Kelompok yang kalah bertugas menjagai garis-garis tersebut dan yang menang berusaha melewatinya. Jika seorang anak yang melewati garis tersebut dapat disentuh lawan, kelompok itu gugur dan ganti menjagai garis. Sebaliknya, jika ada satu orang saja yang berhasil menembus garis belakang dan lolos kembali melewati garis paling depan, kelompok mereka menang.
Nasiyah dan Sukati masih duduk di kursi bambu. Melihat keceriaan anak-anak itu, timbul keinginan untuk turun dan bergabung bersama mereka. Ah! Masih pantaskah?
Peluh sudah melumuri tubuh-tubuh kecil itu. Tapi, bocah-bocah itu terus berlarian, menyelundup, berkelit, menerkam, saling mengalahkan. Seorang bocah perempuan menjerit karena tangan bocah lelaki yang menjagai garis terlalu keras menohok dadanya.
Nasiyah tersenyum. Dulu, ia pernah seperti gadis kecil itu. Ia meringis malu, merasakan sakit pada buah dadanya yang baru tumbuh. Pomo mendekatinya, meminta maaf. Nasiyah tidak menjawab. Ia berlari ke kelompoknya yang sudah bersiap menjagai garis. Nasiyah ditempatkan di garis belakang. Kelompok Pomo menyerang dengan cepat. Pomo, yang badannya kecil, dapat segera lolos ke garis yang dijagai Nasiyah. Dengan gerak-gerak tipu, Pomo bisa melewatinya. Bocah lelaki itu tidak segera kembali ke depan. Ia malah duduk-duduk santai pada jarak setengah meter di belakang garis. Nasiyah berusaha menggapainya, tapi tidak berhasil.
“Masih sakit, Nas?”
Gadis itu menggeleng. Ia tetap bersiaga, berjaga kalau tiba-tiba Pomo bangkit dan menyeruak masuk. Dan, benar. Saat Nasiyah lengah, Pomo berhasil menerobos wilayah yang dijaganya itu.
Permainan selesai. Anak-anak kelelahan. Mereka duduk-duduk di tepi pelataran, namun tak seorang pun beranjak pulang. Setelah agak santai, mereka merencanakan permainan baru, yaitu petak umpet. Ada satu pohon kelapa yang dijagai agar tidak disentuh lawan. Daerah persembunyian dibatasi, tergantung banyaknya pemain. Jika yang menjaga satu orang, daerah persembunyian hanya sekitar langgar. Jika dua atau tiga orang, bisa satu wilayah RT.
Dulu, Nasiyah sering berjaga bersama Pomo. Ia disuruh menjagai tempat itu dan Pomo mencari persembunyian lawannya. Permainan tersebut kadang-kadang bisa berlangsung sangat lama karena ada yang curang. Nasiyah dan Pomo pernah bersembunyi di kebun yang sangat rimbun. Mereka mengendap-endap di sana tanpa alas kaki hingga suatu kali telapak kaki Pomo tertusuk beling. Darah mengucur deras dari sobekan luka itu, tetapi Pomo tidak menangis. Nasiyah memanggil teman-temannya. Beling berhasil dicabut. Salah seorang memotong pelepah pisang lalu menempel-nempelkannya pada luka itu hingga darah berhenti.
Permainan dihentikan. Mereka bubar ke rumah masing-masing. Malam beranjak larut. Bulan masih tergantung jernih di langit tanpa awan. Anak yang menjagai pohon kelapa itu masih celingak-celinguk mencari kawannya. Ah, masa kecil yang menyenangkan.
Lima orang pemuda datang dan ikut duduk-duduk dekat Nasiyah. Salah satu di antaranya Diman. Mereka mengajak Nasiyah dan Sukati menonton televisi di rumah Pak Lurah. Di sana sudah banyak yang menonton. Nasiyah dan kawan-kawan kebagian tempat paling belakang.
Tidak sampai satu jam, Nasiyah mengajak pulang. Diman mengantarkan Nasiyah, yang lain mengantarkan Sukati. Nasiyah dan Diman berjalan beriringan. Beberapa saat tidak ada yang membuka percakapan. Perhatian tertuju pada langkah kaki masing-masing.
“Besok pagi teman-teman akan ke waduk. Kamu bisa ikut?”
“Laki-laki semua?”
“Kamu bisa mengajak Sukati dan Medah. ”
“Tapi, Emak mengajakku ke pasar. ”
Angin berembus dari sawah. Di atas bulan diganggu oleh gerombolan awan kelabu. Di jalan setapak itu mereka lebih merapat hingga bersentuhan. Perlahan Diman menaikkan tangan kirinya ke pundak Nasiyah. Gadis itu menunduk. Tidak ada suara kecuali desah napas tertahan. Tanpa disadari tangan Nasiyah meraih tangan di bahu kirinya dan menurunkannya perlahan. Lalu, ia bergegas mendahului Diman.
Tapi, sebongkah batu membuatnya tersandung. Diman berhasil memeganginya hingga Nasiyah tidak terjerembab. Diman memeriksa kaki Nasiyah. Tidak terluka. Mereka berjalan lagi, beriringan. Tidak ada percakapan hingga sampai ke rumah Nasiyah.
Pemilihan kepala desa dua minggu lagi. Orang-orang sibuk memasang gambar-gambar calon kepala desa beserta simbolnya. Pak Martowi nomor satu dengan simbol padi. Nomor dua Pak Sumarjo dengan simbol jagung dan ketiga Pak Muroji dengan simbol singkong.
Suatu malam, bapak Nasiyah kedatangan tiga tamu. Pertama, orang kepercayaan Sumarjo. Orang itu hanya sebentar, omong-omong dengan suara pelan, lalu menyelipkan amplop ke saku bapak Nasiyah. Selang beberapa saat, datang paman Diman, yang sawahnya digarap bapak Nasiyah. Lalu, ketika bapak Nasiyah merebahkan tubuh, pintu diketuk lagi. Paman Juned.
“Ini baru separuh. Kalau jadi, akan ditambah lagi. ”
Sebenarnya, semua ditolak secara halus oleh bapak Nasiyah. Tapi, tidak ada yang mau mengambil apa yang telah diberikan.
“Tidak apa-apa, Kang. Saya percaya pada Kang Karto. Jangan lupa, Kang!” Mereka pun pergi.
Bapak Nasiyah menaruh amplop-amplop itu di bawah tumpukan baju-baju di dalam lemari.
Sejak saat itu, suasana makin panas. Kasak-kusuk terdengar di mana-mana. Orang saling mengamati, siapa masuk rumah siapa. Gambar apa yang paling banyak dipasang di sekitar mereka. Lalu, mereka sendiri menghitung secara sembunyi isi amplop yang diterima. Setiap ditanya ikut siapa, ia akan balik bertanya. Sesama saudara pun saling curiga.
Nasiyah hanya sekali membantu memasak di rumah Pak Muroji. Itu pun karena sudah berkali-kali diminta oleh Bu Juhari. Selanjutnya, ia selalu beralasan sibuk. Untunglah, Diman berhasil memberikan penjelasan yang bisa diterima keluarganya. Bibi Juned pun sering membujuknya untuk membantu di rumah Pak Martowi. Tapi, Nasiyah selalu menolak dengan alasan sama.
Hari itu pun tiba. Tiga calon duduk di tempat yang tinggi dengan gambar simbol di belakangnya. Sepanjang hari orang datang silih berganti untuk nyoblos. Ada yang sengaja datang dari rumah, ada juga yang dari pasar atau sawah. Yang sibuk pun sengaja meninggalkan pekerjaannya. Masing-masing ingin tahu siapa yang memperoleh suara terbanyak.
Selagi kartu dibuka dan dibacakan, orang-orang mengikutinya dengan seksama. Sebelum magrib, penghitungan suara selesai. Tapi, mereka masih kelihatan tegang, menunggu siapa yang terpilih. Beberapa yang mencatat sudah bersorak gembira. Ada juga yang merobek-robek kertas tersebut, lalu mengumpat-umpat. Sebagian hanya tampak pada ekspresi mukanya.
Hasil pun diumumkan. Orang-orang sedikit tercengang karena dugaan mereka meleset. Perbedaan yang sangat tipis membuat simbol jagung lebih unggul daripada padi. Lalu, keluarga dan pendukung Pak Muroji maupun Pak Martowi pulang dengan tangis kekecewaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar