“Ya Rabbi, hamba berlindung kepada-Mu dari belitan hutang dan dari cengkeraman kekuasaan orang lain.” Doa ini selalu kupanjatkan dalam setiap munajatku. Terlebih jika mengingat kisah sedih masa lalu keluargaku.
Cerita dimulai ketika aku akan memasuki bangku Sekolah Menengah Atas. Karena bercita-cita menjadi seorang Arsitek, aku bersikukuh untuk masuk ke STM jurusan Sipil Bangunan. Sekolah ini hanya ada di kota Propinsi, sedangkan kami tinggal di desa yang letaknya jauh dari kota kabupaten.
Ayahku karyawan swasta biasa yang penghasilanya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Ibu membantu ayah dengan berjualan di rumah, membuka warung kecil saja. Aku adalah anak kedua dari ibuku dan anak pertama dari ayah, karena sewaktu menikah dengan Ayah status Ibu adalah janda. Aku memiliki tiga orang adik, jadi kami semuanya berlima menjadi tanggungan ayah. Kakakku umurnya 2 tahun di atasku, dia sudah sekolah di SMKK terkenal di kota Propinsi. Hal inilah yang memicu kecemburuanku ingin juga bersekolah seperti kakak di kota. Saat kuutarakan kemauanku untuk sekolah di STM, kedua orang tuaku tidak setuju. Alasannya adalah biaya.
Mendengar penolakan ayah, aku menangis lalu mengambek ke rumah nenek. Kuceritakan semua tentang penolakan ayah, kecemburuanku pada kakak, juga alasanku mengapa ingin bersekolah di sana. Selain karena cita-citaku, aku juga merasa akan mampu bersekolah di STM itu. Sejak SD dan SMP, prestasiku tidak pernah mengecewakan bahkan NEM-ku adalah yang tertinggi di sekolah dan rangking 3 se-kabupaten. Nenek menghiburku dan berjanji akan bicara pada Ayah.
Esok harinya ayah menjemputku dan berkata, “Besok kamu siapkan persyaratan untuk masuk STM.” Seketika aku berteriak kegirangan dan pulang ke rumah. Kutinggal ayah yang masih di rumah nenek yang jaraknya tak seberapa jauh dari rumah kami. Besoknya, ayah menepati janji, mengantarku ke STM di kota propinsi.
Melalui serangkaian pengisian formulir dan tes yang panjang, aku akhirnya diterima menjadi salah satu murid di STM itu. Kegairahanku akan sekolah itu membuatku tak begitu memedulikan wajah ayah yang selalu murung sejak awal, meski coba disembunyikan. Kupikir ini tak ada hubungannya degan uang karena setiap hendak membayar, kulihat ayah memilikinya.
Meski sudah mendapat tempat kos, tapi karena masuknya masih dua minggu lagi, kuputuskan untuk tinggal di rumah saja. Hingga suatu sore, tanpa sengaja aku mendapati pertengkaran kedua orang tuaku. “Besok orangnya datang dan harus dibayar. Kalau tidak tanah kita akan mereka ambil.” Itu adalah sepenggal kalimat ibu yang aku tangkap. Setahuku ibu memang memiliki sebidang tanah sawah yang disewakan. Namun aku tak paham, siapa yang hendak mengambil tanah kami itu dan mengapa. Kuberanikan diri untuk muncul, berharap sanggup menjadi penengah mereka. Keterkejutan akan kehadiranku membuat keduanya terdiam. Bahkan saat kutanya ada apa, tak ada jawaban memuaskan yang kudapatkan, hanya air mata ibu yang berlinangan.
Besoknya datang dua orang tamu. Seorang wanita keturunan yang katanya dari kota, dengan wajah menahan amarah dan seorang laki-laki berambut cepak seperti tentara. Aku berusaha menguping pembicaraan mereka.
“Gimana, sudah ada belum hari ini uang dan bunganya? Kalau tidak tanah jaminannya akan saya ambil.” Si wanita berkata dengan kerasnya. Ibu dan ayah terperanjat, begitu juga aku dari balik kelambu. Kata-kata ayah bergetar menahan amarah saat meminta perpanjangan waktu pembayaran. Sementara ibu hanya mampu mengeluarkan air mata. Namun itu semua tak mengurungkan niat si wanita untuk menyita tanah kami dengan meninggalkan sisa bunga yang harus kami bayar.
Baru kutahu kemudian, bahwa orang tuaku selama ini terlilit hutang rentenir dengan bunga yang sangat tinggi. Hanya dengan meminjam dua juta untuk menyekolahkan kakak, uang yang harus dibayar melonjak hingga lima belas juta. Jumlah uang yang sangat banyak bagi kami yang hanya orang desa.
Semalam aku menangis. Aku merasa bersalah kepada kedua orang tuaku, kenapa memaksa masuk STM yang berbiaya mahal sementara mereka masih terlilit hutang bahkan harus merelakan tanahnya disita. Aku akhirnya mengambil keputuan. Daripada nantinya putus tengah jalan karena ketiadaan biaya, lebih baik kuurungkan saja niatku sekolah di STM dan memilih di SMAN dekat rumah. Meski, kekhawatiran akan telah tutupnya semua pendaftaran sekolah menderaku.
Ketika keesokan harinya kuutarakan niat itu, ayah berterimakasih atas pengertianku lalu mengusahakan agar aku dapat diterima di SMA. Tidak mudah mendapatkan sekolah saat pendaftaran sudah tutup semua. Namun demi melihat nilaiku yang bagus, sebuah SMA yang berjarak sekitar dua puluh kilometer dari rumah kami mau menerima. Aku merasa beruntung sekali.
Sejak saat itu aku berfikir untuk membantu kedua orang tuaku. Tanpa sepengetahuan mereka sepulang sekolah aku menjadi kondektur angkutan umum. Hasilnya lumayan, aku tidak pernah meminta uang jajan bahkan kadang memberi adik-adikku uang. Ibu pernah menanyakan darimana aku dapat uang dan kenapa tak pernah meminta. Kujawab aku diberi nenek. Namun pekerjaan yang kusembunyikan dari ayah ibu itu suatu ketika terbongkar juga. Seorang tetangga bercerita yang membuat ayah murka. “Kamu mau sekolah apa mau jadi kondetur?” tanyanya. Dengan sabar aku menjelaskan, meski menjadi kondektur aku tak melupakan tugas utamaku bersekolah. Ayah mengerti dan mau menerima.
Berkat kemurahan Yang Maha Pengasih semua utang orangtua ku bisa terbayar dan aku bisa melanjutkan kuliah. Sebenarnya lewat PBUD (Penjaringan Bibit Unggul Daerah) aku diterima di tiga universitas negeri terkenal: UGM, UNDIP, dan UNHAS. Tapi karena sadar akan keadaan ekonomi keluarga aku lebih memilih UMPTN di daerahku. Entah mengapa cita-citaku yang dulu jadi arsitek sirna. Dibanding fakultas teknik, aku justru memilih Fakultas Pertanian. Alhamdulillah aku lulus UMPTN tahun 1995 jurusan Teknologi Pertanian Program Study Pengolahan Pangan Universitas Mataram, NTB. Dalam hati aku berkata, dulu inginnya jurusan teknik arsitek sekarang justru kuliah di jurusan technology pertanian. Tapi tidak apa-apa lah, siapa tahu mampu memperbaiki keadaan di desaku. Hasil produksi pertanian meski melimpah banyak yang rusak karena ketiadaan teknologi penunjang.
Empat tahun aku duduk di bangku kuliah, Alhamdulillah lancar, baik urusan biaya maupun urusan akademik. Disamping jadi Asisten Laboratorium aku juga mendapat beasiswa PA (peningkatan akademik) yang jumlahnya cukup besar. Duitnya bisa aku tabung, bayar kuliah, dan membantu orang tua. Yang paling membanggakan, diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua aku kuliah di universitas swasta fakultas ekonomi kelas malam. Kuliah itu aku selesaikan dalam waktu tiga setengah tahun. Orang tuaku jelas terkejut saat Universitas mengudang acara wisuda di kampus swastaku. Mereka bingung, aku sebenarnya kuliah dimana. Baru setelah kujelaskan, kebanggan itu jelas terbayang di wajah keduanya.
Setelah semua kuliahku selesai, aku masih tetap menjadi asisten dosen dan asisten laboratorium di kampusku sampai akhirnya diterima kerja di sebuah Bank BUMN di kotaku. Pada saat itu banyak sekali kesempatanku karena aku diterima di banyak tempat. Namun aku menuruti saran orang tua yang memilih menjadi pegawai bank saja. selain karena tempatnya dekat di kota kabupaten sehingga tak perlu kos.
Satu tahun jadi pegawai bank sangat membosankan, karena pekerjaannya yang terasa monoton. Tanpa sepengetahuan orang tuaku, aku mendaftar lowongan beasiswa dari ADS, dan diterima. Orang tuaku dan nenek sangat sedih ketika aku memilih sekolah ke Australia dengan melepaskan pekerjaan yang aku punya. Alasannya bahkan tidak rasional. Nenek tidak mau kalau kuliah ke luar negeri pulangnya aku membawa istri bule. Beliau tak ingin mempunyai cucu kafir (pikiran orang desa semua bule adalah kafir).
Akhirnya aku mengambil jalan tengah dan meminta ijin kuliah di Yogya. Mereka setuju, dan aku mendaftar di MEP (Megister Ekonomika Pembangunan), UGM. Selesai dari UGM tahun 2004, aku mendapat pekerjaan di Jakarta. Orang tuaku tidak setuju. Aku disuruh pulang membangun daerah, tapi aku bilang hanya ingin mencoba untuk beberapa lama saja.
Tak disangka jodohku datang pada tahun yang sama aku mulai kerja. Istri tersayangku hanya aku kenal satu bulan di Yogya. Dia juga baru wisuda S1 kedokteran. Kami nekat menikah padahal aku baru saja mulai kerja dengan gaji yang tidak begitu banyak untuk ukuran hidup di Jakarta. Terlebih istriku harus melanjutkan kepanitraannya selama 2 tahun lagi, dan sebagai suami aku yang menanggung semua.
Sebentar lagi istriku akan selesai dari ko-Assnya. Bulan ini adalah bulan-bulan terakhir. Karena dapur kami dua, Jakarta dan Yogya otomatis kebutuhan sangatlah banyak, sehingga sampailah aku pada masa sulit keuangaan. Terlebih setelah buah hati kami lahir.
Disaat kesulitan seperti ini aku selalu ingat pada kisah orang tuaku dulu. Aku tak akan pernah mau berhutang walapun sesulit apapun.
Namun tadi pagi pikiranku benar-benar buntu. Semua gaji sudah kuserahkan pada istri sementara ada kebutuhanku yang harus terpenuhi. Tak mau memberatkan orang tua dan teman-teman, aku hanya mampu berdoa, “Ya Rabbi, hamba berlindung kepada-Mu dari belitan hutang dan dari cengkraman kekuasaan orang lain. Dan hamba memohon diberikan kemudahan setelah kesulitan ini.”
Disaat kebingungan, sahabatku tiba-tiba menawarkan, “Pak Taufik aku ada duit lebih. Boleh titip?” Antara senang dan haru saya jawab boleh banget, karena kebetulan sedang butuh.
Dalam hati aku berbisik syukur, “Ya Rabb. Belum kering lidahku memohon pada-Mu, Engkau kirim malaikat-Mu. Maha Suci Engkau ya Rabbi.”
mantap kisahmu,,,,
BalasHapustapi terlalu banyak sekolah,,,
boleh hutang tapi tidak dengan rentenir,,,
Duhh.. kasihan banged setelah membacanya.. Sabar ya mas. pasti ada jalan.
BalasHapusBerkece.com | Elbaihaki | Teknogadget | KabarIbu.com
pelajaran juga buat ane,, jangan sampe dket2 riba
BalasHapusharga hp oppo