Jumat, 08 Oktober 2010

Motivasi ~ Demi Anak, Meski Pedih…

Demi Anak, Meski Pedih…

oleh Taufik Hidayat pada 08 Oktober 2010 jam 14:21

Ah, memang Anda sanggup hidup menduda tanpa istri? Saya kok nggak yakin. Dari sekian lelaki, lebih banyak tidak siap hidup menduda, dibandingkan perempuan. Mereka lebih siap menjanda. Kok bisa?

Saya bukan perempuan. Tetapi, mudah-mudahan kesimpulan ini benar. Lelaki, secara biologis, lebih sulit mengendalikan diri dibandingkan dengan perempuan. Coba lihat, betapa banyak pria yang baru ditinggal mati istrinya, dia buru-buru mencari pengganti pasangan? Terkecuali, lelaki itu kuat berpuasa. Baik puasa lahir, maupun “puasa” secara biologis. Lain halnya dengan lelaki yang bisa dan biasa ngecer atau jajan, mereka seumur hidup bisa betah dengan status duda.

Tetapi, ada teman yang berani mengambil resiko menjadi single parent. Dia gugat cerai istrinya yang sudah memberi tiga orang anak. Alasannya? “Harga diri,” kata teman itu. Sebut saja di dengan Monang. Dia kawan lama, sudah hampir 20 tahun kamio berteman.

Soal harga diri, lelaki memang lebih kuat. Lebih egois. Lebih ingin mendominasi. Monang sebenarnya tidak demikian. Suatu sore Monang datang, dan bertamu. Kami sudah lama tidak bertemu. Kami makan bersama, meski hanya nasi bungkus dari Warung Padang dekat kantor.

Monang bercerita, hubungan suami-istri tidak lagi harmonis, setelah anak kedua lahir. “Sejak saat itu, istriku sudah banyak berubah,” kata Monang. Kawan saya ini, sebenarnya, seniman. Meski tanggung. Dia kurang total dalam berkarya. Dia mahir bikin puisi, jago baca puisi, dan suka menulis cerita pendek. Bahkan, dia juga beberapa kali menulis script untuk skenario. Toh, Monang masih kerja kantoran.

Sambil menikmati nasi ayam bakar, kami terus mengobrol. Monang berkisah, istrinya ini sebenarnya kenalan lama. Dia kenal baik dengan si istri, kita sebut saja dia Ratna. Monang dan Ratna berkenalan karena pernah bersama satu kegiatan teater. Mereka berlatih bersama. Monang sedikit lebih senior dibandingkan dengan Ratna. “Saya kenal baik dia,” kata Monang.

Saya kagum sebentar, sebelum akhirnya menjadi iba. “Dia itu junior saya. Tapi, saya nggak tahu kalau sebelumnya pernah menikah,” ujar Monang. Hemmm, kenal baik, ternyata ada yang baru tersingkap. Monang berujar, dia menikahi Ratna, selain karena kenal baik, cantik, juga karena faktor kedekatan emosional. “Ayahnya itu teman mengaji aku,” katanya.

Ketika Monang melamar, barulah rahasia itu terungkap. Itu pun si ayah yang mengungkapkan. Kepalang tanggung, Monang maju tak gentar. “Aku sok jagoan. Aku nggak menikahi masa lalu, tetapi Ratna,” katanya. Sebelum dipinang, Ratna pernah menjadi istri simpanan seorang anggota TNI. Mereka menikah siri, diam-diam, karena Pak Tentara sudah punya bini yang sah. Saya nggak sempat tanya, mengapa akhirnya Ratna bercerai dengan Pak Tentara tadi.

Saat pernikahan, hingga sebelum anak kedua lahir, keluarga Monang terlihat manis dan harmonis. Nggak ada pertengkaran. Kesemrawutan mulai datang, di saat Ratna tiba-tiba temperamennya berubah. Ratna yang semula santun, halus tutur katanya lembut, berganti seperti monster. “Kamu bisa bayangin nggak, dia itu kalau sedang marah, wajahnya itu hanya satu telapak tangan dari wajahku,” katanya.

Di saat marah, Ratna bersuara bagai srigala. Semua orang tetangga bisa mendengar raungan suaranya. Monang tetap mencoba bertahan. “Itu kan istri pilihanku, aku nggak boleh menyesal,” katanya. Di saat anak kedua mulai besar, Ratna juga mulai aktif berpartai. Dia menjadi pengurus partai di tingkat DKI Jakarta. Dari aktifitas ini, semua perangai dan tingkah laku Ratma bisa berputar 180 derajat.

Selain penuh pertengkaran, rupanya Ratna juga punya kesibukan lain. Dia dikabarkan sibuk menjalin hubungan dengan seorang pengusaha kaya. “Aku awalnya nggak percaya, sampai aku punya beberapa bukti,” ujarnya.

Toh Monang masih terus bersabar. Dia menasehati, mengajak mengaji dan beberapa lanngkah lain. “Bagaimanapun aku sayang sama dia,” katanya. Lahirlah anak yang ketiga. Dan, setelah ini, cekcok menjadi semakin sering, dan makin tinggi tingkat “kualitasnya.” Setelah bertahun-tahun menahan sesak di dada, Monang mengambil keputusan yang sulit. “Aku memutuskan bercerai setelah semua aku persiapkan,” katanya.

Jika dirinya tidak bercerai, Monang khawatir anak-anak malah tidak nyaman, bahkan akan berdampak negatif. Monang hanya memikirkan anak-anak. Pertengkaran demikian sengit, dan itu terjadi di depan anak-anak. “Aku panggil dua anakku yang paling besar. Aku sampaikan rencanaku. Aku kasih yang baik-baik tentang akibat perceraian,” kata Monang.

Monang berkisah, dirinya dan juga ibu mereka akan tetap mencintai anak-anak. Singkat cerita, perceraian pun dikabulkan. Bulan Januari bercerai, tiga bulan berikutnya, Ratna benar-benar menikah dengan pengusaha tadi. Dan, tiga anaknya ikut Monang. “Aku bisa membuktikan diriku lebih bisa menjadi single parent,” katanya.

Meski begitu, Monang tak mau serakah, dan memutus hubungan antara anak dan ibu. “Saya tetap izinkan anak-anak pergi bersama Ratna. Seminggu tiga hari bersama ibunya, tiga hari bersama saya. Ya kan Ratna tetap ibu anak-anak saya,” katanya.

Kini, Monang terus membesarkan anak-anaknya. Toh cobaan belum juga berakhir. Baru belakangan, dia mendapat cerita-cerita negatif tentang istrinya. “Bapak tuh terlalu sabar, dulu dia sering dikurung, disundut rokok sama suaminya karena dia nakal,” kata Moang, mengutip tetangganya.

Monang tinggal berharap anak-anaknya tidak terpengaruh sikap ibunya. Dia juga berdoa agar anak-anaknya tidak berkembang negatif setelah perceraian. “Aku pasti akan menikah lagi. Lagi nyari yang benar-benar sholehah,” kata Monang. Matanya berkaca-kaca. Makan pun terlihat tidak bernafsu lagi.

Saya sedih. Saya juga terhenti mengudap makanan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail (1909-1998)

  H. Abdul Hadi (1909-1998) Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail dilahirkan pada tahun 1909 M di Gang Kelor Kelurahan Jawa, Manggarai Ja...