Namun, konflik batin terus menggelayuti hati dan pikiran teman saya itu. Betapa tidak, dia tahu bahwa semua itu mengganggu konsentrasi belajarnya, apalagi saat ini dia sedang mempersiapkan ujian akhirnya. Terbayang jika gagal, maka orang tua yang siang malam mendoakannya pasti akan kecewa. Lebih-lebih lagi, dia juga paham bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah dosa yang bisa dikategorikan sebagai zina hati. Dia juga mengerti bahwa itu semua bisa terjadi karena godaan syaithan la’natullah, yang makin menggila kala imannya sedang lemah. Namun apa daya, dia merasa tidak sanggup melawan arus deras godaan cinta itu. Dia merasa terus terhanyut oleh buaian syaithan yang kali ini seakan berwajah manis. Bayangan sang kekasih sungguh sulit untuk dihapuskan. Pikirannya yang cerdas dan pengetahuan yang luas mengenai syariat Islam seakan berubah menjadi tumpul kala digunakan untuk mengatasi konflik batin ini.
****
Alhamdulillah, suatu saat dia mendatangi majelis taklim dan mendengar lantunan firman Allah SWT: “Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Fathir: 6). Suara hafidz yang tartil itu sungguh merasuk dalam qalbunya dan menjadi media penghantar Nur Hidayah-Nya.
“Jihad...!!!” teriaknya tanpa sadar.
Benar sekali, jihadun nafs (jihad melawan hawa nafsu diri-sendiri) dan jihadusy syaithan (jihad melawan syaithan). Dua istilah yang intinya satu yakni jihad ini menggetarkan hati dan pikirannya. Teringat tausyiah salah seorang gurunya: “Kata Al-Jihad di-kasrah huruf jim secara bahasa bermakna kesulitan, kesukaran, kepayahan. Sedangkan secara syar’i bermakna mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi musuh, khususnya orang-orang kafir.”
Kuncinya adalah “Mengerahkan segala kemampuan, baik materi atau bahkan nyawa kita, untuk membela agama Allah dan melawan musuh Allah dan Rasul-Nya”. Jadi, jika usaha kita biasa-biasa saja atau sambil lalu belumlah dikatakan sebagai jihad.
Menurut Ibnul Qayyim ra., jihadun nafs adalah jihad seorang hamba untuk menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah SWT, dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, serta memerangi diri sendiri di jalan Allah. Sedangkan jihadusy syaithan ada dua tingkatan, pertama berjihad untuk menghalau segala sesuatu yang dilontarkan syaithan pada manusia berupa syubhat dan keraguan yang dapat membahayakan perkara iman. Orang yang mampu mengerjakannya akan membuahkan keyakinan. Kedua, berjihad untuk menghalau segala apa yang dilemparkan syaithan berupa kehendak buruk dan syahwat. Orang yang mampu melakukannya akan membuahkan kesabaran. Sabar akan menolak syahwat dan kehendak buruk, keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.
Dua jenis jihad inilah yang perlu kita lakukan terlebih dahulu sebelum jihadul kuffar (jihad melawan orang kafir yang menyerang aqidah Islam) dan jihadul munafiqin (jihad melawan orang munafiq yang yang menyerang aqidah Islam).
****
“Jadi... tunggu apa lagi”, pikir teman saya itu, “Musuh sudah jelas walaupun tidak tampak, yaitu syaithan. Jalan sudah ada, yaitu jihad. Saya akan mulai dengan berniat lilLaahi Ta’ala, sebab amal perbuatan akan sia-sia di mata Allah jika tidak dilandasi dengan niat yang benar, Innamal a’malu bin niyyaat”. Beberapa program jihadun nafs dan jihadusy syaithan dia canangkan dan dia jalankan dengan penuh kesungguhan dan keyakinan. Genderang perang melawan hawa nafsu dan syaithan ditabuhnya dengan menggelegar. Hatinya ikhlas, jika memang sang kekasihnya itu adalah jodohnya, Insya Allah akan dipertemukan dengannya dalam pernikahan yang syar’i.
Untuk mewujudkannya, tidak perlu komunikasi hotline 24 jam sehari dengan sang kekasih seperti yang sudah-sudah. Yang penting, amanah belajar harus dituntaskan dulu. Namun dalam masa belajar ini, adalah rugi di mata Allah jika hanya mempelajari pengetahuan duniawi tanpa mendasarinya dengan pengetahuan ukhrawi. Oleh sebab itu, jika suatu saat dia akan mengajak kekasihnya untuk menikah maka diniatkan sebagai ajakan untuk beribadah.
Jika godaan nafsu datang, dia hadapi dengan memperbanyak puasa, istighfar, dan zikir. Untuk meneguhkan hati dan fisiknya, dia perbanyak tilawatil Qur’an dan Qiyamul Lail. Jika ada perkara meragukan, apakah tergolong kebaikan atau justru keburukan, dia ingat sabda Rasulullah SAW: “Kebaikan itu adalah akhlaq yang baik. Dan dosa adalah apa-apa yang meragukan jiwamu dan engkau tidak suka dilihat orang lain dalam melakukan hal itu.” (HR Muslim).
Teman saya itu senyum-senyum kecut jika ingat apa saja yang pernah dia lakukan selama ini. Kebodohan atau kekurang pengetahuannya memang berbuah kejahilan; menjahili apa-apa yang menjadi ketentuan Allah SWT, yaitu: apa yang disuruh-Nya dilalaikan, apa yang dilarang-Nya justru dijalankan sebaik-baiknya. Astaghfirullah...
Kini teman saya sangat bahagia karena merasa tidak dibiarkan oleh Allah SWT bergelimang dalam kesesatan dan maksiat. Ia merasa sangat bersyukur karena telah mendapat taufiq dan hidayah-Nya dalam mengendalikan cintanya dengan jihad.