Kenapa perkawinan bisa gagal? Salah satu penyebabnya, mungkin suami atau istri terkena gangguan neurotik, sehingga tidak mampu lagi menoleransi kelemahan pasangannya. Biasanya penderita neurosis tidak mampu mengatasi ketegangan sarafnya karena mengalami ketidakdewasaan emosional.
Iwan mengeluh gampang marah dan gugup. Pria berusia 30-an tahun ini tidak bisa mengendalikan matanya yang terus berkedip. Ia pun sering mengerut-kerutkan otot wajahnya. ”Kedipan mata ini sangat mengganggu saya,” keluhnya ketika datang berkonsultasi ke psikiater kondang. ”Saat membaca, tenggorokan saya ikut terganggu dan otot-otot wajah saya ikut tegang. Akibatnya, saya sering uring-uringan dan apa saja yang dilakukan istri selalu salah.”
Apa yang dia alami sebenarnya reaksi ketegangan terus-menerus sepanjang kehidupan perkawinannya. Ternyata gara-garanya, setelah anak kedua mereka lahir, istrinya tidak bergairah lagi di ranjang. Kalaupun bersedia ”main”, dirasakannya cuma sekadar memenuhi kewajiban sebagai istri. Namun karena Iwan tidak mau berterus terang kepada istrinya, ketegangan yang dia rasakan mengakibatkan keluhan tadi. Lebih runyam lagi, belakangan ia pun mengeluh tidak lagi bergairah terhadap istrinya. Boro-boro berasyik-masyuk, soal sepele bisa jadi bahan pertengkaran hebat di antara mereka. Sungguh menyedihkan, romantika dalam kehidupan perkawinan mereka sudah tak bersisa.
Untuk mengatasinya, jelaslah peran sang istri sangat diperlukan. Beruntung ketika diberi tahu tahu akar masalahnya, sedikit demi sedikit sang istri berusaha memulihkan kehidupan seksualnya. Selang beberapa bulan, saat kehidupan seksual mereka membaik, bim salabim, gejala mata berkedip dan ketegangan otot pada wajah Iwan pun sirna!
Dalam kasus ini Iwan tidak menunjukkan kedewasaan emosional, sehingga tidak mampu menoleransi apa yang sedang dihadapi. Suami macam dia menjadikan diri sebagai martir: membiarkan diri menderita tanpa berusaha melakukan apa pun untuk memperbaiki situasi. Terang saja, semakin hari derita yang ia rasakan semakin menyesakkan.
Dalam situasi demikian ia mengalami fase pradepresi atau keletihan mental (nervous breakdown). Cetusannya bisa berupa pelbagai keluhan fisik seperti yang dialaminya.
Masih bagus Iwan mau datang ke psikiater. Banyak pria macam dia justru mencari pelarian pada wanita lain atau minum-minum. Tragisnya, istri yang merasakan perubahan sikap suami cuma bisa mengeluh, merasa sang suami tidak setia, tidak menghargai serta tidak mencintainya lagi. Namun akar masalahnya sering tidak diketahui. Padahal kalau saja sang suami mau berterus terang, mungkin persoalan lebih mudah teratasi.
Perkawinan tengah baya
Gangguan neurotik macam itu juga bisa terjadi pada pasangan tengah baya. Coba tengok yang terjadi pada Tugabus. Pria berusia 55 tahun ini mengeluh belakangan ini sering bertengkar dengan istrinya. Si istri mengeluh, suami tidak lagi mencintainya. Tubagus kini lebih banyak meluangkan waktu di klub malam, perhatian pada anak-anak menurun, dan jarang mengajaknya ke pesta-pesta seperti dulu.
Sebaliknya, Tubagus juga mengungkap alasan mengapa sikap terhadap istrinya berubah. Pasalnya, istri terus-menerus mengeluh kurang sehat, gencar mengritik serta menuduh bahwa ia tidak cinta lagi. Beberapa dokter yang didatangi bilang, istrinya mungkin sedang menghadapi masa pramenopause sehingga mengalami perubahan kepribadian.
Wanita tengah baya yang sedang menghadapi masa pramenopause memang acap kali mengalami kondisi, seperti ketidakstabilan emosi (mudah menangis atau marah), keletihan yang tidak semestinya, menilai apa saja serba salah dan tidak memuaskan. Ia menghadapi depresi. Sebagai reaksi, sering timbul perasaan mengasihani diri sendiri, kehilangan rasa percaya diri, frustrasi dalam soal hubungan seksual dengan pasangan, tapi merasa tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan perasaannya. Gejala neurotik tampak pada diri sang istri.
Suami yang tidak tahu akar permasalahannya, bisa memberikan reaksi senada. Mungkin ikut gampang marah, tindakan sehari-hari bertambah serius, dan ikut mengeluh kurang sehat. Tidak mampu menemukan sumber masalahnya, ia menjadi sering uring-uringan. Tidak heran kalau sering timbul pertengkaran.
Apa yang dialami pasangan tengah baya ini bisa juga dialami ribuan pasangan lain. Mereka saling menggelisahkan satu sama lain hingga akhirnya timbul ”letusan-letusan” yang tidak diharapkan. Yang dikhawatirkan, perkawinan menjadi sekadar hidup berdampingan, tidak lagi terasa keindahannya. Dengan situasi seperti ini, yang lebih lemah sistem sarafnya bakal lebih menderita. Kalau tidak segera ditemukan permasalahannya, hidup perkawinan yang demikian akan semakin hambar.
Resep kebahagiaan
Mungkin persoalan dalam perkawinan akan bisa diselesaikan kalau saja setiap pasangan mengetahui kiat-kiat yang bisa dilakukan. Beberapa petunjuk yang boleh diikuti:
Hindari percakapan yang bisa menimbulkan perdebatan. Bila kira-kira kita tidak mampu mengontrol perbedaan pendapat yang muncul, lebih baik tidak mendiskusikannya sama sekali. Apalagi, kalau hanya soal sepele. Kalau pun perlu dibicarakan, tunggu sampai kepala dingin atau berlatih berbicara tidak dengan nada tinggi.
Berusahalah mengerti segi-segi psikologis lawan jenis. Ada sifat tertentu dari pria maupun wanita yang dapat ditangani sejak awal. Misalnya, kaum pria umumnya merasa dirinya penting. Suka dipuji dan diberi semangat. Banyak wanita melakukan kesalahan menyepelekan suami, bukannya membiarkan mereka merasa paling penting dalam keluarga. Umumnya wanita tidak ingin mendominasi pria. Kebanyakan justru lebih suka memperlakukan suaminya sebagai pelindung.
Ada beberapa hal dalam diri wanita yang tidak diketahui pria. Umumnya mereka ingin diperlakukan sebagai kekasih dan sekali waktu ingin dipuji. Memberikan perlindungan tidak cukup hanya dalam hal materi. Istri juga ingin tetap dicintai dan dianggap ikut andil dalam kesuksesan suami.
Bila sampai terjadi ketidakcocokan dalam kehidupan seksual, harus dilakukan suatu tindakan. Pasangan yang tidak mau atau jarang melakukan kontak fisik biasanya sering mengalami cekcok. Tentu tidak mudah tinggal dengan istri yang frigid. Seorang suami yang terkena gangguan seksual pun mungkin akan menjadi rewel, selalu mengeluh bahwa kesehatannya kurang beres. Orang yang mulai terkena gangguan neurotik biasanya kurang toleran dan tidak melakukan usaha apa pun saat menghadapi masa frustrasi seksual. Padahal persoalan seperti itu tidak perlu terlalu dirisaukan. Banyak buku yang bisa dibaca untuk menanggulangi masalah itu, atau bisa berkonsultasi pada pakar yang dianggap bisa membantu.
Perkawinan merupakan kerja sama antara suami-istri, bukan bersaing untuk menunjukkan mana yang lebih unggul. Pribadi pasangan kita tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan kita. Dalam kenyataan, masing-masing tetap merupakan individu unik yang memiliki pikiran bebas dan mempunyai hak atas dirinya.
Usahakan untuk sedikit mungkin mengutarakan keluhan. Rata-rata kita tidak suka pada orang yang selalu mencari-cari kesalahan orang lain, terus-menerus mengeluh tidak sehat, beralih dari dokter satu ke dokter lain, atau selalu mengeluh soal pekerjaan di kantor atau kewajiban di rumah. Orang yang kondisi kejiwaannya sehat akan merencanakan segala sesuatu dengan diam-diam dan berusaha mengatasi sendiri hal-hal yang kurang berkenan. Lebih baik melakukan sesuatu daripada hanya mengeluh tanpa berbuat apa-apa.
Mencari sendiri cara terbaik untuk membina hubungan dengan pasangan maupun dengan orang di sekitar kita. Hendaknya tidak menggantungkan kebahagiaan diri pada orang lain. Berusahalah untuk mencari variasi hidup atau menggali minat yang menyenangkan agar hidup tidak membosankan dan perkawinan tetap harmonis. Misalnya dengan membaca buku, mendengarkan musik, mengembangkan hobi, masuk klub, atau mengikuti kursus yang bisa meningkatkan kemampuan.
Orang yang merasa tidak bahagia umumnya malas berinisiatif. Mereka lebih suka mencari-cari alasan ketidakbahagiaannya, misalnya dengan mengatakan ”Seandainya aku menikah dengan orang lain, tidak akan seperti ini nasibnya.”
Jangan berdalih. Banyak suami atau istri neurosis mudah sekali menyalahkan pasangan untuk ketidakbahagiaannya. ”Ini ‘kan gara-gara dia tidak mau berubah,” tudingnya. Padahal sebenarnya ia harus mengubah diri sendiri sebelum mengharapkan pasangannya berubah. Kalau ingin memperbaiki kehidupan perkawinan, patutlah bertanya pada diri sendiri apakah sudah melakukan yang terbaik agar perkawinan sukses.
Kalau langkah yang terbaik telah dilakukan tapi belum juga berhasil, cobalah mencari solusi lewat orang ketiga, misalnya psikolog atau penasihat perkawinan yang dinilai bisa ikut membantu. Banyak perceraian dapat dicegah asalkan masing-masing mampu menghadapi masalahnya secara realistis dan mau melakukan konsesi yang dirasakan perlu.
Di atas segalanya, yang paling penting adalah kemauan kedua belah pihak untuk menerima tanggung jawab masing-masing dalam menghadapi hubungan yang dirasakan mulai kurang serasi agar perkawinan tetap utuh. (Oleh: Dr. Frank S. Caprio, M.D./Sumber: Kompas Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar