Sabtu, 09 Oktober 2010

Kisah sejati ~ Setelah Istri Mengancam …

Kisah sejati ~ Setelah Istri Mengancam …

oleh Taufik Hidayat pada 09 Oktober 2010 jam 16:07

Kita mulai kisah dari pertemuan saya dengan orang yang sudah lama tidak bertemu. Dia kawan lama, yang sudah sering membuat saya pusing. Suatu sore, istrinya, menelepon dan bertanya tentang si kawan ini.Paling enak kita panggil dia Si Elang. Ya karena tatapan matanya, membuat banyak perempuan yang akan termehek-mehek dibuatnya. “Mas,” kata istrinya di ujung telepon,”Sudah tiga hari suamiku nggak pulang,” katanya.

Setelah itu, ia menceritakan apa saja yang dilakukan untuk mencari suaminya. Saya hanya mengiyakan, dan memintanya untuk bersabar. Setelah telepon ditutup, saya telepon suaminya. Saya ajak ketemu. Dia agak keberatan, pada awalnya, tetapi setelah sedikit saya desak, Teman Kita ini datang juga.

“Kenapa kamu nggak pulang,” tanya saya. Kata-kata itulah yang, entah kenapa tiba-tiba meluncur. Dia bagai tersekat. Sorot matanya langsung luruh. Dia menunduk. Lama. Tak menjawab.

Si Elang ini, sudah dua kali menikah. Yang pertama kandas, lantaran perbedaan prinsip. Benar? “Ya lebih tepatnya, karena gw yang nggak suka lagi,” katanya. Elang, yang berpawarakan pendek dan berkulit hitam, hanya meringis ketika didesak alasan yang sebenarnya? Dengan sedikit gugup, dia menjelaskan, “Saya nggak tahan sama gaya hidupnya. Saya berat,” ujarnya, jauh sebelum pertemuan sore itu.

Saya tidak melanjutkan pertanyaan. Saya hanya meraba-raba. Nah, istri yang baru ini, tidak lain adalah pacar ketika dia masih terikat pernikahan dengan istri pertama. Kata yang lebih tepat, WIL (wanita impin lain).

Kembali ke pertemuan sore itu. Elang terus terdiam. Pelan-pelan, di sudut matanya turun air mata. Ehm, jika tak salah, ini mungkin pertama kali ketemu lelaki yang tiba-tiba menangis. Saya diam. Dia makin sesenggukan.

“Apa yang terjadi?” pancing saya.

“Saya sudah nggak tahan,” ujarnya. Saya biarkan. “Saya ini bekerja bukan untuk diri saya Mas. Bukan untuk anak istri saya, tetapi juga keluarga dia. Ibu mertua saya janda. Tidak punya pendapatan. Adik ipar saya menganggur.”

Dia terdiam sebentar. Teman Kita, sesenggukan lagi. “Yang bikin saya marah, dia memaki ibu saya,” katanya. Saya singkat ceritanya ya, biar nggak terlalu sedih. Suami istri ini sudah sering bertengkar. Pangkal soalnya, Elang ini disamping membiayai istri dan anak, juga tulang punggung keluarganya sendiri. Dia masih memiliki ibu, dan satu kakak, yang juga tidak punya penghasilan.

Yang dia inginkan, sebenarnya, hanya agar istrinya bisa bersikap adil. Selama ini, semua gaji habis untuk biaya keluarga istri, sedangkan untuk membantu ibunya sendiri, Elang mengandalkan honor ketika tugas ke luar kota.

Puncak ketegangan tiga bulan lalu. Saat dia pulang kerja, tanpa tahu pangkal masalah, dia dimarahi istrinya. Tiba-tiba si adik pengangguran itu, ikut nimbrung dan memukul kepalanya. Hidungnya berdarah. Lebih parah lagi, motor butut ditendang si adik, dan harus dibawa ke bengkel.

Dengan luka di hidung, dan luka menganga di dasar hatinya, ia melapor ke polisi. Setelah itu, ia pulang ke rumah ibunya. Selesai? Tidak, tambah runyam. Keluarga istri makin marah karena laporan ke polisi itu. Setelah adiknya diperiksa dua kali, akhirnya Elang tidak tega dan mencabut laporannya.

Kesabaran Elang, masih terus diuji. Kali ini, istrinya mendatangi Elang di rumah ibunya. “Dia bilang, pilih saya atau ibu kamu?” kata Elang. Jika saya, dihadapkan masalah seperti itu pasti bingung. Elang pun rupanya mengalaminya. “Saya kan bingung Mas. Saya ngobrol sama Ibu. Untung Ibu memberi semangat,” katanya. Si Ibu menyarankan, perbaiki rumah tangganya.

Elang pun menurut. Tetapi, ujian belum berakhir. Belum EBTA, mungkin masih mid test. Kembali ke rumah, ia kembali bertengkar dan bertengkar. Di saat situasi rumah tangga seperti itu, ada rekan kerjanya yang juga sedang dilanda masalah dengan calon suaminya. Mereka kerja ke luar kota bersama. Dan, terjadilah barang yang putih menjadi hitam.

Benang hidup pun kian kusut. Ia kembali ke rumah Ibunya. Di saat itulah, si teman kerjanya itu terus merengek agar dia menceraikan istrinya. Imbalannya, ia akan membatalkan rencana nikah dengan tunangannya. Elang terjepit. Inilah, setiap kedustaan akan mengalirkan aroma busuk. Ia disidang oleh keluarga selingkuhannya. Calon suaminya, yang seorang tentara, bahkan mengancam akan membunuhnya bila terus mengganggu calon mempelainya.

Apa yang bisa dilakukan? Ia datang ke saya, minta saran. Saya hanya mengatakan, selesaikan satu per satu. Pertama dengan teman sekantornya, dia harus berjanji untuk tidak lagi menebar pesona, melempar jala. Yang kedua, selesaikan dengan istri. “Ancam istri kamu, bila tidak bisa mengubah perilakunya, tidak menghormati kamu lagi, keputusan ada di kamu,” saran saya.

Sampai di situ, saya lantas kehilangan jejak. Lama sekali. Sekitar sebulan lalu, secara tak sengaja ketemu Teman Kita, si Elang. Gimana? “Alhamdulillah, bulan depan saya pindah rumah,” ujarnya berseri-seri.

Apa rahasianya hingga ia bisa berdamai dengan dirinya, dengan istrinya? “Saya lebih mengalah lagi. Lebih sabar lagi. Demi anak saya. Demi Ibu saya,” katanya. Dua orang ini yang rupanya yang menjadi rem amarahnya. Yang menjadi gas untuk bisa lebih semangat memperbaiki diri.

Dan, sebenarnya ia tidak kalah. Istrinya diam-diam juga mulai mengubah perilaku. Tak kasar. Dan, salah satunya, karena ia menyayangi Elang, yang genggam kepal tangannya hampir saja menjadi penghias wajah. Wajah istri yang banyak meminta…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail (1909-1998)

  H. Abdul Hadi (1909-1998) Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail dilahirkan pada tahun 1909 M di Gang Kelor Kelurahan Jawa, Manggarai Ja...