Kamis, 28 Oktober 2010

Harga Diri Diinjak-injak Istri


Yth Ibu Rieny
Saya seorang laki-laki (37) berasal dari keluarga yang disiplin, religius dan cukup terpandang di desa saya. Saya sarjana bekerja pada perusahaan BUMD di ibu kota propinsi (merantau), dengan gaji yang cukup untuk menghidupi saya beserta istri dan satu anak.
Istri saya (27) adalah hasil perjodohan oleh paman, dan berasal dari keluarga pas-pasan dengan pendidikan SLTA. Setelah berlangsung 7 tahun mengarungi biduk rumah tangga banyak riak dan gelombang yang saya hadapi.

Yang menjadi masalah adalah perbedaan cara pandang kami soal masa depan. Saya menganggap istri saya tak mau belajar dari kelemahan atau kejadian yang telah terjadi. Padahal, bukankah orang pintar mengatakan pengalaman adalah guru terbaik? Ia tidak mau menerima pandangan dari saya. Sebaliknya, istri saya sangat menghargai ucapan, atau nasihat itu dari ibu atau ayahnya. Lalu apa artinya saya sebagai suami?

Bukan sekali dua kali saya menasihati atau mengajari tapi istri memang wanita keras kepala. Ia juga menolak saran saya untuk mencari kerja agar bisa menabung untuk persiapan masa depan. Jika hal ini saya bicarakan dengan orangtuanya, mereka malah membela anaknya dan membanding-bandingkan dengan pasangan yang lain yang istrinya juga tak bekerja tetapi toh dapat tetap hidup sejahtera.

Komunikasi antara saya, istri dan mertua tidak terjalin dengan baik karena setiap ide saya tidak ditanggapi dengan baik. Dia beranggapan saya ingin mengatur.

Yang membuat saya lebih risau, perlakuan mertua dan istri terhadap saya ini berpengaruh kepada cara pandang tetangga dan kerabat menilai diri saya. Kini, saya makin jarang dimintai pendapat bila ada masalah atau akan ada acara di kampung. Padahal, dahulu saya adalah rujukan utama mereka. Ini, kan merusak harga diri saya, Bu.

Beberapa kali saya mengajukan usul untuk bercerai, kalau sudah demikian, sikap mertua dan istri akan membaik. Tetapi hanya untuk sementara waktu saja. Sesudahnya, ya kembali seperti semula. Umur saya sudah mendekati 40, istri pun sudah bukan anak-anak lagi, tetapi mengapa kok kami tak bisa berinteraksi secara dewasa? Harus menunggu sapai usia berapakah hingga kedewasaan itu datang?

Saya ingin cerai Bu, tetapi seringkali saya ragu karena ingat anak yang pasti akan menderita karena perpisahan kami. Akan tetapi, membayangkan saya harus hidup lebih lama dalam situasi begini, membuat saya benar-benar merasa drop! Kapan sebenarnya seseorang itu boleh, atau pantas, atau malah sudah seharusnya bercerai dan masyarakat tidak menghakimi ini sebagai kesalahan suami, Bu? Kok saya merasa lingkungan ini berpihak pada wanita ya Bu. Saran Ibu saya tunggu. Terima kasih.
Joko di X

Mas Joko yth,
Setiap hari yang berlalu akan otromatis membuat kita semakin tua.

Tetapi menjadi dewasa, sesungguhnya adalah sebuah pilihan. Bila bertambahnya usia tidak disertai kehendak dalam diri untuk menjadi semakin dewasa, maka makin tua tak akan otomatis membuat seseorang jadi dewasa. Buat saya, dewasa adalah sebuah proses, to become kalau bahasa kerennya, dan bukan sebuah keadaan (to be).

Karena menjadi dewasa adalah sebuah proses, maka butuh upaya berkelanjutan untuk memelihara agar tidak terhenti di sebuah tahapan saja. Dan semakin hari mestinya ditandai oleh makin ikhlasnya kita untuk menerima kenyataan bahwa hidup ini adalah rangkaian dari pembuatan keputusan-keputusan yang tersedia di hadapan kita. Selain itu kita juga seharusnya semakin menyadari dan akhirnya makin berani mengambil tanggung jawab penuh atas konsekuensi yang ditimbulkan oleh pilihan yang kita ambil.

Menyalahkan lingkungan, menganggap diri adalah korban dari keputusan yang diambilkan orang lain untuk kita, pada hemat saya menunjukkan bahwa kita masih perlu kerja keras untuk sampai pada tingkat kedewasaan yang memadai.

Dari surat Anda, saya berpendapat Anda gamang akan penghayatan peran Anda sebagai seorang suami, menantu, serta anggota masyarakat yang amat butuh penghargaan, tetapi tak kunjung memperolehnya. Akibatnya, perasaan positif terhadap diri lalu melemah dan Anda kemudian merasa 'power' sebagai individu juga ikut melorot.

Dua hal yang saya harap akan membantu Anda untuk segera mengatasi masalah ini adalah mengubah gaya komunikasi saat berinteraksi dengan istri dan keluarganya. Faktor kedua, mengubah pemahaman Anda tentang apa yang disebut harga diri dalam kaitannya dengan citra diri dan rasa percaya diri.

Harga diri tidak pernah bisa dicederai oleh orang lain tanpa izin Anda, Mas Joko. Artinya, harga diri hanya bisa turun kalau kita memang mengizinkan orang untuk meremehkan dan menghina kita. Bagaimana cara orang lain memperlakukan Anda akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana Anda memperlakukan orang-orang yang berinteraksi dengan Anda.

Kesalahan yang paling sering dilakukan oleh kita adalah berharap orang lain akan terlebih dahulu menghargai kita dan membuat kita merasa punya 'harga' yang tinggi. Kita lupa bahwa orang lain juga punya kebutuhan yang sama, kan? Maka, apa salahnya kalau dalam rangka menghargai diri dan menghormati diri sendiri, kita mendahului menampilkan sikap hormat pada lingkungan?

Pemahaman, kesediaan untuk selalu mencari sisi kelebihan orang lain, sembari menyadari bahwa tak ada orang yang memang tepat sama dengan kita cara berpikir dan memandang suatu masalah, pasti akan membawa Anda pada peluang lebih besar untuk merasa nyaman berada di lingkungan Anda. Ketika ini terjadi, maka Anda pun akan memancarkan energi-energi positip pada lingkungan. Ini ditandai oleh kalimat-kalimat yang tidak sinis atau mencela, kemampuan untuk mengucapkan maaf kalau memang Anda yang khilaf. Anda jadi lebih mahir bertoleransi pada orang lain, dan ketika Anda mampu membuat orang lain nyaman berada bersama-sama Anda, percaya deh Mas joko, wibawa Anda akan muncul.

Jembatan paling utama bagi semua ini memang adalah komunikasi, yaitu bagaimana kita mencerimati apa yang sampai ke telinga, mata dan indera kita yang lain dan kemudian menafsirkannya. Mendengarkan itu jauh lebih penting dari bicara. Karena kalau kita terbiasa mendengar dengan menyimak, kita akan makin tahu, apa sebenarnya yang orang lain harapkan dari kita.

Nah, cobalah ubah gaya Anda ketika menyampaikan gagasan. Hindari pemakaian bahasa tinggi-tinggi ketika mau berdiskusi tentang masa depan. Misalnya, tanyakan pada istri apa yang ia inginkan untuk dijadikan tujuan dari perkawinan ini, 10 atau 15 tahun mendatang.
Ajak istri dan mertua untuk merasa bahwa mereka dilibatkan dalam apa saja keputusan yang ingin Anda ambil dalam rumah tangga Anda. Dengan demikian Anda akan terasa makin demokratis di mata mereka. Bila ini dapat terjadi, saya yakin sikap penolakan ataupun negatifi dari istri dan mertua akan berangsur menghilang.

Jadikanlah bercerai sebagai pilihan terakhir, Mas. Mudah-mudahan dengan gaya interaksi yang lebih mampu mengakomodasi perbedaan antara Anda dan lingkungan istri, Anda akan segera merasakan bahwa bukan power yang merupakan kebutuhan utama Anda, melainkan rasa nyaman karena Anda merasa diterima sekaligus dihargai sebagai suami maupun menantu. Salam hangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail (1909-1998)

  H. Abdul Hadi (1909-1998) Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail dilahirkan pada tahun 1909 M di Gang Kelor Kelurahan Jawa, Manggarai Ja...