Aku seperti orang bodoh dan buta, yang tak tahu menahu tentang kenyataan masa lalunya yang teramat kelam. Yang aku tahu, aku adalah anak dari orang tua yang baik-baik, berada, dan berpendidikan. Siapa yang menyangka bila ternyata sesungguhnya aku adalah anak dari orang tua bejat yang tidak berpendidikan.
Ironisnya, semuanya aku ketahui justru saat menjelang masa perkawinanku dengan kekasih hatiku, karena menurut agama yang aku anut, seorang perempuan yang mau menikah, harus dihadiri oleh wali perempuan. Apabila ayahnya masih hidup, dialah yang harus menjadi wali penikahan kami.
Sebenarnya sedari awal aku sudah tahu bila orangtua yang membesarkan aku dan mengasihi aku sepenuh hati saat ini adalah orangtua angkat. Dan aku tak pernah mempermasalahkannya. Aku juga tak perduli bila dulunya aku dipungut dari panti asuhan atau dari tempat sampah sekalipun. Aku sudah cukup bersyukur dan bahagia dengan semua yang sudah aku dapatkan dari orangtua angkatku itu. Sebagai anak tunggal, bahkan bisa dibilang, hidupku sudah lebih dari cukup. Kasih sayang, pendidikan, dan segalanya yang membuatku menjadi anak yang beruntung.
Tapi petaka itu datang. Saat itu, begitu aku mengutarakan untuk menikah dengan pacarku yang putra seorang dosen, orangtuaku langsung tanggap. Mereka memberikan beberapa pengertian di dalam agama yang mengharuskan kehadiran ayah yang masih hidup dalam perkawinan anak perempuan.
Aku pasrah saja. Toh sebenarnya aku juga penasaran ingin tahu, seperti apasih kehidupan keluarga asliku? Sekaligus aku ingin tahu, motivasi apa yang membuat mereka berusaha “menyingkirkan’ aku. Meski aku sudah bisa menebak, mereka pasti dari kalangan keluarga yang secara social ekonomi kurang berkecukupan, namun apa salahnya aku bila bisa bertatap muka dengan mereka.
Dengan diantar kedua orangtua angkatku, akhirnya aku sampai juga di sebuah desa kecil, di sebuah kabupaten yang tidak terlalu terkenal di Jawa Tengah. Seperti yang sudah kuduga, rumah yang kami tuju, hanyalah sebuah rumah sangat sederhana yang berada di pinggiran desa. Bahkan bisa dibilang tak layak huni.
Setelah mengetuk pintu kayu rumah itu, dan tak ada jawaban, tiba-tiba muncul anak perempuan, kira-kira usianya 15 tahun dari samping rumah. Ibu angkatku menanyakan nama seseorang kepada anak itu. Namun, menurut keterangan anak itu, nama yang ditanyakan ibu angkatku sudah lama diusir dari kampung itu. Begitu juga nama seorang perempuan-yang mungkin nama ibuku, juga telah lama ‘minggat’ dari kampung situ. Tak ada satupun orang yang tahu keberadaan para anggota keluarga yang telah bercerai berai itu. Artinya, hilang sudah jejak orang itu!
Meski diutarakan dalam bahasa Jawa, tapi sedikit banyak aku tahu apa yang dibicarakan mereka. Kurang lebih begini …“O Pak Nono (bukan nama sebenarnya) … sudah lama sekali diusir warga bu. Soalnya, habis menghamili anaknya itu, dia sering bikin rusuh kampung. Bahkan istrinya sendiri hamper dicekiknya …” kata perempuan muda itu.
Tiba-tiba, hatiku bergetar hebat. Orang macam apa sebenarnya yang tengah dicari orangtua angkatku itu? Siapa yang disebut sebagai orang yang habis menghamili anaknya, bikin rusuh kampung, dan hampir mencekik istrinya itu? Jangan-jangan … dia yang disebut-sebut sebagai ayahku kandungku itu.
Dan benar sekali! Seperti yang diutarakan orangtua angkatku, memang seperti itulah gambaran orang tua asliku. Yang lebih tragis, akulah anak hasil hubungan terlarang antara ayah dengan anak kandungnya itu. Artinya, aku adalah anak sekaligus cucu kandung ayahku! Ya Tuhan … kenyataan macam apa ini? Aku bahkan hampir-hampir pingsan mendengar kejujuran yang diungkapkan ibuku yang dulunya adalah pegawai kantor Dinas Sosial yang pernah ditugaskan di wilayah itu. Karena tidak memiliki anak dan ingin menghindarkan aku dari beban social psikologis, mereka mengadopsi aku. Alasan itu jugalah yang membuat mereka akhirnya memasukkan aku ke fakultas psikology sebuah universitas swasta di Jakarta.
Aku tak tahu apa yang harus kuungkapkan, apa yang akan kukatakan pada keluarga kekasihku yang sangat menjunjung tinggi bibit, bebet, dan bobot calon anggota keluarga mereka. Ibu angkatku bahkan menyerahkan sepenuhnya kepadaku tentang pilihan yang harus kujalankan. Dia hanya menyarankan agar aku berkata jujur … Tapi mana aku kuat atau mampu menghadapi risiko terburuk dalam hidupku bila nantinya kekasih dan keluarganya tak mau menerima kenyataan ini … Aku benar-benar bingung …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar