Selasa, 30 November 2010

BURUH KONTRAK DAN OUTSOURCING, BAGAIMANA MASA DEPANMU?


Ara (25) sebenarnya merasa pendapatannya sangat memadai, antara Rp. 3,5 juta dan Rp. 3,7 juta per bulan, tergantung ada lembur atau tidak. Meski demikian perempuan yang bekerja di bagian administrasi penagihan dan pengurusan pajak bank swasta asing di Jakarta ini belum berani menikah justru karena merasa tidak pasti akan masa depannya sebagai pekerja. “Nanti kalau setelah kami menikah ternyata kontrak kerja saya tak diperpanjang, bagaimana masa depan kami?” Calon suami saya kerja di perusahaan swasta, kan rawan PHK”. (Kompas, 26 Maret 2010).
Meskipun mengalami kekhawatiran serupa, nasib Budi jauh lebih memprihatinkan. Setelah lulus SMA di Malang, Budi mencari lowongan kerja lewat koran dan menghubungi nomor telpon yang tertera. Setelah di telpon, Budi diminta untuk bertemu dengan seseorang di Malang. Ketika mendatangi alamat yang diberikan, ternyata itu bukanlah kantor seperti yang dia bayangkan.
Di situ, Budi diminta mengisi formulir pendaftaran dan membayar Rp. 20 ribu. Setelah itu, Budi diminta menunggu sampai ada informasi berikutnya untuk datang ke daerah Krian Sidoarjo. Untuk menuju lokasi, ia tidak diberi alamat lengkap. Perekrut tenaga kerja hanya mengatakan, bahwa Ia akan dijemput di tempat yang telah disepakati.
Setelah dijemput, Budi diajak ke suatu rumah, disana ia disuruh memilih pekerjaan apa yang dikehendaki. Tiap-tiap pekerjaan yang ditawarkan memiliki harga sendiri-sendiri. Kalau mau bekerja di SPBU harus membayar uang Rp. 2 juta. Kalau di Perusahaan yang cukup terkenal antara Rp. 2-3 juta  Kalau perusahaan ukuran kecil sekitar Rp. 750 ribu-1 juta. Waktu itu Budi memilih sebuah perusahaan yang besar dan terkenal. Ia sudah membayar uang muka Rp. 750 ribu. Namun setelah ditunggu berminggu-minggu, ia tidak segera dipekerjakan. Budi memberanikan diri protes, pihak perekrut berusaha menghindar dan mengatakan bahwa proses penerimaannya sedang diurus. Setelah didesak terus menerus, akhirnya Budi dipekerjakan di sebuah perusahaan pembuatan meteran air di Surabaya. Sangat jauh dari yang ia harapkan. Dimana bekerja di perusahaan itu pun, Ia hanya dikontrak 3 bulan, dengan memperoleh upah standar UMK Surabaya saja, yaitu Rp. 945 ribu di tahun 2009.
Bekerja di perusahaan tersebut, mempertemukan Budi dengan buruh outsourcing lainnya. Buruh-buruh baru yang rata-rata lulusan SMA dan berasal dari desa. Ternyata mereka memiliki cerita yang mirip dalam proses perekrutannya. Bahkan, ada Fajar, teman Budi, sempat tinggal di mess di Krian Sidoarjo itu, sambil menunggu di pekerjakan. Menurut Fajar, Ia telah membayar uang Rp. 1,5 juta untuk ditawari bekerja di PDAM. Tapi nyatanya, Ia hanya ditempatkan di pabrik pembuatan meteran air.
Fajar menjelaskan, bahwa di Krian Sidoarjo, bagi calon buruh disiapkan mess di rumah tersebut. Tapi selama di mess, mereka membeli makan sendiri. Setelah membayar, mereka yang tinggal di mess tidak diperhatikan. Tidak jarang, pencari kerja yang masih anak-anak, tidak betah. Ketika mereka berusaha menanyakan tentang pekerjaan yang dijanjikan. Perekrut menghindar dan terkesan cuek. Banyak dari mereka yang tidak tahu apa yang harus diperbuat, akhirnya menyerah dan pulang ke desa.
Di pabrik meteran air tersebut, ada buruh yang sampai membayar Rp. 5 juta karena dijanjikan bekerja di PDAM, tapi ternyata bekerja di perusahaan meteran air, bagian cor yang sangat berat dan panas. Ia tidak kuat. Sehari bekerja, akhirnya Ia mengundurkan diri. Ketika ditanya mengapa ia mau membayar biaya semahal itu, dengan lugu ia mengatakan, bahwa ia dan keluarganya sangat ingin segera dapat pekerjaan. Daripada di desa, menganggur terlalu lama. Dan ketika ada tawaran tersebut, keluarganya rela mengupayakan uang agar anaknya memiliki masa depan yang lebih baik. Mereka tidak menyangka bakal ditipu.

Cerita di atas mungkin sering kita dengar. Dan seolah-olah itu menjadi temuan biasa di tengah maraknya sistem kerja kontrak dan outsourcing saat ini. Beragam metode digunakan oleh perusahaan perekrut dan pemberi kerja untuk dapat menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Dalam penelitian kecil yang dilakukan WADAS (Wadah Asah Solidaritas) pada tahun 2009 di 3 kota, yaitu Surabaya, Sidoarjo dan Gresik, ditemukan bahwa modus perekrutan buruh kontrak dan outsourcing telah begitu liar dan menjamur. Perekrut buruh kontrak dan outsourcing telah terorganisir rapi. Mereka biasanya dipimpin oleh suatu jaringan atau kelompok personalia yang memiliki kaki-kaki perekrut sampai dengan di desa-desa. Skenario itulah yang ditemukan ketika melacak kasus Budi, Fajar dan kawan-kawannya.
Selain modus perekrutan buruh outsourcing seperti yang dialami Budi, ditemukan pula beberapa modus pelaksanaan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang jauh lebih menguntungkan perusahaan dengan membayar murah hak-hak normatif buruh. Sistem ini sering dikenal dengan sistem pelatihan dan pemagangan.
Sistem pelatihan ditemukan di salah satu restoran fast food/cepat saji, sebanyak 193 orang buruh, Training Salon terkenal sebanyak +200 orang, dan salah satu hotel bintang lima yang dikenal dengan istilah casual worker . Bahkan pengawas Disnaker Surabaya menyampaikan modus pelatihan dan pemagangan ini juga sudah dijumpai di beberapa pabrik di kawasan Margomulyo Surabaya, dengan jumlah buruh mencapai 1000 orang.
Buruh-buruh tersebut mengerjakan pekerjaan inti dan masuk setiap hari. Mereka bekerja 40 jam seminggu (bahkan lebih di Training Salon). Memperoleh upah sebesar UMK tanpa diikutsertakan Jamsostek dan memperoleh hak normatif lainnya. Khusus di Training Salon, upah buruh hanya Rp. 15.000,- /hari. Sabtu, Minggu dan hari libur lainnya masuk kerja selama lebih dari 12 jam. Janji yang diberikan kepada buruh adalah akan diangkat menjadi buruh kontrak atau ditempatkan di posisi yang lebih permanen.
Beragam modus dilakukan oleh perusahaan pemberi dan penempatan tenaga kerja untuk mengeruk keuntungan dan mensiasati aturan ketenagakerjaan yang berlaku. Posisi tawar buruh dan calon buruh yang lemah dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan sepihak dan mengabaikan martabat dan hak dasar manusia, yaitu hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak untuk kemanusiaan.
Beberapa hak asasi manusia buruh kontrak dan outsourcing yang terlanggar dan paling banyak dijumpai dalam wawancara dengan mereka adalah:
  1. 1. Buruh Kontrak dan Outsourcing Tidak Diperbolehkan terlibat dalam serikat buruh
Ada perusahaan outsourcing yang melarang buruhnya untuk terlibat dalam organisasi dan aktivitas yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Larangan ini tercantum dalam salah satu point (pasal) surat perjanjian kontrak. Bila aturan ini dilanggar, maka pihak manajemen berhak untuk memutuskan kontrak sewaktu-waktu tanpa memberikan kompensasi apa pun.
Ada juga, perusahaan yang melarang buruhnya berorganisasi lewat seperangkat pedoman yang harus dihafal buruhnya selama masa training untuk bahan ujian/tes penerimaan buruh kontrak.
  1. 2. Kepatuhan terhadap peraturan
Buruh outsourcing diwajibkan untuk mentaati peraturan yang dibuat oleh perusahaan outsourcing dan klien (perusahaan pemberi kerja). Bila terdapat aturan yang tidak sesuai, buruh tidak boleh melakukan komplain ke perusahaan pemberi kerja, namun disampaikan ke perusahaan outsourcing. Dalam pelaksanaannya, buruh tidak berani untuk melakukan protes karena takut kontrak tidak diperpanjang.
  1. 3. Perpindahan manajemen dari Perusahaan outsourcing satu ke perusahaan outsourcing yang lain
Beberapa perusahaan pemberi kerja dalam memilih perusahaan outsourcing menggunakan mekanisme tender. Bila tender dimenangkan oleh perusahaan outsourcing lain/baru, buruh perusahaan outsourcing lama ada yang diikutkan dalam perusahaan outsourcing baru tersebut. Disini biasanya dijumpai buruh mengalami penurunan upah dan hak normatif lainnya, disesuaikan dengan kebijakan manajemen baru.
  1. 4. Penjinakan terhadap buruh dengan model outing dan acara ”keakraban”
Beberapa perusahaan outsourcing yang memiliki klien di sektor jasa dan gudang menggunakan metode outing atau rekreasi bersama untuk membangun keakraban antar buruh dan pimpinan. Lewat mekanisme ini relasi yang sudah akrab membuat buruh menjadi sungkan dan tidak berani protes bila terjadi pelanggaran terhadap haknya.
  1. 5. Kepastian kerja
Hal mendasar yang menjadi keluhan dan merugikan buruh dengan adanya sistem kerja kontrak dan outsourcing adalah masalah kepastian kerja. Tanggapan dari beberapa responden, meskipun buruh tersebut memperoleh upah lebih dari UMK dan hak normatif lainnya, mereka tetap merasa tidak nyaman dengan status kontrak dan outsourcing. Anggota keluarga menjadi resah ketika sumber penghasilan menjadi tidak tetap dan pasti. Beberapa kasus ditemukan, akibat sistem kerja kontrak buruh mengalami penundaan pernikahan, anak putus sekolah,  aborsi, kekerasan dalam rumah tangga, perasaan minder dan tidak percaya diri.
  1. 6. Sistem Administrasi dan Penegakan Pengawasan sistem kerja kontrak dan outsourcing di Disnaker
Baik di Surabaya, Sidoarjo maupun Gresik, sistem administrasi dan  pengawasan terhadap sistem kerja kontrak dan outsourcing sangat buruk. Masing-masing Disnaker tidak pernah memberikan sanksi bagi perusahaan pemberi kerja dan penempatan tenaga kerja yang melanggar aturan.
Wajib lapor perusahaan pengguna jasa outsourcing tidak dilakukan. Hanya ada 13 perusahaan yang melaporkan ke Disnaker Surabaya (memperbaharui laporannya) sampai dengan tahun 2008 dari 225 perusahaan yang terdaftar. Di Sidoarjo ada 64 perusahaan outsourcing yang terdaftar dan di Gresik ada 69 perusahaan.
Berdasarkan data dari Disnaker Surabaya, jumlah buruh di surabaya + 1.300.000 orang, tersebar di 9.460 perusahaan. Yang berstatus kontrak 25.765 orang, dengan perincian, 2.323 berstatus buruh kontrak, 23.442 berstatus outsourcing terdaftar. Diyakini jumlah buruh kontrak dan outsourcing lebih dari data yang dikeluarkan Disnaker. Temuan peneliti masih ada puluhan ribu buruh kontrak dan outsourcing yang lain yang tidak tidak terdaftar, seperti buruh kontrak outsourcing PT. BMI, PT. Maspion, PT. Gramedia (group), P&G, dll.
Kesimpulan
Secara kualitatif, buruh kontrak dan outsourcing tidak merasa nyaman dan setuju dengan sistem kerja tersebut, meskipun diberikan gaji besar dan hak normatif lainnya. Buruh kontrak dan outsourcing mengalami kesulitan dalam menata masa depannya, terlebih bila kontrak kerja mereka berakhir. Pelanggaran terhadap sistem kerja kontrak dan outsourcing sudah ”mentradisi” dan belum ada tindakan tegas (sanksi) dari pengawasan Disnaker. Bahkan dalam menyiasati aturan tersebut, banyak modus baru dilakukan dengan bekerja sama dengan instansi terkait untuk melegalkan.
Sistem kerja kontrak dan outsourcing harus segera dihapuskan. Alasanya, kerja adalah hak mendasar atau hak asasi setiap orang. Kerja dan kepentingan buruh sebagai manusia yang bermartabat, adalah di atas kepentingan modal. (dom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail (1909-1998)

  H. Abdul Hadi (1909-1998) Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail dilahirkan pada tahun 1909 M di Gang Kelor Kelurahan Jawa, Manggarai Ja...