Kisah Motivasi ~ Dibalas Air Tuba…
Suatu sore, ketika kami sedang leha-leha minum teh sambil mendengarkan ceramah dari Radio Rodja, saya kedatangan tamu. Ia seorang teman lama istri saya. Dia datang dan bertamu kepada kami. Setelah cukup lama tanya tentang keadaan masing-masing, tamu itu menawarkan satu paket asuransi syariah.
Terus terang kami sudah memiliki, dan baru “menguangkan” asuransi tersebut. Kami sudah sepakat untuk tidak lagi memakai asuransi. Yah nabung seperti biasa sajalah. Setelah pisang goreng dihidangkan, saya ingat teman (online body) Budi Putra. Wajahnya sangat mirip dengan tamu kami.
Dia lantas berkisah tentang keluarganya. Entah kenapa, saya sebenarnya baru kenal hari itu (dia teman SMA istri saya) tapi kok bisa begitu berkeluh kesah kepada kami. Kata orang-orang, saya dan istri, memiliki telinga yang lebar. Jadi, banyak kenalan yang bisa curhat dengan kami.
Kita sebut saja dia dengan panggilan Pingky. Itu karena penampilannya yang gaul habis. Rambutnya model mohak dengan jel yang licin. Rambut meruncing di bagian tengah, wajah klimis, dan wanginya bukan main. Meski di bagian wajahnya terlihat sedikit bekas cacar, dia tampak sumringah dengan gaya seperti itu.
Padahal, ia seusia saya. Jika saya diberi pilihan berpenampilan seperti itu, pasti tidak mau. Jadi aneh. Okelah, kita kembali ke cerita Pingky. “Saya lagi pusing nih,” katanya, tentu lebih banyak ke istri saya. Saya hanya banyak mendengar. “Sudah empat bulan ini, saya jadi duda,” katanya.
“Lho, kenapa bisa begitu?” tanya istri saya. Meluncurlah kisah dari mulutnya. “Ya, biasalah masalah keluarga,” katanya. Menurut Pingky, awal mula perseteruan dengan sang istri, hanyalah masalah sepele. “Karena saya sering tugas ke luar kota,” katanya.
Istri saya memotong,”Lho-lho, suami saya dulu juga sering ke luar kota. Bahkan seminggu setelah menikah dia ditugaskan ke Malaysia,” katanya. Si Pingky tersenyyum kecut. “Ya nggak tahulah. Mungkin istri saya sangat cemburu,” katanya.
Pingky, menurut istri saya, hanya hidup berdua dengan adiknya yang perempuan. Ayah ibunya telah lama meninggal, sejak mereka masih kuliah. Keduanya memiliki warisan cukup untuk melanjutkan hidup. Rumah peninggalan keluarga mereka jual. Sayangnya, Pingky itu bukan seorang perencanaan keuanggan yang baik semacam Safir Senduk itu. Dia jual warisan bukan untuk membeli rumah, tetapi malah untuk bergaya dengan mobil. Sisanya, dia akan pakai untuk biaya pernikahan adik perempuannya.
Setelah menikah, Pingky mengontrak sebuah rumah di Pondokgede. Rumah dengan tiga kamar itu ditempati Pingky bersama istri dan anak. Sedangkan di kamar lain, adiknya tinggal di situ. Pingky ini menikah dengan gadis Manado yang dikenalnya di sebuah mal. Tak dinyana, gaya hidup mereka sangat beda jauh. Si istri, meski sudah menikah, masih sering pergi dugem bersama teman-temannya.
Si istri juga punya kebiasan lain, merokok. Semula si istri bekerja, tetapi bukan uang yang ia dapatkan justru utang yang bertumpuk. “Saya curiga uang itu sebenarnya dia kirim ke keluarganya,” kata Pingky. Kecurigaan Pingky cukup beralasan, karena keluarga mertuanya tidak ada yang bekerja. Pingky sendiri sudah secara rutin memberi jatah untuk mertua. “Saya tetap punya kewajiban moral untuk membantu mereka,” katanya.
Ulah istrinya ini sangat aneh. Pernah suatu ketika Pingky harus membayar denda dari kantor istrinya. Selain itu, tagihan kartu kredit juga bikin pusing. “Sudah saya lunasin, besoknya dateng lagi tagihan dari bank lain,” katanya.
Pertengkaran pun tak terelakan. Nah, yang membuat Pingky sakit hati lagi, mertuanya itu selalu membela anaknya. Jika sudah begitu, dia tak bisa berbuat banyak. Saat hamil anak kedua, pertengkaran menghebat. Istri dan anaknya akhirnya pergi meninggalkan rumah itu. Si istri menuduh Pingky selingkuh, dan melakukan tindak kekerasan. “Dia yang menggugat cerai,” kata Pingky.Wah, pepatah lama itu hidup lagi ya: air susu dibalas dengan air tuba.
Meski sudah menggugat cerai, Pingky masih terus melaksanakan kewajiban sebagai suami memberi nafkah lahir (uang). “Ada anak saya, saya harus tetap ngurus dia,” katanya. Yang membuat dia jengkel, meski sudah pisah rumah dia masih membuat ulah. Dia ngontrak tapi nggak mau bayar, dan menyuruh orang menagih ke saya. Pingkylah akhrinya yang membayar kontrak rumah istrinya.
Di saat kritis seperti itu, di kantor Pingky terkena cobaan. Dia diancam akan dipecat, karena performanya kian menurun. Disamping itu, laporan istrinya ke HRD ikut membuat situasi hidupnya makin kacau. Beruntung dia bertemu seorang pimpinan yang membangkitkan semangat. Dia diberi kesempatan oleh atasannya untuk maju. “Tinggalkan egomu dulu. Kamu itu pintar tapi egois, nggak mau mendengar pendapat orang lain. Sekarang tugas kamu mendengarkan kemauan tim kamu,” nasehat si bos kepada Pingky. Pingky menirukan gaya bosnya saat memberi nasehat, cukup lucu. Ia ikuti saran bosnya, dan dia selamat dari pemecatan
Pingky akhirnya cerai. Padahal, si istri sedang mengandung anak kedua. Hanya beberapa hari setelah anak keduanya lahir, gugatan cerai istrinya dikabulkan pengadilan. “Saya antara senang dan sedih. Punya anak lagi, tapi rumah tangga seperti ini,” katanya.
Setelah cerai, adik perempuan Pingky baru cerita. Menurut adiknya, anak kedua Pingky, kemungkinan bukan anaknya si Pingky. Si adik beberapa kali memergoki di rumah itu ada lelaki yang sering mampir. Anehnya si lelaki itu datang di saat Pingky tugas luar kota. “Gimana Mas, saya harus alhamdulillah atau inalillahi menerima nasib saya?” katanya ke arah saya.
Wah, saya nggak bisa memberi jawaban. Benar-benar pelik, dan berat. Saya hanya mengatakan,”Yang Mas harus syukuri, Mas terbebas dari istri yang seperti itu,” kata saya.
Dia kemudian lama terdiam. Kami pun begitu. Di dalam rongga dada saya berputar aneka rasa. “Tapi, sebenarnya Mas benar selingkuh?” tanya saya. “Nggak Mas. Saya menggoda teman, itu iya. Sialnya sms itu yang dibaca istri saya,” katanya.
Nah, jika demikian siapa yang salah? Keduanya atau hanya salah satu? Menurut Pingky, kesalahan ada pada dirinya. “Saya salah memilih istri,” katanya. Yang luar biasa bagi saya, dia bercerita itu dengan ringan. Tidak sedih, tidak memendam dendam, tidak dalam nada kemarahan. “Saya nggak bisa mengubah meski sudah berusaha. So what?” katanya.
Adzan Magrib di masjid berkumdang. Kami sholat di masjid. Seusai salam, saya perhatikan teman istri saya ini menangis dalam doa. Saya tidak berani bertanya. Sekedar menebak-nebak. Tampaknya, mendung belum hilang dari pelipisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar