Kamis, 07 Oktober 2010

Jagalah Lidah…

agalah Lidah…

oleh Taufik Hidayat pada 07 Oktober 2010 jam 14:05

Masih ingat dengan Aa Gym? Ah, saya mah hanya ingat tentang kampanye menjaga hati saja. Yang lain? Sudah lupa tuh…. Sayang Aa Gym tidak sempat menjelaskan bagaimana menjaga hati dengan merujuk petikan ayat Al Quran ataupun Al Hadis.

Beda halnya dengan menjaga lidah, cukup banyak anjuran itu. Tetapi, karena saya bukan ustad, lebih baik ngomong yang ringan saja. Andaikan kita bisa menjaga lidah dan kemaluan, sudah bisa aman. Tidak akan banyak dosa. Lidah inilah yang akan membawa kita bisa ke orang-orang berbahagia atau penuh murung seusai kita dilepas di kuburan.

Rasulullah bersabda: “Siapa yang beriman Kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam.” ( Hadist riwayat Bukhari dan Muslim). Seorang sahabat berkata: “Jika engkau merasa keras hatimu dan lemah badanmu dan berkurang rezekimu, maka ketahuilah bahawa engkau telah bicara yang bukan kepentinganmu.”

Kualitas seseorang bisa terlihat dari kemampuan menjaga lidahnya. Sebaik-baik perkataan adalah perkataan yang sanggup mengatakan kebenaran dan ketika Rasulullah ditanya akhlaknya beliau menjawab akhlak beliau adalah Al-Quran. Rasul termasuk orang yang jarang berbicara tetapi sekali berbicara bisa dipastikan kebenarannya.

Cukuplah “ceramah” itu sampai di sini saja. Saya akan kembali ke realitas hidup. Kita akan berkenalan dengan seorang yang, bagi saya, sangat lihat menjaga lidah. Saya akan panggila dia Pak Tuo. Ini pasti asli Minang. Pak Tuo ini, seorang pensiunan sebuah BUMN yang sekarang masih aktif dengan kegiatan sosial.

Pak Tuo, pernah menduduki selevel manager di Telkom. Dia pekerja keras. Mengalawali karir dari bawah, dan punya reputasi yang baik. Pak Tuo ini ibarat gong. Dia sedang mau membuka mulutnya, bila ditanya. Meski kita duduk satu jam bersama dia, bila kita tidak sering bertanya dia akan terus membungkam.

Pak Tuo bukan orang yang bodoh. Dia pandai. Wawasan luas. Bukan hanya wawasan tentang ilmu pengetahuan populer, tetapi juga ilmu agama. Hanya saja, karena dia sangat pelit berbicara, orang tidak yang mengenal luasnya ilmu Pak Tuo.

Saya pernah satu mobil bersama dia. Kami pergi ke Kantor Departemen Hukum dan HAM di Jalan Rasuna Said. Kami mendapat tugas untuk mengurus proses pendirian sebuah yayasan. Nah, selama dalam mobil itu, saya menjadi benar-benar menjalankan profesi sebagai seorang wartawan.

Sejak dia membuka pintu, sampai keluar pintu mobil, omongan yang berasal dari dirinya tidak lebih dari 5 kata. Salah satunya, “terima kasih.” Selebihnya, saya yang berkata-kata. Yah, dia memang begitu. Dia orang sabar. Tidak pernah marah. Jangankan marah, untuk emosi pun tidak. Gaya bicaranya santun, datar. Sebaliknya dia murah senyum. Justru senyumnya itulah yang membuat dia tampak berwibawa.

Mengapa dia banyak diam? Selain sifatnya pendiam,”Saya lebih senang mendengar,” katanya. Tampaknya alasan itu benar. Saya kenal istri Pak Tuo, wah sungguh sangat bertolak belakang dengannya. Jago mangecek, kata orang Minang. Mungkin Alloh memang membuat menjodohkan orang-orang yang berkarakter berbeda untuk mendapatkan harmoni. Jika satu pasangan keduanya pendiam, ya pasti senyap. Tidak ada melodi yang mengalun. Begitu pula bila keduanya jago bicara… Bukan melodi yang lahir, tetapi peperangan.

Saya banyak belajar dari Pak Tuo. Beberapa hal yang sempat saya amati adalah bagaimana seni meyakinkan orang. Dia biasanya mendengar orang bicara. Ia menyerap semua omongan. Tanpa pernah memotong. Setelah itu, jika dia sependapat dia akan membenarkan. Jiak tak sepakat, dia akan adu argumen dengan sangat taktis. Banyak bicara, biasanya, banyak salah. Inilah yang diambil Pak Tuo. Poin-poin kesalahan atau kelemahan itulah yang dibalikan untuk mencounter pendapat lawan bicaranya.

Yang belum sanggup saya tiru, adalah kuatnya berdiam diri. Ia lebih banyak berzikir dibanding bicara. Dia lebih banyak merenung daripada melamun. Dia lebih banyak beribadah daripada berbuat bid’ah. Pak Tuo lebih senang tutup mulut daripada menyulut kemelut.

Saya masih saja sering membual. Berbicara yang tidak perlu. Banyak tertawa, banyak melamun, banyak menghayal. “Pak Pracoyo, menjadi pendiam itu memang nggak mudah kok. Lebih enak ngomong kan daripada diam?” katanya.

Bagaimana agar bisa mengendalikan dari bicara yang tidak perlu? Pak Tuo punya resep jitu. “Tidak usah kumpul-kumpul dengan teman, kalau tidak perlu,” katanya. Ya, Pak Tuo hampir tidak pernah hadir dalam kegiatan yang tidak ada nilai positifnya.

Meski begitu, bukan berarti pandai bicara tidak perlu. Ya untuk panglima perang harus jago pidato agar bisa membakar semangat prajurit, misalnya. “Kan anjurannya, lebih baik diam daripada bicara tidak benar,” katanya.

Wah, saya sendiri, rasanya, masih saja sering menceritakan keburukan orang lain. Menggosip, kadang juga masih menyerempet mulut. Padahal, gosip atau juga disebut ghibah merupakan dosa besar dan tidak diampuni, sebelum di halalkan atau di maafkan oleh orang yang dibicarakan. Bila orang yang kita jelek-jelekan itu sudah meninggal maka kita harus taubat dan tidak mengulanginya lagi. Lebih baik lagi, kita mendoakan kebaikan untuk orang tersebut dan juga bicarakan tentang kebaikannya.

Jagalah lidah,



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail (1909-1998)

  H. Abdul Hadi (1909-1998) Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail dilahirkan pada tahun 1909 M di Gang Kelor Kelurahan Jawa, Manggarai Ja...