"Dua puluh tujuh sama!" kata wasit setelah melihat hakim garis memberikan tanda masuk. Gemuruh suara pendukung calon pemenang membahana, sedangkan pendukung lawan senyap seketika. Pertandingan bulu tangkis tunggal putra antar divisi di perusahaan kami dalam rangka memperingati hari kemerdekaan sudah memasuki babak semifinal. Kebetulan divisi kami termasuk salah satu semifinalis yang sekarang sedang berjuang.
Ada yang menarik perhatianku. Sosok seorang laki-laki yang sedang bertanding dari kubu lawan. Dengan postur tubuh yang tidak begitu tinggi, kulit agak kehitaman, dan betis yang besar mengingatkanku pada seseorang. Dia lebih menarik perhatianku daripada score yang terus bertambah untuk divisiku.
Sebut saja namanya Ian. Dia adalah kakak kelasku semasa SMU. Seorang olahragawan juga, hanya saja olahraga yang digelutinya adalah basket. Dengan baju kebesarannya: kaos tanpa lengan, celana pendek, dan jaket kulit dengan tulisan “Chicago Bulls” di punggungnya, membuatku ingin sedikit mengenangnya.
Di tengah gemuruh suara pendukung bulu tangkis dengan selisih score yang tipis antara dua peserta semifinalis, tidak menghapus anganku untuk kembali ke masa lalu. Masa yang indah, sendainya aku bisa kembali, tetapi itu tidak mungkin karena masa lalu adalah sesuatu yang paling jauh.
Tiga belas tahun yang lalu, aku masuk SMU. Sengaja aku memilih sekolah kejuruan yang sekarang lebih dikenal dengan nama SMK dengan alasan ingin cepat bekerja. Syukur alhamdulillah, aku diterima setelah mengikuti sederetan tes. Disana lah aku bertemu dengan Ian.
Semasa SMK, Ian adalah laki-laki yang penuh prestasi. Disamping pandai, jago main basket, aktif di OSIS juga masih banyak sederet prestasi lain yang mengagumkan. Beruntung aku dapat mengenalnya. Dengan perbandingan jumlah perempuan dan laki-laki 1:3 dalam satu angkatan, aku bisa cukup dekat dengannya. Ian adalah kakak kelasku. Kebetulan aku memilih ekstra kurikuler yang sama dengannya. Dia menjadi pelatih kami. Aku lumayan sering berdiskusi dengannya, mungkin karena aku adalah ketua team basket yunior perempuan. Yang sangat menarik, walaupun dia penuh prestasi tetapi dia tetap rendah hati dan tidak jaim. Ian adalah sosok kakak yang baik, agak jahil dan suka menggoda tetapi masih dalam taraf sopan.
Selepas SMK, di sekolah kami ada program magang. Ian diterima magang di salah satu perusahaan telekomunikasi di ibukota. Setelah delapan bulan magang, dia diangkat sebagai pegawai tetap oleh perusahaan tersebut. Sedangkan aku selepas SMK, magang enam bulan di perusahaan telekomunikasi di Surabaya setelah itu bekerja sebagai tenaga kontrak di tampat yang sama hanya beda divisi.
Karier yang melejit menempel di diri Ian karena kecerdasan, kepandaian dan keberuntungannya. Info tentang kakak kelas, teman sealumni masih lancar. Ada cerita apa saja, aku masih mendengar walaupun hanya sambil lalu. Menikah di usia muda menjadi sesuatu yang sangat wajar di alumni sekolah kami karena mungkin faktor ekonomi yang mendukung.
Sempat terfikir dalam hati. Seandainya boleh memilih aku mau menikah dengan Ian. Tetapi takdir berkata lain. Dari milist SMK yang aku ikuti, Ian mengundang kami semua di acara pernikahannya. Surprise? Sakit hati? Itu pasti, tetapi dengan berjalannya waktu aku ikhlas menghadapinya. Sengaja aku tidak datang di acara pernikahannya.
Dari cerita sambil lalu yang aku dengar, Ian menikah dengan teman sekantornya karena dijebak oleh si perempuan. Karier bagus Ian sebagai taruhannya. Kecewa sekali aku mendengarnya. Laki-laki sebaik dia harus mendapat jodoh dengan cara seperti itu.
Cerita sambil lalu tentang Ian menghampiri telingaku lagi. Istrinya tidak boleh bekerja. Untuk kedua kalinya aku kaget mendengar berita tentang dia. Seperti tidak percaya dan aku serasa tidak mengenal sosok Ian yang sekarang. Beda sekali dengan Ian yang dulu kukenal. Yang selalu punya ambisi dan cita-cita tinggi tetapi tetap rendah hati. Cerita yang aku dengar lagi, dia tidak melanjutkan kuliah. Mungkin karena kariernya sudah mapan sehingga tidak memikirkan hal itu lagi. Berbeda dengan aku dan teman-teman yang senasib, yang masih menjadi pegawai kontrak dan harus memperbaiki nasib dengan meneruskan sekolah yang lebih tinggi.
Kuliahku sudah selesai tiga tahun yang silam. Pekerjaan yang lebih baik belum aku dapatkan. Aku hanya bisa berusaha dan berdo'a, ikhlas dan bersabar dengan takdir yang menghampiriku hingga saat ini. Aku belum menikah tetapi aku sangat bersyukur karena masih bisa menjalankan hari-hariku dengan baik.
Semalam, sahabatku, teman SMP-ku dulu main ke rumah. Ternyata dia sekantor dengan Ian. Dari dia aku mendengar berita bahwa Ian menikah lagi. Aku menjadi semakin tidak mengerti dengan jalan fikirannya, walaupun hal itu diperbolehkan oleh agama tetapi miris yang aku rasakan. Bersyukur sekali do'aku beberapa tahun yang lalu ditolak oleh Allah.
"Boleh jadi kamu membenci sesama, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak." (QS. 2:216).
Teringat dengan salah satu firman Allah, aku langsung mengambil air wudlu dan bertaubat memohon ampun kepada-Nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar