Di Provinsi Maehongson sebelah utara Kota Bangkok-Thailand, hiduplah beberapa suku gunung yang berasal dari Burma atau Myanmar. Diantaranya Suku Akha, Suku Karen, Suku Lisu dan sebagainya. Mereka adalah komunitas suku-suku yang memiliki latarbelakang sejarah dan kebudayaan unik.
Namun di antara suku-suku itu, Suku Karen yang dianggap paling unik. Di leher wanita-wanita Suku Karen dipasang gelang logam berwarna keemasan. Gelang-gelang ini fungsinya untuk membentuk leher dan kaki mereka agar lebih panjang, karena menurut adat mereka, semakin panjang leher wanitanya maka mereka akan dianggap semakin tampak cantik.
Yang lebih unik lagi alasan mereka mengenakan gelang-gelang itu dilatarbelakangi kebudayaan turun temurun serta kepercayaan bahwa wanita Suku Karen berasal dari seekor Burung Phoenix. Bagi orang Suku Karen, phoenix adalah nenek moyang wanita yang berpasangan dengan naga yang dianggap sebagai nenek moyangnya para pria suku itu.
Berat gelang besi di leher wanita dewasa mencapai 5 kg dan gelang kaki di bawah lutut beratnya masing-masing 1 kg. Berarti setiap hari mereka membawa beban 7 kg. Wah, mau cantik ternyata berat juga ya…!
Gelang tersebut mulai dipakaikan sejak mereka berusia 5 tahun. Awalnya hanya 2-3 tumpuk gelang, dan setiap 2-3 tahun sekali tumpukan gelang ditambah sampai mereka mencapai usia 19 tahun dimana gelang-gelang tadi digantikan dengan gelang besi yang terbuat dari 1 besi lonjor panjang yang dibentuk melingkar / dililitkan ke leher mereka. Gelang itu bisa dilepas tapi proses pelepasannya sendiri tidak mudah dan hanya dilakukan pada saat menikah, melahirkan dan meninggal dunia.
Berat gelang-gelang itu mendorong tulang selangka, tulang bahu dan tulang rusuk turun. Sehingga secara otomatis leher wanita-wanita karen memanjang. Semakin panjang, mereka merasa semakin mirip dengan Burung Phoenix nenek moyang mereka.
Fungsi lain dari gelang-gelang itu adalah sebagai pelindung. Dulu waktu mereka masih tinggal dipegunungan, mereka sering terlibat kontak dengan binatang buas seperti harimau, beruang dan sebagainya. Umumnya, binatang buas menyerang manusia pada bagian leher dan tenggorokan. Untuk itulah gelang-gelang itu berfungsi sebagai pelindung bagi kaum hawa Suku Karen.
Keunikan Suku Karen dimanfaatkan dengan “sangat baik” oleh dunia pariwisata Thailand. Mereka ditempatkan di beberapa desa diantaranya, Huay Pu Keng, Huay Suah Thoh, Kayan Pu Keng dan sebagainya. Desa-desa ini di promosikan sebagai salah satu keunikan kebudayaan Thailand. Para wisatawan yang berkunjung untuk menyaksikan keunikan Suku Karen dikenakan biaya sebesar $10 US.
Untuk membantu pendapatan keluarga, wanita Suku Karen juga menjual berbagai jenis barang kerajinan khas suku itu. Misalnya kain tenun Suku Karen yang cukup popular serta foto-foto yang menunjukkan kegiatan mereka sehari-hari termasuk proses pelepasan gelang leher. Sementara kaum pria sehari-harinya bekerja di ladang dari pagi hingga petang.
Namun keunikan wanita Suku Karen bukan tak beresiko. Kaum wanita di suku ini kebanyakan hidup sampai umur 45-50 tahun saja. Kabarnya karena berat gelang yang mencapai 7 kg, dipercaya telah merusak tulang leher seiring bertambahnya usia mereka. Dunia pariwisata belakangan sering dipersalahkan karena mendorong penggunaan cincin leher. Alasan industri wisata melakukan itu tentu saja karena Suku Karen merupakan atraksi populer bagi wisatawan. Itu artinya memberikan pemasukan yang tidak sedikit bagi industri pariwisata Thailand.
Suku-Suku Terbuang
Suku Karen dan suku lainnya di Maehongson adalah suku terasing dari pedalaman Myanmar. Mereka adalah suku pegunungan yang tinggal di hutan-hutan sekitar perbatasan Thailand-Myanmar. Desa-desa aslinya ada di pelosok Myanmar, serta propinsi2 Chiang Rai,Mae Hong Son dan Chiang Mai (kadang berpindah2).
Pada tahun 1949 berkecamuk perang saudara yang membuat mereka terpaksa mengungsi. Karen National Union dan kelompok gerilya suku-suku minoritas lain bertempur melawan pemerintahan Mynmar. Sejak tahun 80an hingga saat ini militer Mynmar berhasil mengusir warga dari 3 ribu desa milik Suku Karen. Suku-suku itu mendaki gunung melewati perbatasan dan tinggal di Provinsi Maehongson.
Suku terbuang ini hidup seperti pengungsi tanpa identitas di Thailand. Berdasarkan laporan UNESCO pada tahun 2008, hampir dua juta orang suku pegunungan yang tinggal di Thailand tak punya kartu identitas.
Dikatakan, hampir 70 persen dari mereka tak bisa mendapat pendidikan dasar seperti anak-anak Thailand lainnya, dan 98 persen tak bisa mendapat pendidikan yang lebih tinggi.
Community Leaning Center (CLC) atau pusat Kegiatan Masyarakat di Mae Hong Son mencoba mengatasi masalah ini dengan membantu sekitar 30 anak suku pegunungan mendapatkan akses ke pendidikan yang lebih tinggi.(Sumber:Harian Global)
Ditulis dalam Fenomena by Harian Global Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar