“Kaum miskin itu menjadi miskin karena ruang kapabilitas yang kecil. Mereka menjadi miskin karena tidak bisa melakukan sesuatu dan bukan karena tidak memiliki sesuatu”
[Amarthya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998)
Anda tahu apa perbedaan orang kaya dan orang miskin? Bukan tampang, bukan jumlah uang, dan bukan seberapa sering ia pergi keluar negeri. Konon, perbedaan utama yang signifikan antara orang kaya dan miskin hanya ada pada satu hal: kemampuan mengoptimalkan asset.
Saya mendapatkan pelajaran ini sejak membaca Rich Dad Poor Dad karya Robert T. Kiyosaki ketika masih kelas 1 SMA. Saat itu, ada pelajaran pertama yang sangat penting: bagaimana membedakan asset dan liabilitas (kewajiban).
Asset vs Liabilitas
Asset dalam suatu neraca laporan keuangan ada disisi kiri, sedangkan liabilitas (kewajiban) ada disisi kanan. Gampangnya, asset adalah segala sesuatu yang memasukkan uang kekantong kita. Sedangkan liabilitas adalah segala sesuatu yang mengeluarkan uang dari kantong kita. Sesederhana itu. Tapi orang seringkali terjebak, keliru membedakan asset dan liabilitas.
Sekarang apakah uang termasuk asset? Bagaimana dengan mobil, rumah, tanah, dan surat berharga? Ternyata Itu semua belum tentu asset loh! Harta belum tentu asset, dan asset belum tentu harta.
Mobil yang kita kendarai bisa disebut asset jika anda menggunakannya sebagai sarana bisnis antar jemput. Rumah yang kita miliki bisa disebut asset jika kita kontrakkan. Uang kita yang ada dibank baru bisa dibilang asset jika diputar dan tidak dibiarkan ngendon sambil berharap mendapatkan riba (bunga ding… hehehehe).
Jika tidak? Maka itu semua liabilitas! Karena kita “dipaksa” mengeluarkan biaya bensin, perawatan, dan risiko jatuhnya nilai uang akibat inflasi (untungnya bank berbaik hati memberi bunga).
Asset bukan hanya harta. Otak kita adalah asset, jika kita gunakan untuk berpikir. Tangan kita asset, jika kita meringankan penderitaan orang lain. Tenaga kita adalah asset, jika bersedia membantu orang lain. Nafas kita, mata kita, telinga kita, hidup kita… adalah asset jika kita mau menggunakannya untuk kebaikan.
Orang kaya selalu berusaha memperbanyak asset. Sedangkan orang miskin selalu berusaha memperbanyak liabilitas, yang mereka anggap asset. Sehingga jika disimpulkan, cara untuk menjadi orang kaya sebenarnya sangat gampang. Tingkatkan asset kita, dan kurangi liabilitas kita.
Penyakit Orang Miskin
Penyakit orang miskin (termasuk saya) yang paling utama adalah kebiasaan berpikir jangka pendek dalam memperlakukan asset. Seneng banget ngejual asset. Karena ya itu tadi, mereka tidak mengerti perbedaan asset dan liabilitas.
Begitu orang tuanya meninggal dan dapat warisan, langsung beli mobil baru. Loh, kan mobil itu termasuk asset yang bisa dijual lagi? Memang, tapi sangat jarang harga mobil second lebih mahal dari yang baru. Kecuali kalau mau dirawat dan dijual 50 tahun lagi sebagai mobil antik.
Beli rumah baru? Apa salah? Toh, harga tanah cenderung terus naik. Memang tidak salah, karena itu uang Anda. Tapi harus diingat rumah yang lebih besar membutuhkan biaya perawatan yang tidak sedikit. Kecuali jika kita mengontrakkannya dan berharap mendapat keuntungan jika dijual nanti. Jika hanya ditempati sendiri, itu berarti sama saja menambah liabilitas kita.
Penyakit Negara miskin juga sama. Sering salah mengelola asset. Dan ketika pengelolaan itu berdampak pada inefisiensi dan deficit anggaran, penyakit mental orang miskinnya kambuh: jual asset!.
Seperti kasus PT Indosat Tbk. yang dijual oleh Asia Mobile Holding Pte.Ltd kepada Qatar Telecom. Asia Mobile adalah anak perusahaan Temasek Holding. Punya orang Singapore. Dia membeli dari pemerintah kita dengan harga diskon. Hanya 5 Trilyun. Setelah 5 tahun, mereka menjualnya kepada orang Arab. Dengan penjualan itu Asia Mobil menangguk untung hingga Rp 16 triliun lebih.
Ini seperti petuah orang terkaya ke-2 di dunia. Warren Buffet:
“Takutlah saat yang lain serakah, dan serakahlah saat yang lain takut”.
Kata Mbah Warren, peluang investasi yang luar biasa muncul ketika perusahaan2 yang sangat baik dikelilingi oleh situasi luar biasa yang menyebabkan harga sahamnya dinilai secara keliru.
Ketika terjadi kejatuhan bursa pada 1973-1974, Warren membeli Washington post senilai 10 juta, sekarang nilainya 1,5 miliar. Sewaktu crash bursa 1987, ia membeli Coca-Cola seharga 1 milar dan sekarang nilainya 8 miliar. Dekade 90-an, Warren tercatat membeli Wells Fargo banking dengan harga 400 dan nilai sekarang sekitar 1,9 milliar.
Apakah salah menjual asset Negara?
Menurut Tony Prasetiantono (dosen yang memberi saya nilai E untuk Ekonomi Pembangunan karena menulis tugas akhir berupa cerpen untuk mata kuliah dia :p), privatisasi BUMN pada dasarnya didorong dua motivasi. Pertama, keinginan menaikkan efisiensi karena buruknya kinerja sebagian BUMN. Dalam wacana teori ekonomi, terkait dengan beberapa teori klasik, seperti:
(1) X-efficiency (Harvey Leibenstein, 1966), di mana BUMN memerlukan insentif di luar kompetisi;
(2) allocative efficiency (dengan pembahas pertama isu natural monopoly oleh John Stuart Mill, 1848), di mana pasar akan mendorong pencapaian efisiensi melalui persaingan; dan
(3) dynamic efficiency (Joseph Schumpeter, 1942), di mana BUMN akan kian efisien jika manajemennya terdorong untuk melakukan inovasi.
Kedua, secara empiris dapat dibuktikan, privatisasi BUMN bisa dimaksudkan untuk membantu anggaran pemerintah dari tekanan defisit. Saat Inggris memulai gelombang privatisasi BUMN di era PM Margaret Thatcher tahun 1979, mereka menggunakan hasil privatisasi BUMN top (British Airways, British Telecom, dan British Gas) untuk mengatasi krisis fiskal atau defisit anggaran (Iekenberry, 1990).
Sebentar lagi, pada 10 November 2010. Krakatau Steel (KS) akan melepas 3,15 miliar unit saham pada harga Rp 800-1.150. Perseroan menargetkan dana yang dihimpun dari IPO sebesar Rp 2,6-3,3 triliun. Padahal PT Krakatau Steel masih sanggup membayarkan dividen kepada negara sebanyak Rp 137,87 miliar dari tahun buku 2008. Setara dengan 30 persen dari laba bersih (detik.com).
Kita takkan berdebat soal valuasi IPO saham KS. Nilai mata kuliah valuasi saya Cuma dapat B, dan saya masih belum dapat menemukan laporan keuangan KS di website perusahaan (hubungi saya jika Anda punya). Saya yakin para underwriter lebih jago melakukan valuasi (penilaian).
Pertanyaan saya, jika setiap mengalami deficit anggaran kita menjual asset, kira-kira akan bertahan sampai kapan? Mengapa tidak dengan melakukan efisiensi anggaran dan memperbaiki pengelolaan BUMN? Mengapa kita begitu bangga menjual asset jangka panjang untuk kepentingan jangka pendek?
Seharusnya kita belajar kepada Mutholib. Seorang tukang becak di Banjarsari, yang setelah menabung 20 tahun, bisa berhaji bersama istrinya, Caskin. Ia mungkin hanya tukang becak. Pendidikannya bukan Ph.D. Pendapatannya boleh pas-pasan. Tapi dia mengerti cara mengelola asset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar