Oleh: Emha Ainun Nadjib, 20 Nov 2009
Andaikan makhluk yang bernama “fatwa” sudah sejak dulu menemani bangsa Indonesia, tentu masyarakat kita menjadi terbiasa ‘bergaul’ dengannya, sehingga tidak mudah ‘uring-uringan’ seperti yang hari-hari ini terjadi.
Misalnya di awal 1900-an kaum Ulama melontarkan fatwa bahwa Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia itu wajib hukumnya (sehingga tidak bangkit itu haram hukumnya). Demikian juga mempersatukan seluruh pemuda Indonesia itu fardlu kifayah (semua orang tidak bersalah asal ada sebagian yang menjalankannya). Sumpah Pemuda itu fardlu ‘ain, kewajiban bagi setiap orang, kalau tidak bersumpah bergabung dalam persatuan Indonesia haram hukumnya.
Berikutnya begitu Hiroshima-Nagasaki dibom atom, Ulama Indonesia sigap melontarkan fatwa bahwa memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia itu wajib, sehingga masuk neraka bagi siapa saja yang menolak 17 Agustus 1945. Lantas diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan fatwa berikutnya: Demokrasi itu wajib (meskipun di dalamnya ada Komunisme itu haram). Tidak mentaati UUD-45 itu haram. Konstituante dan Piagam Jakarta dicari formula fatwanya.
Katakanlah sejak pra Kebangkitan Nasional hingga era Reformasi sekarang ini Majlis Ulama Indonesia sudah menelorkan lebih dari 5000 fatwa.
Makhluk Suci dari Langit
Sementara kita simpan di laci dulu perdebatan tentang positioning antara Negara dengan Agama. Kita istirahat tak usah bergunjing Ulama itu sejajar dengan Umara (Pemerintah) ataukah di atasnya ataukah di bawahnya. Juga kita tunda menganalisis lebih tinggi mana tingkat kekuatan fatwa kaum Ulama dibanding undang-undang dan hukum Negara. Entah apapun namanya makhluk Indonesia ini: Negara sekular, demokrasi religious, kapitalisme sosialis atau sosialisme kapitalis, atau apapun.
Kita mengandaikan saja bahwa produk kaum Ulama, khususnya Majlis Ulama Indonesia, berposisi sebagai inspirator bagi laju pasang surutnya pelaksanaan kehidupan bernegara dan berbangsa. Sebutlah Ulama adalah partner Pemerintah. Kaum Ulama adalah makhluk suci berasal dari langit, memanggul amanat Allah sebagai Khalifatullah fi ardli Indonesia. Dan kita semua bersyukur karena dalam menjalankan demokrasi kita ditemani oleh utusan-utusan Tuhan. Dulu para Rasul dengan mandat risalah, para Nabi dengan mandat nubuwwah, dan para Ulama dengan mandat khilafah.
Tidak semua soal kehidupan mampu diilmui oleh akal manusia, maka kita senang Tuhan kasih informasi dan tuntunan, terutama menyangkut hal-hal yang otak dan mental manusia tak sanggup menjangkau dan mengatasinya. Kaum Ulama dalam Majlisnya terdiri atas segala macam ahli dan pakar. Ada Ulama Pertanian, Ulama Ekologi, Ulama Perekonomian, Ulama Kehutanan, Ulama Kesehatan dan Kedokteran, Ulama, Ulama Kesenian dan Kebudayaan, Ulama Fiqih, Ulama Tasawuf dan Spiritualisme, Ulama Olahraga, dan segala bidang apapun saja yang ummat manusia mengaktivinya – karena memang seluruhnya itulah lingkup tugas khilafah atau kekhalifahan.
Tradisi Fatwa dalam Negara
Akan tetapi tradisi itu tak pernah ada. Fatwa terkadang nongol, dan sangat sesekali. Mendadak ada fatwa tentang Golput, tanpa pernah ada fatwa tentang Pemilu, Pilkada, Pilpress dengan segala sisi dan persoalannya yang sangat ‘canggih’. Tiba-tiba ada fatwa tentang rokok, tanpa ada fatwa tentang pupuk kimia, tentang berbagai jenis narkoba, suplemen makanan dan minuman, penggusuran, pembangunan Mal, industri, kapitalisasi lembaga pendidikan, serta seribu soal lagi dalam kehidupan berbangsa kita. MUI mengambil bagian yang ditentukan tanpa pemetaan konteks masalah bangsa, tanpa skala prioritas, tanpa pemahaman konstelasi serta tanpa interkoneksi komprehensif antara berbagai soal dan konteks.
Itupun fatwa membatasi diri pada ‘benda’. Makan ayam goreng halal atau haram? “Dak tamtoh“, kata orang Madura. Tak tentu. Tergantung banyak hal. Kalau ayam curian, ya haram. Kalau seseorang mentraktir makan ayam goreng sementara teman yang ditraktirnya hanya dikasih makan tempe, lain lagi hukumnya. Makan ayam goreng secara demonstratif di depan orang berpuasa malah bisa haram, bisa makruh, bisa sunnah. Haram karena menghina orang beribadah. Makruh karena bikin ngiri orang berpuasa. Sunnah karena ia berjasa menguji kesabaran orang berpuasa.
Beli sebotol air untuk kita minum, halam haramnya tak terletak hanya pada airnya. Kalau mau serius berfatwa perlu dilacak air itu produksi perusahaan apa, modalnya dari uang kolusi atau tidak, proses kapitalisasi air itu mengandung kedhaliman sosial atau tidak. Kalau kencing dan buang air besar mutlak wajib hukumnya. Sebab kalau orang menolak kencing dan beol, berarti menentang tradisi metabolisme tubuh ciptaan Allah swt. Berdzikir tidak wajib, bahkan bisa makruh atau haram. Misalnya suami rajib shalat dan berdzikir siang malam, istrinya yang setengah mati cari nafkah. Atau kita wiridan keras-keras di kamar ketika teman sekamar kita sedang sakit gigi.
Hak Tuhan
Butuh ruangan lebih lebar untuk menguraikan berbagai perspektif masalah yang menyangkut fatwa. Negara dan masyarakat tak perlu mencemaskan fatwa, karena ada jarak serius antara fatwa dengan Agama, apalagi antara fatwa dengan Negara dan hukumnya. Terlebih lagi jarak antara fatwa dengan Tuhan.
Yang berhak me-wajib-kan, men-sunnah-kan, me-mubah-kan, me-makruh-kan dan meng-haram-kan sesuatu hanya Tuhan. Ulama dan kita semua hanya menafsiri sesuatu. Kalau MUI bilang “rokok itu haram”, itu posisinya beliau-beliau berpendapat bahwa karena sesuatu dan lain hal maka diperhitungkan bahwa Tuhan tidak memperkenankan hal itu diperbuat. Setiap orang, sepanjang memenuhi persyaratan methodologis dan syar’i, berhak menelorkan pendapatnya masing-masing tentang kehalalan dan keharaman rokok dan apapun. Muhammadiyah dan NU-pun tidak merekomendasikan pengharaman rokok. Artinya, para Ulama dari dua organisasi Islam terbesar itu memiliki pendapat yang berbeda.
Sebelum saya mengambil keputusan untuk mewakili pendapat Tuhan untuk mewajibkan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu hal, sangat banyak persyaratan yang harus saya penuhi. Terutama persyaratan riset, seseksama mungkin. Dan ini sungguh persoalan sangat besar, ruwet, luas, detail. Kemudian andaikanpun persyaratan itu mampu saya penuhi, maka saya tidak punya hak untuk mengharuskan siapapun saja sependapat dengan saya atau apalagi melakukan dan tidak melakukan sejalan dengan pandangan saya. Sedangkan Nabi saja tidak berhak mewajibkan siapapun melakukan shalat: hak itu ada hanya pada Tuhan, Nabi sekedar menyampaikan dan memelihara kemashlahatannya.
Para Ulama dan kita semua bisa kelak teruji ternyata sependapat dengan Tuhan, bisa juga akan terlindas oleh peringatan keras Allah: “Lima tuharrimu ma ahallallohu lak”, kenapa kau haramkan sesuatu yang dihalalkan oleh Tuhan untukmu. Tapi jangan lupa bisa juga terjadi sebaliknya: kenapa aku halalkan yang Allah haramkan.
Mungkin benar rokok itu haram, dan saya akan masuk neraka karena itu, bersama ulama agung Indonesia Buya Hamka perokok yang jauh lebih berat dibanding saya yang sama sekali tidak nyandu rokok. Juga ada teman saya di neraka almarhum Kiai Mbah Siroj Klaten yang hingga usianya 94 tahun merokok empat bungkus sehari.
Dengan demikian bangsa Indonesia akan tercatat sebagai pemegang rekor tertinggi masuk neraka karena rokok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar