkan dengan detail bahwa perasaannya hancur ketika mengingat waktu yang terus berjalan, bukan berhenti saat ini dimana dia merasa bisa memiliki laki-laki itu untuk dirinya sendiri. Hatinya tersayat sekoyak demi sekoyak bersama detik waktu yang berlari maju. Maju dan semakin meninggalkan dia dalam palung cinta kemustahilan yang semakin curam dan curam.
Dia mengatakan cukup tahu diri dan tidak tega untuk meminta laki-laki itu memilih diantara dia dan sang istri. Saya memahaminya...., meski terlihat keras, tapi soal cinta, semua indera kadang menjadi tak mencecap atau bahkan menjadi terlalu sensitif. Dia tidak tega terhadap istri affairnya karena merasa sama-sama perempuan dan menurutnya sama-sama tersakiti. Well, saya pikir ini memang tidak adil untuk kedua perempuan ini.
Menjadi seorang istri yang suaminya punya affair sungguh merupakan situasi yang tidak pernah diinginkan perempuan mana pun juga. Demikian pula, menjadi seorang perempuan selingkuhan juga mengalami siksaan batin, masih ditambah stigma negatif yang selalu menempel di belakang predikatnya. Perempuan selingkuhan, penggoda suami, penghancur rumah tangga, atau perebut suami orang. Hm... membayangkannya saja saya sudah ikut sakit hati. Untuk siapa? Untuk keduanya.
”Jadi kapan kamu mau menyudahinya, Non? Sudah cukup kau bermain api. Separuh renda di ujung gaunmu sudah mulai terbakar.” Tanya saya padanya sambil melihatnya menghembuskan asap tipis hasil dari hisapan pendeknya.
“Aku tidak main api. Aku hanya mengikuti lambaian hatiku. “ jawabnya sangat lirih sambil matanya menatapku lurus, mencoba meyakinkanku kalau dia baik-baik saja.
“Baiklah, kalau kamu tak mau kubilang bermain api. Apa mau aku bilang kamu bermain air? Kamu bermain-main dengan kecipak air di pinggiran sungai, dan tanpa kamu sadar kamu sudah ada di tengah-tengah sungai dengan arus yang semakin deras? Api, air, atau apalah itu, you name it, yang jelas kamu sudah terlalu masuk ke dalam hal yang tidak seharusnya terjadi. Terbakar hangus, tenggelam, atau hancur. Itu suatu keniscayaan yang akan kamu dapat, Non.” Kata saya sambil menatap matanya lebih tajam, berusaha meyakinkannya kalau dia tidak baik-baik saja.
Terngiang di telingaku pembenaran-pembenaran yang pernah dikatakan teman saya ini, ” Dia menikah tanpa cinta, kehidupan pernikahannya datar dan tidak bahagia, keseharian hanyalah melakukan tanggung jawab semata.”
Waktu dia mengatakannya beberapa waktu yang lalu, saya hanya diam sambil memperhatikannya memainkan sendok ice-cream. Tiba-tiba kali ini saya ingin menjawabnya, “Non, apa pun yang dia katakan tentang kehidupan perkawinannya, whatever-lah itu, yang jelas itu semua bukan urusanmu! Itu masalah intern rumah tangga mereka. Apa kamu sadar bahwa dengan masuknya kamu dalam kehidupan mereka, itu membuat kehidupan mereka semakin kehilangan cinta, semakin datar, semakin tidak bahagia, dan semakin menyiksa? Semua jauh lebih baik sebelum kamu datang. Itu pasti.”
Teman saya mengangguk kecil, dia tahu saya benar. Dan saya senang dia masih belum kehilangan akal sehatnya. “Aku tak mau mendengar kamu ngomong bahwa kamu akan mengakhirinya. Pikirkan itu.” Pesan saya sebelum sebelum saya meninggalkan rumahnya yang terkesan tua, rapuh tapi tetap angkuh.
Teman saya menghempaskan tubuhkan tepat di sebelah saya, di sofa nyaman di suatu café tempat saya menunggunya setelah sebelumnya janjian via sms. Dari raut wajahnya yang cerah, saya berasumsi bahwa dia sedang mengalami hari yang menyenangkan. Tapi bagi saya ini tidak menyenangkan, karena hari yang menyenangkan bagi teman saya adalah kebersamaan, kemesraan, dan keiintiman dengan suami orang. Saya mencium aroma yang tidak saya sukai. Sesuatu yang semakin tak terkendali pada dirinya.
“Tequila Sunrise, 3 shots.” Pesannya pada waitress.
“Kamu nggak waras!” bentak saya.
Tetapi bentakan saya langsung berubah menjadi pelukan support ketika dari mulutnya keluar kata-kata. “ Saya sudah mengakhirinya. ‘Sudah’, bukan ‘akan’ seperti yang kamu bilang. I won.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar