




Semua manusia pasti memiliki masalah dan ujian dari apa yang dimintanya pada Sang Maha Hidup penguasa semesta alam. Minta pendidikan sekolah ya jadi pusing akan urusan belajar dan mencari dana. Minta istri, ya jadi punya tanggungjawab mengurusi. Minta jabatan, ya jadi tambah beban pekerjaan. Minta istri, dan akhirnya dapat istri, ya jadi tambah job menghidupi dan melindungi pasangan. Minta anak ya akhirnya tambah urusan membesarkan hingga dewasa. Minta istri lagi… nambah, yah panci sama dandang akhirnya gedebukan. Dan seterusnya.
Semua masalah akan datang silih berganti laksana kita menonton film bioskop dengan berbagai kisah. Ketika mengalami kisah kehidupan yang sedih, akhirnya tertanam dengan perasaan haru biru penuh sesak tangisan dalam hati. Ketika mengalami kisah kehidupan yang gagal diputus cinta sebelum sempat berpacaran…akhirnya tertanam kesedihan penderitaan mendalam. Ketika mengalami kisah gagal bersaing karir di kantor… akhirnya tertanam kegagalan dalam diri dan terus berkelanjutan.
Apapun kisah kehidupan yang disaksikan di layar bioskop kehidupan maupun dialami sendiri, tanpa disadari akan menjadi programming mindset tertanam dalam alam bawah sadar, hati, dan mengalir ke seluruh sel-sel DNA dalam darah serta seluruh organ tubuh. Dan jadilah program yang menarik elemen sejenis, bekerjalah hukum law of attraction. Sepanjang kehidupan akan menemui kisah-kisah sesuai apa yang tertanam dalam program tubuhnya.
Dalam perjalanan menemui ribuan kasus, ada sahabat yang benci sekali dengan ayahnya hingga seumur 40an tahun, ternyata itulah program yang tertanam karena sang ibunya sangat benci sekali dengan ayahnya ketika dia dalam kandungan. Program mindset menular karena koneksi hubungan batin.
Banyak sahabat yang hidupnya selalu mellow, sedih, karena tanpa disadari pernah mengalami kisah kesedihan, dan akhirnya datanglah semua kesedihan yang dialami sepanjang waktu. Hobinya pun jadi seneng nonton sinetron yang penuh deraian air mata.
Juga ada sahabat yang sakit kakinya, stroke, karena tanpa disadari terkoneksi menyaksikan orang lain yang sakit kakinya tersebut. Terkoneksi tanpa disadari karena perasaan benci dan sering mengomentari orang lain tersebut.
Kisah Orang tua yang selalu gagal, penuh pegolakan rumah tangga akhirnya terkoneksi terekam dan menjadi program bagi sang anak dan akhirnya jadilah kemudian mengalami masalah rumah tangga yang sama seperti dialami orangtuanya.
selengkapnya baca di :
http://mahakosmos.com/masalah-tidak-akan-pernah-menjadi-masalah-biasa-aja-tuh.phpKOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,
“fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.
wa qad khaaba man dassaaha
…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya
…)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.
***
Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,
“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq
…”
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar
…)
***
Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”
“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
“Bagaimana, kau terima atau…?”
“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”
“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”
***
Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be…benarkah?”
“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir!”
“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,
“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.
***
Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
“Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”
“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.
***
Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,
“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”
Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.
***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.
“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.
Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.
Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”
Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,
“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”
***
Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,
“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.
***
Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,
Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum
Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.
Wassalam
Afirah
===============================================================
Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :
Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :
“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”
Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam,
Zahid
===============================================================
Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.
Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :
Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.
Wassalam,
Afirah
===============================================================
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.
Diambil dari buku dengan judul yang sama karya Habiburrahman El Shirazy.
Uang seringkali menjadi penyebab terjadinya perceraian. Perselisihan mengenai keuangan bisa saja terjadi disaat uang melimpah maupun disaat kekurangan uang. Masyarakat Indonesia merasa risih bila harus membicarakan masalah keuangan dalam keluarga. Oleh karena itu kami merasa perlu untuk terus menyerukan kepada semua kalangan masyarakat terutama pasangan suami istri untuk belajar saling terbuka mengenai keuangannya masing-masing. Kami sangat percaya bahwa setiap orang memiliki pandangan mengenai uang yang berbeda-beda karena suami atau istri dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Kegagalan dalam membicarakan soal uang di dalam keluarga berpotensi menimbulkan permasalahan.
Banyak orang merasa bahwa membicarakan keuangan dalam keluarga adalah tabu. Namun menurut hemat kami, hal ini malah seharusnya dibicarakan. Kalangan ini pernah berpikir, Apakah dengan membiarkan persoalan keuangan dalam keluarga belarut-larut akan menyelesaikan segalanya? Atau bisa menjadi bola salju yang terus membesar? Persoalan kecil bisa menjadi besar bila tidak diatasi dan diselesaikan dengan bijak. Oleh karena itu dalam hal keuangan keluarga sangat dibutuhkan sebuah pola pengelolaan dimana masing-masing individu di dalam keluarga (suami dan istri) memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Dengan pembagian tanggung jawab serta diskusi yang mendalam dapat meringankan persoalan yang mungkin timbul di masa depan.
Berikut ini ada tiga tipe pengelolaan yang bisa Anda pilih sesuai dengan keinginan Anda bersama pasangan Anda. Tentunya masih banyak lagi pola pengelolaan yang ada. Hal terpenting disini adalah saling keterbukaan serta menjalani kehidupan keluarga dengan tanggung jawab bersama.
1. Uang bersama dan Sistem Amplop
Penghasilan suami istri langsung digabung bersama. Setelah itu, gabungan kedua pendapatan langsung dialokasikan ke pos-pos pengeluaran rutin yang telah dihitung lebih dulu. Lazimnya, setiap pos diwakili oleh satu amplop. Pos-pos pengeluaran itu, pada beberapa keluarga, bukan saja kebutuhan rumah tangga makan minum, dan listrik saja, tapi juga termasuk membayar kredit rumah, cicilan mobil, listrik, telepon, uang sekolah anak, asuransi dan kebutuhan mobil (bensin, servis berkala, kerusakan, dan lain-lain). Bahkan tabungan, pengeluaran pribadi ayah-ibu dan liburan pun jadi amplop tersendiri. Bila ada sisa, dimasukkan ke dalam tabungan suami atau istri, atau khusus membuka lagi account bersama di bank untuk ‘menampung’ sisa amplop setiap bulannya.
2. Membagi Berdasar Persentase
Bentuk manajemen ini adalah membagi tanggung jawab dalam bentuk jumlah atau persentase Seluruh kebutuhan keluarga setiap bulan dihitung termasuk pos darurat dan pos tabungan. Masing-masing sepakat menyumbang sebesar jumlah tertentu untuk menutupi kebutuhan tersebut. Sisanya digunakan sebagai tabungan pribadi untuk kebutuhan pribadi. Misalnya, istri membeli parfum, lipstik, atau baju. Bisa juga tanpa menghitung kebutuhan keluarga terlebih dahulu, suami-istri memberi kontribusi yang sama berdasarkan prosentase. Misalnya 80:20. Artinya, masing-masing “menyetor” 80 persen dari gajinya. Sisa 20 persen disimpan untuk diri sendiri. Jika bisa berhemat, dari uang bersama yang 80 persen, bisa tersisa untuk tabungan keluarga, di samping suami dan istri juga masing-masing punya tabungan pribadi.
3. Membagi Tanggung Jawab
Misalnya, suami mengeluarkan biaya untuk urusan “berat”, seperti membayar kredit rumah, cicilan mobil, listrik, telepon, uang sekolah anak, kebutuhan mobil, dan asuransi. Sementara bagian istri adalah belanja logistik bulanan, pernak-pernik rumah, jajan, dan liburan akhir pekan dan pos tabungan. Dilihat dari jumlahnya, suami menanggung lebih banyak dana. Tapi istri juga punya peranan dalam kontribusi dana rumah tangga. Kalau ternyata istri yang memiliki pendapatan lebih besar, tentunya hal ini juga bisa dilakukan sebaliknya.
Mana yang terbaik? Hal ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan dan tentunya kesepakatan antara suami dan istri. Diskusikan hal ini dengan pasangan masing-masing, agar persoalan keuangan keluarga bukan lagi menjadi masalah dalam keluarga.
Kalau istri tidak bekerja? Bagaimana?
Ketiga contoh diatas merupakan pola alokasi dari pendapatan suami dan istri. Dimana suami dan istri bekerja dan menghasilkan pendapatan secara regular setiap bulannya. Bagaimana pula bila hanya suami atau istri yang bekerja? Sedangkan pasangan yang lainnya tinggal di rumah?
Bila hal ini yang menjadi pola keuangan di keluarga Anda tentunya akan sangat baik bila Anda dan pasangan Anda membicarakan tugas serta tanggung jawab masing-masing. Mungkin Anda sebagai suami karena bekerja yang berusaha memenuhi semua kebutuhan keluarga. Sedangkan istri yang tinggal di rumah bertanggung jawab dalam hal rumah tangga, mulai dari persoalan belanja regular bulanan sampai alokasi tabungan (dari pendapatan suami) untuk berbagai macam tujuan keuangan keluarga yang dimiliki. Dalam hal ini istri harusnya seperti manejer dalam sebuah perusahaan.
Dengan membagi tanggung jawab bersama, suami tidak lagi merasa lebih dibandingkan istri. Karena kedua individu dalam keluarga tersebut memiliki tanggung jawab masing-masing. Untuk itulah keterbukaan dan diskusi mengenai keuangan menjadi sangat dibutuhkan.
Tiga hal penting dalam mengelola keuangan bersama
Pertama, pembagian kerja sangatlah dibutuhkan dalam hal mengatur keuangan. Contoh singkatnya, siapa yang membayar semua kebutuhan sehari-hari rumah tangga. Misalkan Anda sebagai istri yang harus membayarnya maka suami dalam hal ini harus mentransfer dana yang cukup setiap bulannya untuk memenuhi semua kebutuhan keuangan keluarga.
Bila Anda memutuskan untuk mendelegasikan satu orang untuk membayar semua tagihan bulanan keluarga maka hal penting yang harus diperhatikan adalah kejujuran. Dimana Anda berdua haruslah terbuka satu dengan yang lain berkenaan dengan permasalahan uang. Jangan sampai bila Anda menggunakan rekening bersama dan salah satu dari Anda mengambil dana dalam jumlah besar dan tidak mengatakan kepada pasagan Anda. Begitu pasangan Anda membutuhkan untuk hal yang sangat penting ternyata dan yang tersedia tidak mencukupi.
Kedua, pengeluaran yang disepakati menjadi sangat vital. Anda berdua harus mencapai kata sepakat dalam merencanakan pengeluaran. Hal ini biasanya berkaitan dengan pengeluaran yang tidak tetap, misalkan keputusan untuk mengganti mobil dengan yang baru setelah beberapa tahun? Atau apa yang Anda berdua pikirkan berkenaan dengan liburan? Sebagai kesimpulan, Anda harus membicarakan dan bersepakat dalam kebutuhan yang harus dipenuhi, apa yang menjadi keinginan bersama dan apa yang dapat Anda penuhi.
Hal terakhir yang menjadi sangat penting adalah menabung. Dalam hal ini visi kedepan menjadi sangat penting. Dimana dengan tujuan yang Anda dan pasangan tentukan akan memberikan motivasi serta pemilihan strategi yang dapat membantu Anda mencapai tujuan masa depan yang dimiliki. Dengan begitu Anda juga akan melihat pentingnya pengalokasian dana saat ini dan dimulai saat ini juga.
Demikianlah ulasan singkat seputar uang dalam kaitannya dengan hubungan suami istri di dalam keluarga. Semoga memberikan masukan dan tambahan ilmu bagi Anda.
Muhamad Ichsan, ChFC, MsFin
Sumber Pembelajar.com
* Muhamad Ichsan, ChFC, MsFin, adalah parkitisi dan akademisi di bidang perencanaan keuangan. Ia adalah Managing Partner pada PrimaPlanner dan Direktur Program IFPI, serta mengajar di Ubinus dan STAN. Ichsan dapat dihubungi melalui email: ichsan02@yahoo.com
Aku seperti orang bodoh dan buta, yang tak tahu menahu tentang kenyataan masa lalunya yang teramat kelam. Yang aku tahu, aku adalah anak dari orang tua yang baik-baik, berada, dan berpendidikan. Siapa yang menyangka bila ternyata sesungguhnya aku adalah anak dari orang tua bejat yang tidak berpendidikan.
Ironisnya, semuanya aku ketahui justru saat menjelang masa perkawinanku dengan kekasih hatiku, karena menurut agama yang aku anut, seorang perempuan yang mau menikah, harus dihadiri oleh wali perempuan. Apabila ayahnya masih hidup, dialah yang harus menjadi wali penikahan kami.
Sebenarnya sedari awal aku sudah tahu bila orangtua yang membesarkan aku dan mengasihi aku sepenuh hati saat ini adalah orangtua angkat. Dan aku tak pernah mempermasalahkannya. Aku juga tak perduli bila dulunya aku dipungut dari panti asuhan atau dari tempat sampah sekalipun. Aku sudah cukup bersyukur dan bahagia dengan semua yang sudah aku dapatkan dari orangtua angkatku itu. Sebagai anak tunggal, bahkan bisa dibilang, hidupku sudah lebih dari cukup. Kasih sayang, pendidikan, dan segalanya yang membuatku menjadi anak yang beruntung.
Tapi petaka itu datang. Saat itu, begitu aku mengutarakan untuk menikah dengan pacarku yang putra seorang dosen, orangtuaku langsung tanggap. Mereka memberikan beberapa pengertian di dalam agama yang mengharuskan kehadiran ayah yang masih hidup dalam perkawinan anak perempuan.
Aku pasrah saja. Toh sebenarnya aku juga penasaran ingin tahu, seperti apasih kehidupan keluarga asliku? Sekaligus aku ingin tahu, motivasi apa yang membuat mereka berusaha “menyingkirkan’ aku. Meski aku sudah bisa menebak, mereka pasti dari kalangan keluarga yang secara social ekonomi kurang berkecukupan, namun apa salahnya aku bila bisa bertatap muka dengan mereka.
Dengan diantar kedua orangtua angkatku, akhirnya aku sampai juga di sebuah desa kecil, di sebuah kabupaten yang tidak terlalu terkenal di Jawa Tengah. Seperti yang sudah kuduga, rumah yang kami tuju, hanyalah sebuah rumah sangat sederhana yang berada di pinggiran desa. Bahkan bisa dibilang tak layak huni.
Setelah mengetuk pintu kayu rumah itu, dan tak ada jawaban, tiba-tiba muncul anak perempuan, kira-kira usianya 15 tahun dari samping rumah. Ibu angkatku menanyakan nama seseorang kepada anak itu. Namun, menurut keterangan anak itu, nama yang ditanyakan ibu angkatku sudah lama diusir dari kampung itu. Begitu juga nama seorang perempuan-yang mungkin nama ibuku, juga telah lama ‘minggat’ dari kampung situ. Tak ada satupun orang yang tahu keberadaan para anggota keluarga yang telah bercerai berai itu. Artinya, hilang sudah jejak orang itu!
Meski diutarakan dalam bahasa Jawa, tapi sedikit banyak aku tahu apa yang dibicarakan mereka. Kurang lebih begini …“O Pak Nono (bukan nama sebenarnya) … sudah lama sekali diusir warga bu. Soalnya, habis menghamili anaknya itu, dia sering bikin rusuh kampung. Bahkan istrinya sendiri hamper dicekiknya …” kata perempuan muda itu.
Tiba-tiba, hatiku bergetar hebat. Orang macam apa sebenarnya yang tengah dicari orangtua angkatku itu? Siapa yang disebut sebagai orang yang habis menghamili anaknya, bikin rusuh kampung, dan hampir mencekik istrinya itu? Jangan-jangan … dia yang disebut-sebut sebagai ayahku kandungku itu.
Dan benar sekali! Seperti yang diutarakan orangtua angkatku, memang seperti itulah gambaran orang tua asliku. Yang lebih tragis, akulah anak hasil hubungan terlarang antara ayah dengan anak kandungnya itu. Artinya, aku adalah anak sekaligus cucu kandung ayahku! Ya Tuhan … kenyataan macam apa ini? Aku bahkan hampir-hampir pingsan mendengar kejujuran yang diungkapkan ibuku yang dulunya adalah pegawai kantor Dinas Sosial yang pernah ditugaskan di wilayah itu. Karena tidak memiliki anak dan ingin menghindarkan aku dari beban social psikologis, mereka mengadopsi aku. Alasan itu jugalah yang membuat mereka akhirnya memasukkan aku ke fakultas psikology sebuah universitas swasta di Jakarta.
Aku tak tahu apa yang harus kuungkapkan, apa yang akan kukatakan pada keluarga kekasihku yang sangat menjunjung tinggi bibit, bebet, dan bobot calon anggota keluarga mereka. Ibu angkatku bahkan menyerahkan sepenuhnya kepadaku tentang pilihan yang harus kujalankan. Dia hanya menyarankan agar aku berkata jujur … Tapi mana aku kuat atau mampu menghadapi risiko terburuk dalam hidupku bila nantinya kekasih dan keluarganya tak mau menerima kenyataan ini … Aku benar-benar bingung …
Sampai kini aku masih belum mengerti apalagi memahami dosa, karma atau kutukan macam apa yang menimpa diriku ini. Setahuku, aku tak pernah berbuat jahat atau menyakiti orang lain. Tapi mengapa peristiwa demi peristiwa yang kualami selama beberapa tahun terakhir bagaikan rentetan kutukan yang sedang menuntut balas atas satu tindakan buruk yang pernah kulakukan. Kehilangan nyawa seorang anak mungkin bukanlah suatu yang aneh. Bahkan, meski menyakitkan, semua orang pada akhirnya akan memahami itu sebagai takdir yang tidak bisa dielakkan ..Tapi yang kualami bukan hanya sekali ..tiga kali aku mengalami peristiwa serupa.
Setiap kali anakku menginjak usia dua tahun, saat sedang lucu2nya ..tiba-tiba terjangkit penyakit panas yang aneh. Menurut dokter, hanya demam biasa ..namun nyatanya toh panas biasa itu mampu merenggut kehidupan mereka juga. Anakku pertama, perempuan kuberi nama Aisya, lahir dalam kondisi sehat bahkan montok dan lucu. Hingga usia satu setengah tahun ..semuanya normal saja. Aisya tumbuh sebagaimana anak yang lainnya, bahkan banyak yang mengatakan wajahnya elok. Rambutnya yang ikal, kulitnya yang putih bersih serta celotehnya sering membuat orang-orang di sekitar jadi gemas. Pendeknya, di manapun Aisya berada, selalu menjadi perhatian. Akupun merasa bangga memiliki Aisya.
Namun siapa sangka bila takdir berkehendak lain. Aku masih ingat betul, saat itu, usai bermain dengan peralatan masak-masakannya di teras, tiba-tiba gadis kecilku itu masuk rumah dan mengeluh pusing. Tak berapa lama setelah aku ninabobokan, kudengar dia mengerang. Betapa terkejutnya aku sewaktu kusentuh badannya, terasa sangat panas. Karena ini merupakan pengalaman pertama, terus terang, aku begitu panik. Aku langsung menelpon suamiku di kantornya dan tak berapa lama diapun pulang dan membawa Aisya ke rumah sakit. Anehnya, begitu sampai rumah sakit, panas Aisya perlahan menurun ..bahkan setelah mendiagnosa, dokter mengatakan demam yang diderita Aisya hanya demam biasa, sehingga hanya perlu meminum obat penurun panas biasa. Kamipun membawa Aisyah pulang, setidaknya kami lega karena Aisya dinyatakan tidak apa-apa meski kami merasa aneh karena hingga malam Aisyah tak juga membuka matanya. Untuk meminumkan obatnya terpaksa kami minumkan obatnya dalam kondisi tertidur.. Tapi ternyata kelegaan kami hanya sementara, tengah malamnya, tiba-tiba badan Aisya menggigil hebat, panas badannya kembali meninggi, matanya terbuka sejenak lalu kembali terpejam. Kami panik luar biasa ..saat itu juga kami kembali ke rumah sakit ..dan kenyataan yang harus kami terima sungguh sangat menyakitkan. Nyawa gadis kecilku itu ternyata sudah tak tertolong lagi. Aku syok, begitu juga suamiku ..sungguh kesedihan mendalam yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Begitulah waktu berlalu bersama bayangan-bayangan lucu dan kenangan-kenangan manis bersama Aisya kecilku ..hingga akhirnya kami memutuskan untuk kembali mengisi kekosongan hari-hari yang telah dibawa Aisya dalam keabadian dengan menghadirkan anak kedua kami, laki-laki bernama Haikal. Sebagaimana Aisya, meski cowok, tapi segala yang melekat pada diri Haikal tak berbeda dari Aisya. Bentuk mukanya, rambutnya yang ikal, lesung pipitnya ..semuanya bagaikan menghidupkan kembali Aisyahku yang pernah hilang. Perlahan kehadiran Haikal mampu menutup luka atas kepergian Aisyah ..Dan dalam hati aku selalu berjanji menjaga Haikal sebaik mungkin. Tapi lagi-lagi suratan hidup tak mau berpihak padaku ..sehari menjelang ulang tahun Haikal yang pertama, tiba-tiba peristiwa tiga tahun sebelumnya itu kembali terulang. Tanpa sebab yang jelas, Haikalpun terserang panas demam luarbiasa yang ketika kubawa ke dokter didiagnosa sebagai demam biasa. Tapi karena terlanjur trauma dengan peristiwa yang menimpa Aisya dulu, aku ngotot dan memaksa dokter agar Haikal opname saja. Dokterpun tak kuasa menahan kehendakku. Dan benar! Apa yang kutakutkan terjadi juga ..tengah malamnya, Haikal kejang ..Meski upaya maksimal sudah diupayakan pihak rumah sakit dan dokter ..nyatanya itu tak membuat nyawa Haikal terselamatkan ..Haikal meninggal !!! Yang kurasakan ...tak bisa kuurai di sini ..tak bisa ..seberapapun kata yang aku tuliskan tak kan pernah bisa mewakili perasaanku yang hancur berkeping-keping ...
Kukira itu yang terakhir ..ternyata tidak. Dua tahun setelah perginya Haikal, dua tahun aku dalam kesedihan (bahkan sempat hampir depresi) akhirnya aku dan suami mencoba kembali menata hidup, membangkitkan semangat untuk tetap meneruskan garis keturunan kami, apapun yang terjadi. Syukurlah, harapan kami terwujud, untuk ketiga kalinya seorang anak perempuan, kembali lahir dari rahimku. Segala kemungkinan sudah kupersiapkan ..termasuk sewaktu dia masih dalam kandungan. Salah satu yang kami lakukan adalah ke 'orang pintar' yang kerap kali menangani pasien seperti aku. Menurut orang pintar itu, ada yang 'tidak beres' dengan rumahku. Menurutnya, ada aura negative yang akan terus merongrong setiap kemunculan kehidupan baru di rumah kami. Bila kami ingin membuang sial, maka anakku yang lahir harus diberi Gudel (dalam bahasa Jawa berarti anak kerbau). Yaahh ..apa boleh buat, demi kepentingan dan keselamatan jiwa anakku, kuikuti saja saran orang pintar itu ..anak cantikku kuberi nama Gudel. Sebenarnya tak tega juga memberikan nama itu kepada buah hatiku ..tapi sekali lagi ..maksud dan keinginanku hanya agar aku tak kehilangannya lagi.
SiGudelpun terus tumbuh ..sama dengan kakak-kakaknya yang telah tiada, diapun menjelma jadi sesosok gadis kecil yang cantik dan sehat hingga usia dua setengah tahun. Hanya saja dibandingkan dengan Aisyah dan Haikal, pembawaan Gudel cenderung lebih kalem ..bahkan terkadang terlihat murung. Aku tak terlalu mempermasalahkan itu, karena setiap manusia diciptakan dengan sifat berbeda satu dengan yang lainnya. Melewati dua setengah tahun, tak ada peristiwa yang berarti atau mengkhawatirkan, aku terus berharap agar keadaan seperti ini akan terus berlanjut hingga aku bisa menikmati tahap demi tahap perkembangan anakku ..dari anak, remaja, atau bila memungkinkan hingga dia dewasa dan telah beranak cucu.Awalnya aku berfikir mungkin lantaran karena nama Gudel itulah yang membuatnya diberi waktu lebih lama tinggal dan menikmati kefanaan dunia. Namun ternyata, aku keliru ...untuk kesekian kalinya ..lagi-lagi kenyataan pahit itu harus kutelan kembali. Peristiwa yang lalu-lalu terulang kembali ...mungkin karena sudah dua kali mengalami peristiwa yang sama, maka untuk ketigakalinya ini ..aku memilih pasrah ..aku bahkan hampir-hampir tak mengeluarkan airmata sama sekali ketika tiba-tiba tangan kecil Gudel semakin dingin dan terus mendingin di pembaringan ruang gawat darurat rumah sakit. Aku hanya bisa mengucap istihfar berulangkali untuk menguatkan diriku sendiri agar tidak jatuh atau bahkan mungkin stress dan gila dengan kejadian menyakitkan yang berulangkali menimpaku ini.
Banyak cerita minor dari lingkungan kanan kiriku menyertai kemalangan yang kualami ini. Ada yang menyebutkan bahwa kejadian yang meneror kehidupanku ini terkait erat dengan 'janji' leluhur atau kakek buyutku dulu yang disebut-sebut mendapatkan harta kekayaan melalui pesugihan. Dan kebetulan sekali, rumah yang kutempati saat ini memang rumah warisan turun temurun dari leluhur. Meski sudah kupermak dan kurenovasi menyesuaikan dengan arsitek masa kini, namun itu tidak akan berpengaruh karena konon tumbal pesugihan itu ditanam di tanah. Waktu yang cukup lama membuat tumbal telah menyatu dengan tanah dan tak mungkin 'diambil'. Benar tidaknya ..entahlah. Orang boleh berspekulasi atau berpendapat apa saja ..yang jelas, aku sudah kehilangan ketiga putra putriku. Bahkan aku tak tahu lagi ...apa aku masih punya sedikit energi atau semangat untuk menghadirkan kembali tawa kecil bocah di kehidupan kami ..sedangkan maut, kepedihan demi kepedihan itu senantiasa menghantui hari-hari kami. Mengapa kehadiran dan kebahagiaan kecil itu Kau ciptakan bila akhirnya harus terenggut kembali dalam waktu yang begitu cepat ????
Sepertinya ..kepergian Gudel benar-benar menjadi tanda bagi episode terakhir perjuangan dan keinginanku untuk mendapatkan keturunan. Terus terang, hingga kini aku masih takut, aku tak berani lagi berspkulasi, meski banyak tawaran demi tawaran yang memberikan harapan. Salah satunya dari seorang kyai yang lumayan ternama karena metode pengobatannya. Aku harus menata dulu hatiku ..menata dulu jiwaku ..karena aku sendiri tak yakin akan mampu bertahan bila kelak, ke empat kalinya peristiwa yang sama akan tercipta. Aku memulainya dengan menjual rumah warisan itu ..dan sebelum rumah penuh kenangan pahit itu terjual, sementara aku tinggal di rumah mertua.
Percayakah pembaca, saat kutuliskan ini ...tepat pukul 23.00 .. melalui kaca jendela kamar yang sengaja kubuka gordennya, sekilas aku melihat bayangan ketiga anakku tengah bergandengan tangan di halaman samping rumah ..duh ...***
H. Abdul Hadi (1909-1998) Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail dilahirkan pada tahun 1909 M di Gang Kelor Kelurahan Jawa, Manggarai Ja...