Kamis, 28 Oktober 2010

Tersiksa Batin, Disia-siakan Suami


Foto: Ilustrasi

Satu kebohongan harus selalu ditutupi oleh kebohongan lain yang kelak akan memunculkan kebutuhan untuk tidak ingin terlalu dekat dengan pasangannya, agar kebohongan tidak terbongkar.

Ibu Rieny yang baik,

Saya Sulung (S) dari 3 bersaudara. Orangtua bercerai sejak masih kecil. Beserta adik-adik, kami ikut ibu yang membiayai hidup kami. Sekarang saya bekerja dan sebagian penghasilan dipakai membantu ibu dan adik-adik yang masih sekolah.

Saya baru menikah 6 bulan yang lalu dengan A, setelah berpacaran lebih dari 2 tahun. Walau keluarga kami tak setuju, kami tetap menikah. Seminggu nikah, ada W, wanita lain, datang marah-marah karena merasa dikecewakan oleh A.

Kami ribut, tapi cepat selesai. Masalah muncul lagi ketika Ayahnya memberi tahu ke Ibu saya bahwa A punya wanita lain yaitu R yang sering datang jika istrinya sedang tidak ada di rumah. Kami ribut lagi.

Saya tinggal berpisah dengan A, saya di kota J dan A di kota C. Seminggu sekali saya datang ke rumahnya, bukan dia yang datang untuk menjenguk saya. A berprinsip, seorang istri harus mengabdi ke suami.

Saya minta pendapat A untuk mengundurkan diri dari perusahaan agar fokus ke rumah tangga. Jawaban A menggantung status saya.

Selama menikah, setiap malam Sabtu, saya pulang ke A dan Senin pagi berangkat lagi. Pernah, saya pulang, dia malah ke luar kota bersama R. Ketika mengadu ke orangtuanya, Ayahnya berkata “Kalian bodoh. Percuma dilanjutkan juga, bakalan hancur. Memangnya kamu tahan dengan kebrengsekan A?”

Saya hanya diam. Bisa Ibu bayangkan, saya malah dipulangkan ke orangtua saya. Lalu, A tidak menghubungi kecuali jika ingin berhubungan intim. Seminggu setelahnya, A minta saya datang ke satu hotel, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya.

A mentransfer Rp 100 ribu untuk ongkos dan check in di hotel, padahal sebelumnya tak pernah transfer. Demi keutuhan rumah tangga, saya pulang dari J ke C. Saya berpikir positif, Bu. Mungkin dia ada itikad baik untuk mempertahankan rumah tangga.

Ternyata pikiran saya salah, ya? Saya dilecehkan, Bu. Saya dipulangkan ketika tak dibutuhkan, diminta datang ketika ingin berhubungan intim, dan diperlakukan seperti pelacur.

Besoknya, saya bilang ke A untuk memproses perceraian di pengadilan agama, tapi ditolaknya. A lebih memilih lewat amil.

Sorenya, tanpa sepengetahuan A, R mengajak bertemu. R sempat hamil tapi diaborsi atas kemauan A, berdekatan dengan hari pernikahan saya. Saya dicerai di hadapan amil yang kemudian membawa buku nikah saya. Ini kesalahan saya, Bu. Saya langsung percaya, buku nikah dipegang orang yang diberi kuasa oleh A. Saya dipersulit mau mengambil buku nikah saya, Bu.

Pernah ia minta rujuk, tapi saat bertemu, kami rebut lagi. Malah dia mengatai-ngatai saya dan mengatakan, saya persis ibu saya yang menjanda seumur hidup.

Allahu Akbar , Bu, jika orangtua yang dicaci maki, saya tidak ridho. Apalagi dia bilang saya mengambil keuntungan dari dia. Untung darimana? Setelah menikah, saya yang menanggung hutang biaya nikah dan kebutuhan hidup.

Bu, Apakah saya harus memproses ke pengadilan agama, mengingat saya hanya sah cerai secara agama? Keluarga saya sakit hati oleh kelakuan A, apalagi A akan menikah dengan R dalam waktu dekat.

Saya masih di kota J sendirian, Bu. Setiap hari pikiran saya dikuasai oleh A, berat badan saya pun turun drastis. Saya berusaha menyibukkan diri, dengan membaca buku termasuk rubrik psikologi asuhan ibu, bergaul dengan tetangga.

Saya berusaha kuat untuk bisa ridho dengan keputusan Allah. Tapi, sulit sekali memaafkan dan melupakannya. Saya pernah berharap suatu saat nanti, ketika A “ditampar” oleh Allah, dia akan meminta maaf ke saya dan keluarga.

Bu, mudah-mudahan Ibu bisa membantu saya yang sedang sakit hati. Terimakasih.

Sulung di J

Jeng Sulung Yth,

Sebenarnya sangat mudah jika Anda mau menjahilinya. Dia tak bisa menikahi R tanpa izin Anda sebagai istri sahnya, kecuali kawinnya di bawah tangan. Jadi, bila R tak mau menjadi istri tak resmi, mestinya ia yang meminta A menceraikan Anda di Pengadilan Agama.

Tetapi, saya lebih menyarankan, Anda “ cool down” saja dulu. Bukan untuk kembali padanya, tetapi biarkan dulu waktu berlalu, dan emosi anda serta keluarga mereda dulu. Sibukkan diri dengan hal-hal bermanfaat, ya?

Menghadapi kasus yang Anda alami, saya selalu merasa tak nyaman dalam menawarkan solusi, karena ada konflik internal (dalam diri saya) antara nilai-nilai yang saya yakini tentang perkawinan dengan kenyataan yang ada dalam permasalahan yang dihadapi oleh Jeng S.

Saya percaya, perkawinan adalah sebuah ikatan emosional yang legal dan sah di mata ALLAH, yang makin lama makin terbukti merupakan pula sebuah wadah paling “sehat” bagi orang-orang yang terikat di dalamnya.

Sehat dalam arti mampu memberi peluang bagi suami dan istri untuk mengembangkan diri secara independen, tapi juga sekaligus memberi peluang kebersamaan yang kokoh yang senantiasa meberi kekuatan untuk mengatasi masalah, tidak sendirian, namun berdua.

Maka, inginnya sebisa mungkin mereka yang menikah itu tidak bercerai. Di sisi lain, memang ada kasus yang ditelaah dari sisi manapun, harapan untuk mempertahankan kelangsungan perkawinan sudah sangat tipis atau malah tak terlihat, seperti yang Anda alami.

Tentu saja, saya tidak memakai pendekatan seperti “ketik reg spasi...” yang bisa menerawang dari jauh. Tetapi, dengan 3 pertanyaan saja rasanya sudah cukup untuk itu.

Pertanyaan pertama, apakah Anda dan suami pernah duduk bersama membahas apa yang ingin dicapai bersama melalui perkawinan ini? Bahasa kerennya, apa visi yang ingin dicapai? Visi ini adalah sebuah cita-cita yang dijadikan satui tujuan untuk dicapai bersama.

Cinta? Sebenarnya cinta adalah faktor perekat yang pada awalnya berfungsi untuk mempercepat lekatnya dua orang yang pada dasarnya punya banyak perbedaan, sebanyak persamaan yang ada pada keduanya. Tetapi, cinta tak pernah cukup untuk bisa menjawab masalah perekawinan, Sayangku.

Setelah VISI, hal ke-2 yang harus ada adalah MISI, yakni cara yang disepakati akan membawa kita ke tujuan tadi. Bentuknya adalah batasan-batasan yang dibuat dan kemudian dihormati sehingga kita nyaman, dipahami, diperhatikan, demikian pula sebaliknya.

Supaya suami-istri bisa mengawal sikap dan perilakunya sesuai batasan yang dibuat, dibutuhkan komitmen sebagai landasan utamanya. Komitmen bukan sekedar janji, tetapi lebih merupakan kesediaan memikul konsekuensi daripada pilihan yang telah diambil

Anda pilih suami macam gitu, mestinya disertai kesediaan memikul tanggung jawab atas keputusan memilihnya. Jadi, bila ia sudah berkomitmen untuk memilih Anda sebagai istri, mestinya tak ada perempuan lain yang dia hamili, bukan?

Hal ke-3, adalah kejujuran dan keterbukaan yang akan melahirkan rasa hormat. Sayangnya, tanpa komitmen tak ada kebutuhan untuk memelihara kejujuran dan keterbukaan terhadap pasangannya. Respek tidak terbentuk, yang ada rasa takut saja, sehingga di belakangnya, apa-apa yang tak disukai pasangannya pasti akan didahulukan

Ayo kita lihat sejenak, saat menikah dengan Anda ternyata di hari yang sama pacarnya sedang aborsi. Mana mungkin ia akan jujur bercerita kepada Anda?

Dan telah kita ketahui, satu kebohongan harus selalu ditutupi oleh kebohongan lain yang kelak akan memunculkan kebutuhan untuk tidak ingin terlalu dekat dengan pasangannya, agar kebohongan tidak terbongkar. Tidak heran bila suami lalu tidak nyaman tinggal sekota dengan Anda, bukan?

Orang yang membaca kisah Anda mungkin akan bertanya setengah menyalahkan, kok, sudah tahu suami begitu, Jeng Sulung tetaaap saja mau berhubungan dengan suami?

Inilah masalahnya. Orang yang berniat positif, punya penghayatan peran sebagai suami atau istri yang juga berlandaskan nilai-nilai agama yang benar, tentu akan mencoba berlaku baik dan benar. Tapi, itulah rumitnya manusia, karena wadah yang namanya perkawinan ini pada hakekatnya harus dibina dua orang, tak akan berjalan bila hanya satu pihak saja yang berusaha.

Nah, di sinilah yang namanya penalaran harus segera kita jadikan hal utama dalam melihat seluruh permasalahan dan menekan emosi, apalagi rasa cinta (jika masih ada).

Harus dan harus Jeng Sulung akui, bila terus menjadikan emosi Anda sebagai panglima, maka suami akan mampu terus mengaduk kehidupan dan ketenangan batin. Jelas, sebagai laki-laki, dia punya citra diri yang buruk. Ciri utamanya adalah dia sendiri yakin, dirinya tidak punya kelebihan-kelebihan sehingga dia perlu melakukan hal-hal buruk agar tetap nyaman dengan dirinya.

Kok bisa? Ya, memang demikian adanya. Bila seseorang punya gambaran diri yang buruk, dia secara tidak sadar akan melakukan hal-hal buruk, agar lingkungan punya anggapan yang sama dengannya bahwa dia tidaklah pantas dihormati dan dihargai. Kemasannya yang lalu terlihat, bagaikan orang yang bertindak ngawur dan tidak berfikir panjang.

Perlu kesabaran dan kesediaan untuk membimbing pasangan seperti ini dan ingin kita bantu untuk berubah. Nah, ini yang pada hemat saya, tidak perlu Anda usahakan lagi, Jeng. Makin cepat Anda bisa memutuskan hubungan secara emosional, makin baik. Bila hati sudah bisa tertata rapih untuk tidak memberi celah lagi bagi bercokolnya suami di benak Anda, pasti lebih tenang dan dapat menyusun langkah yang lebih matang untuk kelak lepas dari ikatan perkawinan ini.

http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Tersiksa-Batin-Disia-siakan-Suami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail (1909-1998)

  H. Abdul Hadi (1909-1998) Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail dilahirkan pada tahun 1909 M di Gang Kelor Kelurahan Jawa, Manggarai Ja...