Bayangan indah sebuah rumah tangga menjadi impian setiap orang, entah itu perempuan atau pun laki-laki. Mereka yang menikah saling mencintai biasanya akan berusaha untuk saling membagi rasa. Berjalan beriringan dalam keadaan suka maupun duka. Namun, tidak semua rumah tangga akan berjalan mulus sesuai yang diharapkan sebelumnya. Seperti mimpi dan harapanku akan sebuah keluarga yang sakinah, berjalan dijalan rel kejujuran. Bagaikan godam menghandam kelapa saat kenyataan harus aku terima dan kuhadapi.
Aku terdiam sejenak dan dadaku berdetak kencang saat mendengar pengakuan adik kandungku Kelly telah hamil. “ Maafkan aku Mbak Sumi, aku telah hamil dengan Mas Rudi,” kata adikku. Kalimat pendek itu telah menusuk jantungku. Sakit dan kaget jelas aku rasakan. Dalam keadaan limbung aku menyebut Asma Allah, aku mohon kekuatan dan iman yang tegak untuk menghadapi cobaan ini.
Waktu terus berjalan, aku tidak banyak bicara hingga sore tiba. Segera aku mandikan anakku paling bungsu, juga kuperintahkan anakku pertama dan kedua untuk segera mandi. Dalam keadaan resah aku menyiapkan makan untuk mereka, lalu aku titipkan ketiga anakku dirumah mertua yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dengan perasaan tidak sabar aku menanti suamiku pulang dari salon pribadinya, dekat pasar.
Tepat mendekati adzan mahgrib, suamiku pulang, aku sambut dengan senyum walaupun hati terasa teriris. Aku berusaha bersikap seperti biasa supaya tidak membuatnya curiga. Setelah makan malam, aku ajak suamiku masuk kamar. Aku bertanya apakah masih ingat kenangan masa lalu sebelum nikah. Dia menjawab, ingat semua kenangan manis itu, bahkan dia dengan antusias bercerita saat pertama jalan bareng. Ah, dia masih menyimpan semua kenangan itu, tetapi kenapa dia menusukku dari belakang.
“ Mas Rudi, Kelly hamil, “dia ceritakan juga padaku, siapa yang menghamilinya.”
Mas Rudi diam, aku terus tatap wajahnya yang merah padam, dengan tenang aku menanti jawaban dari bibirnya. Tak sedikitpun aku berpaling dari bola matanya. Aku cari kebenaran di riak matanya, aku cari kejujuran di sinar matanya, perlahan aku terucap sebuah permintaan maaf sambil aku mencium tangannya.
Tak mampu aku menahan segala rasa, aku hanya mampu terdiam dalam beku. Aku pandangi suamiku tercinta, suami yang aku harapkan membuka pintu surgaku, suami yang menjadi panutan langkahku, suami yang selalu mengingatkanku tentang air wudhu, suamiku yang selalu mengajakku sholat malam, kini tersimpuh ditelapak kakiku tanpa berucap sepatah katapun.
Ya, Allah terbuka semua kebohongan dan rahasia selama ini, setahun yang lalu aku mendapat khabar kalau adikku Kelly sering berduaan dengan suamiku. Aku pikir itu hal biasa, karena selama ini Mas Rudi juga ikut membesarkan Kelly. Aku menikah dengan Mas rudi enam tahun yang lalu, saat itu adikku Darmanto, Katon, dan Kelly masih sekolah sedangkan Sugik adikku nomer dua sudah bekerja membantu aku membiayai mereka. Aku anak pertama dari lima saudara, ibuku meninggal disaat melahirkan Kelly, lalu tiga tahun kemudiaan ayah kecelakaan dan menyusul ibu.
Setelah meninggalnya ayahku, aku dan adik-adik dalam asuhan bibiku, dia adik tiri ayahku. Semua peninggalan ayah diserahkan bibi untuk dikelola sebab waktu itu kami masih kecil-kecil. Kebaikan bibi tidak seperti sewaktu ayah masih ada, bibi menguasai sendiri hasil sawah dan kebun bapak, aku dan adik-adik tidak mendapatkan sesuai perintah almarhum ayahku. Aku diam, karena memang aku tidak dapat berbuat apa-apa selain mengalah. Dalam pikiranku bagaimana cara mendapatkan uang.
Berhenti sekolah jalan yang aku tempuh untuk bisa bekerja dipasar sebagai pelayan toko. Sedikit demi sedikit sebagian uang gajiku aku kumpulkan, hingga akhirnya aku bisa membuka warung sendiri. Setelah Sugik adikku nomer dua lulus SMA lalu bekerja ikut Pak Haji Basri berdagang ke kota, kemudian aku menikah dengan Mas Rudi yang kini menjadi suamiku. Begitu besar rasa tanggung jawab Mas Rudi pada adikku, karena kebaikannyalah adikku bisa sekolah semua. Dan kini orang yang selama ini aku cintai, aku hormati dan aku anggap sebagai penolong hidupku telah bersimpuh sujud ditelapak kakiku.
Aku tak mampu lagi bertanya kapan dia melakukan begitu pada adikku, dengan kehamilan adikku itu sebagai cermin atas perbuatannya. Tanpa tangis dan dengan hati hampa aku bertanya pada suamiku, “ Sekarang apa yang akan mas lakukan, meneruskan rumahtangga ini, atau mas memilih menikah dengan adikku?”
Dalam linangan air mata suamiku diam, tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ingin aku menangis lalu mencakarnya atau memukulnya, namun kekuatan Allah tetap menggenggam dalam ketegaran. Aku diam tidak banyak bertanya lagi, karena hanya akan membuatku sakit hati. Keperihan dan rasa jijik terus menyergap, apalagi yang dihamili adik iparnya sendiri, sunggu keterlaluan sekali.
Kini, aku tidak berdaya, tidak tahu harus berbuat apa, sedangkan bayi itu anak suamiku. Sesak dadaku semakin menyiksaku, ingin aku menangis sekeras-kerasnya tapi itu semua tidak akan bisa menyeleseikan masalah yang aku hadapi. Kurengkuh tangan suamiku untuk kembali duduk dikursi, aku tatap matanya yang sembab oleh air mata penyesalan, kuusap dengan tanganku. Aku berusaha tersenyum, walaupun hatiku terasa tercabik-cabik, kupegang erat kedua tangannya untuk sekedar memberi ketenangan padanya.
Merelakan suamiku menikah dengan adikku jalan yang kuanggap terbaik. Tetapi sebelum itu, aku ingin mengajukan cerei lebih dulu, karena aku tidak mungkin hidup seatap ada dua istri, apalagi istri kedua suamiku adik kandungku sendiri. Kemudian, bagaimana pandangan tetangga pada keluarga kami. Ya, inilah jalan terbaik buatku dan adikku Kelly. Terpaksa, anakku yang menjadi korban, tapi bila aku melarang mereka menikah adikku pasti akan mengancam akan bunuh diri.
Dengan bimbingannya aku kuatkan untuk bicara, “Mas, tolong bawa anak-anak pulang, malam ini kamu tidur dirumah ibu dulu. Biarkan anak-anak tidur bersamaku dikamar ini, besok pagi akan aku beri tahu keputusan masalah ini. Aku akan musyawarah dengan Sugik lebih dulu, apa yang terbaik kita lakukan.
Perlahan suamiku melangkah keluar dari kamar, aku pandangi kepergiannya dengan linangan air mata, padahal saat suamiku ada aku tak sanggup untuk menangis. Dengan langkah pelan, aku mendekat di pintu kamar Kelly, memastikan apakah sudah tidur atau belum sekalian menanti suamiku kembali membawa anak-anak pulang. Aku tempelkan telingaku dipintu, tidak ada suara apapun, padahal biasanya sampai malam Kelly mendengarkan radio. Tapi, saat ini masih sore dia sudah tidur.
Aku lemparkan pandanganku dipigora yang menempel didinding, terlihat rukun foto kami berlima. Terlihat sekali kebahagiaan disana, walaupun kami sudah tanpa orang tua lagi. Kudengar suara langkah suamiku dan anak-anak pulang, kusambut anakku dengan senyuman supaya tidak terlihat kalau hatiku galau. Kubawa anak-anak masuk dalam kamar untuk tidur, lalu aku keluar lagi, kulihat suamiku masih berdiri diruang tamu hendak pamitan padaku, setelah pamit dia beranjak pergi sambil menutup pintunya.
Aku lihat jam dinding menujukkan jam sepuluh, aku yakin sebentar lagi Sugik pasti pulang. Hatiku kembali gundah, teringat kata-kata Kelly tadi siang, dia mengatakan akan bunuh diri bila tidak diijinkan menikah dengan Mas rudi, padahal dia tahu siapa Mas Rudi. Begitu besar beban yang aku tanggung saat ini, ibuku dulu pernah berpesan padaku untuk membahagiakan dan menjaga Kelly, karena akulah sebagai pengganti ibunya. Tapi, kenapa harus Mas Rudi dicintai kelly, bukan laki-laki lain, padahal banyak pemuda dikampung tetangga yang suka pada Kelly.
Aku akui Kelly cantik dan tinggi, terus apa yang ada dipikiran dia sehingga tega merebut suami kakaknya sendiri. Kejadian ini membuatku tidak akan pernah terlupakan. Aku yakin, kalau ayah dan ibu masih ada, pasti mereka akan marah sekali. Entah, bagaimana reaksi Sugik maupun Darmanto bila tahu kejadian ini. Kudengar ada suara langkah kaki dari luar, pasti dia Sugik. Aku melangkah mendekati jendela, lalu aku mengintipnya, benar Sugik yang datang. Dengan tidak sabar aku bukakan pintu untuknya.
Dengan wajah heran Sugik menatapku. Yah, memang tidak biasanya aku menunggu dia sampai larut malam begini, karena pagi-pagi aku harus sudah pergi kepasar. Tapi, saat ini aku belum juga tidur, dengan tidak sabar aku bawa adikku masuk dalam kamarnya yang paling belakang, sehingga tidak akan mengganggu anak-anakku yang sedang tidur. Aku tetap membisu, saat adikku terus melontarkan pertanyaan padaku, memang aku sengaja tidak menjawab pertanyaannya sebelum masuk dalam kamar, aku takut kalau anakku bangun atau didengar Kelly pembicaraan kami.
Setelah kami sampai dalam kamar, lalu baru aku ceritakan semua pengakuan Kelly kepadanya, dia diam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku semakin bingung, kenapa Sugik tidak ada tanda-tanda kaget atau marah. Padahal, seharusnya dia marah dengan tindakan Kelly maupun suamiku. Ternyata, Sugik sudah mencium gelagat mereka berdua, tepatnya dua hari yang lalu. Ada keinginan untuk segera cerita padaku hal yang mencurigakan itu, tapi adikku Sugik lupa.
Hingga larut malam aku bermusyawarah bersama Sugik, akhirnya mendapat satu keputusan kalau aku tetap akan menikahkan suamiku dengan Kelly, lalu aku akan mengalah untuk bercerai dan pergi. Tentunya, aku harus sholat malam lebih dulu, memohon pertolongan kepadaNya. Dengan hampa aku tinggalkan kamar adikku kembali kekamarku sendiri. Aku pandang satu persatu wajah anakku yang sedang tidur pulas, terlihat jelas semburat kelucuannya, tidak berapa lama cinat ayahnya akan berbagi dua.
Pagi terlihat cerah, tapi tak secerah wajahku yang kusut karena semalam tidak bisa tidur nyenyak. Pagi ini aku tidak pergi kepasar untuk menjaga toko, begitu juga suamiku. Aku kumpulkan semua adik-adikku kecuali Darmanto karena dia bekerja diKalimantan. Setelah kumpul semua, aku minta maaf pada mereka karena selama ini tidak bisa menjaganya dengan baik dan tidak bisa menjadi kakak yang bisa dijadikan panutan. Dengan tegar aku jelaskan kenapa semua aku kumpulkan, memang tidak biasanya ini aku lakukan.
Setelah semua aku jelaskan semua hasil musyawarah, lalu aku tanyakan pada suamiku. Dengan berat dia menyetujuinya, kulihat gurat-gurat kekecewaan dan penyesalan dimatanya tapi itu semua tiada artinya karena jelas adikku sudah hamil. Hari itu juga aku dan suamiku datang pada keluarganya untuk menjelaskan masalah yang telah kami hadapi, sekalian untuk meminta restu padanya tentang rencana ini.
Satu minggu kemudian, acara akad nikah telah digelar dengan sangat sederhana. Hanya keluarga besar suami saja yang diundang. Di depan keluarga suamiku, aku menikahkan mereka berdua. Berkat kekuatan Allah, aku tidak menitikkan air mata, aku selalu tersenyum pada setiap tamu yang datang. Lain dengan mertuaku perempuan, dia tak henti-hentinya menangis. Entah, apa yang dirasakan sekarang ini, mungkinkah dia merasa terpukul dengan masalah ini? Yah, pasti merasa terpukul, karena selama ini suamikulah anak yang dianggap baik dan taat beribadah tapi kini mencoreng mata keluarga.
Dalam rasa yang hampa aku masih bisa mengucap syukur, hatiku lega acara bisa berjalan dengan lancar. Terlihat ada setitik sinar bahagia diwajah adikku. Aku tinggalkan acara itu dengan langkah cepat, mencari tempat yang aman untuk menumpahkan tangisku yang tertahan. Kulangkahkan kakiku dimana kedua orangtuaku dimakamkan. Kutumpahkan tangisku disana, kucurahkan semua segala beban yang aku rasakan. Sehingga membuat aku semakin iklas melepaskan suamiku pada adikku tercinta.
Mimpi-mimpiku saat ini memang masih penuh dengan warna hitam, trauma akan perbuatan suamiku masih belum sepenuhnya aku lupakan, bahkan terkadang aku merasa jijik bila melihat dia. Dalam rasa hampa aku berusaha untuk melupakannya kejadian yang baru terjadi. Bayang-bayang masa lalu saat masih bahagia selalu menghantuiku. Begitu sulit aku melupakan, tapi kenyataan mengharuskan untuk melupakannya, karena Mas Rudi sebentar lagi bukan suamiku lagi, tapi dia sekarang menjadi adik iparku.
Setelah bercerai dengan suamiku, aku putuskan untuk pergi jauh dari mereka. Aku titipkan anakku pertama dan kedua pada mertuaku dan yang bungsu tetap aku bawa pergi. Aku tidak bisa harus terus bersikap sandiwara untuk menyembunyikan rasa cemburu. Aku hanya manusia biasa yang bisa merasa sakit dan cemburu bila suaminya bersanding dengan wanita lain. Dalam rasa kecewa dan ketakutanku ini aku hanya menyerahkan diri pada Allah dan aku berfikir, jodoh dan mati hanya Allah yang tahu. Aku hanya berharap bisa menjadi ibu yang saleh bagi anak-anakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar