Selasa, 19 Oktober 2010

Tuhan .. Jangan Ambil Nyawaku Dulu

tangisanTuhan, aku mungkin bersalah, berdosa .. bahkan dosa-dosa yang telah kuperbuat mungkin tak terampuni. Namun di penghujung usiaku yang mungkin hanya tinggal menghitung hari ini, izinkan aku meraih kemuliaan-Mu, pertemukanlah aku dengan menantu dan cucuku yang kini entah sedang berada dimana ..Meski kutahu kematian itu telah begitu dekat dengan urat leherku ..Jangan ambil nyawaku dulu ..

Aku, sebut saja Mirasih, beberapa tahun lalu adalah seorang nyonya rumah yang perlente. Cantik, kaya, dihormati, dan penuh kuasa. Maklum suamiku adalah seorang pengusaha yang sukses menapaki bisnis pembuatan sepeda. Tak ada yang tidak mengenalku. Pasalnya, rumahku adalah rumah paling bagus, paling gedhe, dan paling mentereng di kampung.Selain usaha bisnis yang banyak menyerap tenaga kerja, aku juga sering memberi sumbangan beberapa fasilitas umum untuk warga sekitar.

Aku memiliki anak lelaki semata wayang, sebut saja Aden. Anak lelaki yang tampan, yang menjadi harapan, tumpuan kasih sayang bagi anggota keluarga kami yang hanya tiga orang. Meski hidup serba kecukupan, ternyata Aden bukanlah anak yang sombong. Dia tumbuh menjadi remaja yang biasa saja, bahkan cenderung rendah hati dan mau berteman dengan siapa saja. Hingga akhirnya diapun berkembang sempurna sebagai pria dewasa yang mulai mengenal cinta.

Meski banyak yang mengejarnya, satu-satunya perempuan yang diajak ke rumah dan diperkenalkan kepadaku adalah Ayya (bukan nama sebenarnya).Terus terang aku kurang suka dengan Ayya. Meski lumayan cantik, menurutku, dia terlalu lugu, polos, dan sederhana. Jujur aku mengharapkan memiliki calon menantu yang lebih dari itu. Aku menginginkan seorang calon menantu yang sedikit 'modern' dan berpenampilan 'kota', juga smart dan bisa diajak 'bicara'.

Ayya terlalu pendiam dan pemalu, bahkan cenderung kuper menurutku. Tapi aku tak bisa menolak keinginan anak laki-laki kesayanganku itu. Meski dengan sangat berat hati, terpaksa kuikhlaskan dia menjalin hubungan dengan Ayya. Bahkan aku juga tidak kuasa mengatakan tidak ketika Aden memintaku untuk meminang Ayya.

Begitulah. Singkat cerita, Aden dan Ayya pun berumahtangga .. Karena aku tidak menginginkan Aden jauh-jauh dari aku, maka dengan sangat aku memintanya untuk tetap tinggal di rumah. Apa jadinya bila rumah sebesar dan semegah ini ditinggalkan salah satu penghuninya? Pastilah kesunyian yang akan kudapatkan .. aku tak mau itu terjadi padaku. Walau bagaimanapun aku masih tetap belum ikhlas begitu saja 'melepas' Aden.

Adenpun menyetujui, begitu juga Ayya tidak berkeberatan dengan keinginanku. Jadilah rumah ini bertambah satu orang, yakni menantuku Ayya.'Ketidakikhlasan' itu ternyata tetap bercokol di hatiku .. diam-diam aku mulai mencari cara untuk 'meneror' menantuku sendiri. Tak tahu setan macam apa yang telah bersemayam dalam hatiku, yang jelas aku mulai 'rewel' dan berusaha selalu mencari-cari kesalahan Ayya agar bisa melampiaskan kekecewaanku padanya. Semua kulakukan, terutama bila Aden sedang keluar rumah untuk menjalankan bisnis warisan keluarga.

Kesabaran Ayya ketika menghadapiku, bahkan tidak pernah membuatku luluh. Pun saat dia hamil .. tak membuatku berhenti untuk menerornya dengan kata-kata yang memojokkannya dan terus menyebutnya sebagai perempuan yang gila harta, mengguna-gunai Aden untuk dapat menjadi istrinya. Duh ...

Pernah suatu ketika, aku mendengar suara sesenggukan di dalam kamarnya .. aku mengintipnya, dan kulihat dia tengah bersujud bersimpuh tepat saat sembahyang Ashar. Awalnya aku sempat tersentuh, namun perasaan sombong dan angkuh justru membuatku menyalahkan Tuhan. Bukan salahku, pikirku .. Tuhan yang telah mengirimnya kepadaku, tanpa aku memintanya .. Jadi Tuhan yang telah membuatnya menderita ..Bukankah aku juga sudah cukup menderita bathin karena tidak bisa sepenuhnya menerima dia?

Begitulah .. hingga suatu hari, tepat ketika usia kandungan Ayya berumur tujuh bulan, datang seorang perempuan cantik ke rumah. Dia mengenalkan diri bernama Ratna (nama samaran). Terus terang, tipe perempuan seperti inilah yang sebenarnya aku inginkan untuk mendampingi Aden. Modern, cantik, dan tampak sangat terpelajar.

Setelah basa-basi sebentar, Ratnapun membawa satu kabar yang cukup mengejutkan. Ratna mengaku hamil satu bulan akibat berhubungan dengan Aden setelah beberapa kali pertemuan di luar kota. Meski aku tidak suka Ayya, namun kabar ini tentu saja membuatku kaget, seperti tersambar petir di siang bolong. Aku tidak bisa berkata-kata. terus terang aku bingung, tak tahu apa yang harus kukatakan .. Sementara Ratna mulai menangis, bahkan bersimpuh di kakiku untuk memohon agar dipertemukan dengan Aden, yang menurutnya sudah beberapa waktu 'menghilang' ..

Aku benar-benar kalut, masalahnya Aden sudah berkeluarga .. apapun kondisi istrinya, namun kejadian ini mau tak mau akan mencoreng kehormatan keluarga. Sehingga aku pun menyarankan kepada Ratna agar pulang ke rumahnya dan biarkan aku yang 'mengurus' semua persoalan ini dengan Aden, sekaligus dengan Ayya.

Seharian setelah itu, aku benar-benar gundah, serba salah, apalagi bila berpapasan dengan Ayya yang nampak pucat dan sakit-sakitan dengan perut buncitnya. Untunglah saat Ratna ke rumah, Ayya sedang keluar rumah belanja untuk keperluan persiapan jabang bayinya kelak.

Begitu Aden sampai di rumah, aku langsung menariknya ke ruang keluarga dan 'menginterogasi'nya tentang kebenaran kejadian dengan Ratna. Aden tidak menjawab, dia hanya menunduk .. dia mengatakan khilaf dan hanya sekali melakukannya. Itupun, dia bilang tak pernah menyadari kejadiannya .."Semua diluar kesadaranku .. Aku sendiri tidak tahu, bagaimana aku bisa melakukan perbuatan serendah itu .." katanya.

Namun perkataannya itu tetap tidak menjawab pertanyaanku. Terus terang aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan, kusarankan pada putra kesayanganku itu. Sharing dengan suamiku? Rasanya tidak mungkin .. akhir-akhir ini, suamiku mulai sering bepergian dengan 'komunitas'nya yang aku sendiri tak pernah tahu apa dan siapa mereka. Namun yang jelas, aku dan Aden sepakat untuk tidak menyampaikan kabar ini kepada Ayya, terlebih bila melihat kondisi fisik dan psikis Ayya yang kelihatannya tidak memungkinkan.

Suasana 'mencekam' itu mulai terasa. Kali ini bukan aku yang sering rewel dan uring-uringan .. beberapa kali aku mendengar pertengkaran hebat dari balik kamar Aden dan Ayya. Apa yang dipertengkarkan, aku sendiri tidak tahu. Namun yang jelas, setelah pertengkaran terakhir itu, Aden terlihat buru-buru keluar rumah dan menstarter mobilnya keras-keras.Setelah itu, satu hari, dua hari, Aden tidak pulang ke rumah. Saat aku mencoba menanyakan ke Ayya, diapun mengatakan tidak tahu.

Bukannya menenangkan hati Ayya, sebaliknya aku malah menyalahkan dia, menyebutnya sebagai istri yang tidak bisa menjaga perasaan suaminya.Bahkan tanpa sadar, berulangkali aku menyebut bila ada perempuan lain yang lebih pantas menggantikan dia, yakni Ratna. (Ya Allah ..maafkan aku).

Anehnya, tidak seperti biasanya, yang penurut dan tunduk atas semua perkataanku. Tiba-tiba saja, hari itu, Ayya berubah jadi perempuan 'beringas' yang begitu entengnya meluncurkan kata-kata, sumpah serapah, dan semua perkataan yang tidak sepatutnya ia ucapkan padaku. Merasa ditantang, hatikupun terbakar .. aku menamparnya dua kali, hingga dia hampir terjerembab. Dia tidak membalasnya, tapi dia juga tidak menangis. Sebaliknya, dia malah berkemas dan membuang muka dariku ketika akan melangkah meninggalkan rumah .. Karena sedang terbakar emosi, akupun tak berupaya mencegahnya.

Begitulah, Ayya pergi dengan hati hancur .. Begitu juga Aden, entah kemana dia. Tak berbeda dengan suamiku yang beberapa hari juga tidak pulang tanpa tahu ke mana. Berita baru kudapatkan, ketika suamiku berada di rumah sakit dalam kondisi sekarat .. kecelakaan karena berkendara dalam kondisi mabuk. Lebih tragisnya lagi, ternyata suamiku bersama beberapa orang temannya itu selama ini menjadi bagian komunitas judi yang beromzet ratusan juta rupiah. Dan tahukah apa yang telah dilakukan suamiku? Ternyata dia telah mempertaruhkan usaha pabrik sepedanya dan .. kalahhh ..

Lengkaplah sudah 'penderitaan'ku .. tepat di hari ketujuh selamatan kematian suamiku, Aden tiba-tiba datang bersama Ratna. Dia sama sekali tidak menanyakan Ayya, bahkan kulihat dia begitu bahagia dengan Ratna. Meski menurutku terasa sangat janggal, karena tidak biasanya anakku begitu .. tapi mau tak mau akupun menerima kenyataan itu dengan tangan terbuka.

Jadilah Ratna menjadi bagian keluarga kami yang baru, meski secara hukum agama maupun pemerintah, kebersamaan mereka tidak sah .. namun aku tidak mempermasalahkan itu. Bahkan aku mulai mengikis rasa bersalahku pada Ayya. Warga sekitar tidak terlalu memperdulikan status Aden, karena yang mereka tahu, seperti yang kuberitahukan ke mereka, Aden telah menceraikan Ayya dan menikah sirih dengan Ratna.

Cukupkah sampai di situ? Ternyata tidak .. usaha pabrik sepeda yang telah berpindah tangan kepemilikan, ternyata membuat kondisi 'dapur' kami mulai goyah .. bahkan satu persatu harta peninggalan suamiku, mulai terjual untuk keperluan 'merintis bisnis' seperti yang dijanjikan Aden. Bukan hanya seperangkat alat gamelan lengkap, perhiasan, mobil antik .. semua mulai terjual satu demi satu.

Puncaknya adalah ketika tiba-tiba, Aden mengajakku pindah rumah. "Aku sudah membelikan rumah yang baru .. rumah ini sudah laku, uangnya untuk merintis usaha baru di Jakarta,'' kata Aden waktu itu.

Aku benar-benar tidak percaya .. bagaimana Aden bisa melakukan itu padaku? Menjual rumah warisan tanpa kompromi dulu denganku? Dan rumah baru yang dijanjikan itu ternyata hanya rumah kecil di pinggiran desa ..yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rumah super megah yang telah dijualnya .. entah dengan harga berapa.

Ironisnya, setelah menempatkan aku di rumah itu, Aden hilang begitu saja .. bagaikan ditelan bumi. Sekali, dua kali, dia masih ke rumah untuk memberikan sekedar 'uang makan', listrik, dan air .. tapi lama-lama .. dia benar-benar meninggalkan aku dalam kesepian tak bertepi. Untunglah .. beberapa tetangga berbaik hati sering bertandang ke rumah untuk sekedar berbincang.Untuk keperluan sehari-hari, satu persatu perabotan pengisi 'rumah baru' itupun kujual .. bahkan ada satu keluarga yang karena begitu bersimpatinya dengan aku, rutin memberikan aku sekedar makan.Sungguh satu kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya .. begitu rendah, begitu miskin, terhina dan tak berguna ..

Tapi itu tidak menghiburku, semakin lama, aku semakin tersiksa .. merana dan tenggelam dalam fikiran yang terus mengembara. Tapi untunglah aku tidak sampai gila. Namun aku mulai enggan hidup .. Puncaknya adalah ketika dokter memvonisku dengan beragam penyakit kronis yang membuat aku lumpuh tak berdaya .. aku terkena stroke, liver, diabetes .. semuanya. Dan hingga hari ini.. aku merasa kematian itu sudah sangat dekat .. bahkan begitu dekat denganku .. Kesunyian itu, penyesalan itu .. berulangkali menyergapku.

Aku sudah siap bila sewaktu-waktu kematian itu menjemputku .. tapi yang aku masih tak bisa rela, aku belum bisa mengucap maaf pada Ayya .. pada cucuku yang pastinya kini telah lahir .. Itulah yang terus menggangguku, antara keinginan untuk terbebas dari segala penderitaan .. dengan ketidakikhlasan karena belum mendapatkan kata maaf dari menantuku

Ayya .. dimana pun kamu, maafkan aku nak .. maafkan aku, biar aku tenang saat kembali menghadap-Nya ..


Malang, 3 Oktober 2009

*Dituturkan Mirasih kepada Suci Gulangsari/jongjava.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail (1909-1998)

  H. Abdul Hadi (1909-1998) Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail dilahirkan pada tahun 1909 M di Gang Kelor Kelurahan Jawa, Manggarai Ja...