Selasa, 02 November 2010

Kesempurnaan Seorang Wanita

Haruskah seorang perempuan merasa khawatir dan takut takkan cantik lagi usai mengandung dan melahirkan? Atau lebih ekstrim lagi, adakah perasaan takut ditinggal suami hanya karena proses alamiah itu? Proses yang dianggap akan merusak kesempurnaan tubuhnya sehingga sang suami takkan mampu terpuaskan lagi karenanya?

Namun benarkah seorang perempuan yang mengandung, melahirkan dan menyusui bayi akan mengalami ketidaksempurnaan fisik lagi jika dibandingkan dengan semasa ia gadis dan atau sebelum mengandung dan melahirkan? Anggapan ini ada benarnya karena bagaimana pun juga beberapa bagian tubuh perempuan pasca melahirkan akan terasa mulai kendur. Tidak sekencang sebelum mengandung dan melahirkan seperti pada bagian vagina, perut, atau payudara. Namun anggapan seperti ini juga akan terasa sangat naif jika dijadikan alasan untuk tidak mau punya anak, tidak mau melahirkan secara normal, atau tidak mau menyusui anaknya dalam masa menyusui, apalagi perasaan akan ‘ditinggal’ oleh suami dan lain sebagainya.

Meski belum menikah dan merasakan sendiri bagaimana mengandung, melahirkan, serta mengalami ‘masa-masa kritis’ sebelum dan sesudah persalinan, saya seringkali merasakan dan melihat langsung bagaimana reaksi, kondisi dan perilaku seorang perempuan semasa hamil maupun yang baru melahirkan. Saya mengamati bagaimana mereka melewati ‘masa-masa kritis’ itu.

Salah satunya adalah mereka berpikiran bahwa dirinya tidak akan secantik dulu dan merasa tidak nyaman dengan bentuk tubuhnya yang tidak kencang lagi. Mungkin ini adalah salah satu dari ciri seorang perempuan yang mengalami baby blues, yakni perasaan campur aduk yang hadir pasca melahirkan yang terkadang tidak mengenakkan di hati.Semua perempuan—saya pikir—mempunyai potensi untuk mengandung dan melahirkan keturunan. Jadi, semua perempuan pasti akan mengalami perasaan resah dan gelisah sebelum maupun setelah melahirkan yang terkadang bisa membuat stress, bahkan depresi. Pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah ia mampu melahirkan dengan normal, menjadi ibu yang baik bagi anaknya, mampu merawat anak dan suami di saat sulitnya secara bersamaan, tetap tampil cantik dan percaya diri dengan merawat diri sebelum dan sesudah melahirkan, akan terus mengganggu pikiran dan kondisi tubuhnya baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini bisa membahayakan bagi diri dan calon bayinya jika tidak ditangani dengan serius.

Pengalaman menyaksikan seorang ibu yang terkena baby blues ini saya dapat dari kakak ipar saya. Istri kakak saya itu mengalami tiga kali masa kehamilan di rantau orang. Namun setiap hendak melahirkan selalu memilih pulang kampung. Semula kakak saya tidak setuju. Buat apa jauh-jauh pulang hanya untuk melahirkan kalau di rantau juga bisa?Namun kakak akhirnya mengerti alasan istrinya bahwa melahirkan di kampung sendiri yang notabene dekat dengan keluarga besar akan membuatnya merasa nyaman dan tidak perlu merasa takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ia pun tidak bisa membayangkan jika harus melahirkan di kota lain dan tanpa ditemani oleh keluarga besar meskipun suami dan adik-adik iparnya berada di sampingnya saat itu.

Hal ini sering saya anggap terlalu ‘berlebihan’, apalagi kakak ipar saya telah melahirkan sebanyak tiga kali dan setiap kali itu pula ia selalu memutuskan untuk melahirkan di kampung halaman. Kalau ia pulang hanya untuk melahirkan bayi pertamanya saja mungkin kami masih bisa memakluminya. Tapi ia telah melahirkan berkali-kali dan setiap kali itu pula ia harus pulang kampung! Saya pun kemudian menanyakan mengapa ia harus bersusah payah jauh-jauh pulang sedangkan rumah sakit dan fasilitas-fasilitasnya di kota tempat kami tinggal lebih lengkap jika dibandingkan dengan pilihannya untuk pulang kampung. Apalagi kami siap sedia berada di sampingnya untuk memberikan bantuan yang dapat kami lakukan semaksimal mungkin.

Ia pun kemudian memberikan alasan yang terus terang membuat saya agak terkejut. Ternyata di keluarga kakak ipar saya itu terdapat kebiasaan untuk ‘menyempurnakan’ tata cara dan perawatan pasca melahirkan dengan cara-cara tradisional yang biasa dilakukan oleh seorang dukun atau perempuan tua yang biasa menolong persalinan. Apa yang ia lihat dari pengalaman kakak-kakaknya yang telah lebih dulu menjalani perawatan seperti itu menurutnya adalah satu-satunya cara yang ideal dalam proses kehamilan dan melahirkan karena mendapatkan perawatan yang ‘paripurna’. Menurutnya lagi, proses persalinan seperti itu tidak akan membuat ia merasa kuatir akan kondisi tubuhnya pasca melahirkan. Misalnya ada perawatan-perawatan khusus yang dilakukan oleh dukun itu serta ramuan-ramuan obat tradisional tertentu yang harus dikonsumsi oleh seorang perempuan yang baru melahirkan yang tidak bisa ia dapatkan bila ia melahirkan jauh dari kampung halaman. Perawatan-perawatan ini sangat ia percaya akan menjaga bentuk tubuh dan kulit, menguatkan serta mengencangkan kembali bagian-bagian tubuh yang vital agar bisa kembali ke bentuk semula.Namun yang lebih penting dari perawatan itu adalah menjaga bentuk tubuhnya tetap fit dan cantik, sehingga suami tidak akan mengeluh tentang perubahan dan pengenduran bentuk dan bagian-bagian tubuh pasca melahirkan. Jika tidak mendapatkan perawatan yang baik akan mengakibatkan ia tidak bisa ‘memuaskan’ suami lagi dan yang lebih parah jika si suami malah berpaling pada perempuan lain. Kenyataan seperti inilah yang seringkali disaksikan oleh kakak ipar saya dalam beberapa kasus yang terjadi di sekelilingnya maupun hanya berupa cerita dari mulut ke mulut hingga menimbulkan trauma tersendiri baginya.

Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak—meskipun saya tahu suaminya sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu—mempunyai rasa pengertian yang dalam bahwa proses menanti kelahiran anak, sejak mengandung, melahirkan dan merawatnya adalah suatu proses alamiah yang telah dianugerahkan Tuhan pada manusia yang patut disyukuriKarena proses ini adalah suatu proses alamiah dan merupakan suatu anugerah terbesar bagi seorang perempuan, maka sudah selayaknya jika dalam menghadapi proses ini seorang perempuan tidak dihantui oleh perasaan kuatir apalagi takut bahwa dirinya tidak akan ‘sempurna’ lagi.Tindakan yang dialami oleh kakak ipar saya di atas tidaklah salah dengan mengambil keputusan untuk melahirkan di kampung halaman sendiri. Namun alasan bahwa bentuk tubuh perempuan tidak akan sempurna lagi pasca melahirkan dan bisa mengakibatkan seorang suami meninggalkan istrinya harus dibuang jauh-jauh. Tak ada yang perlu ditakutkan dalam menghadapi proses itu.

Hal ini tentu saja harus mendapat dukungan dari berbagai pihak utamanya keluarga untuk memberikan bantuan dan dukungan baik itu berupa materiil maupun psikis. Dan yang lebih penting lagi adalah pengertian yang dalam dari seorang suami bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Dalam hal ini sang suami harus mampu memberikan rasa cinta dan kasih sayang tanpa batas. Dan bahwa rasa cintanya pada sang istri tidak akan berkurang atau hilang hanya karena bentuk tubuhnya telah berubah dan tidak sesempurna saat sebelum melahirkan. Hal ini akan membantu sang istri membuang jauh-jauh perasaan was-was dan takut yang berlebihan tadi.Seorang perempuan adalah makhluk yang istimewa di hadapan Sang Pencipta dengan dikaruniai perangkat untuk mengandung sebuah kecambah manusia dengan segala susah payahnya. Jadi, apakah seorang perempuan akan menjadi hina dan tersia-sia hanya karena bentuk tubuhnya telah berubah pasca melahirkan dan malah yang lebih buruk lagi ditinggal oleh suami? Perempuan terlalu mulia untuk mendapatkan perlakuan tidak adil seperti itu. Lihat dan perhatikanlah, bukankah puncak kesempurnaan dan kecantikan alamiah seorang perempuan justru terpancar pada saat ia baru saja melahirkan buah hatinya? Sungguh, Tuhan Maha Suci lagi Maha Memelihara.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail (1909-1998)

  H. Abdul Hadi (1909-1998) Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail dilahirkan pada tahun 1909 M di Gang Kelor Kelurahan Jawa, Manggarai Ja...