Jangan bermuka masam. Jangan masam muka. Apalagi di depan suami. Ini petuah seorang senior saya di bidang jurnalistik. Yang memberi nasihat ini, sudah berusia 70-an tahun. Sudah menikah tiga kali, setahu saya. “Jika suami diberi muka masam, di bisa bikin asam hidup rumah tangga,” katanya bertamzil.
Saya lelaki, saya sudah beristri, sangat mengerti makna kalimat itu. Bagaimana pengalaman teman kita, hingga keluar kalimat seperti itu? Mari kita kenalan dengan teman kita lebih jauh lagi. Kita panggil dia Paman Doblang. Postur tubuhnya mirip Dedi Petet, rambut ikal, gaya bicaranya berat. Sorot matanya kuat, suaranya parau. Dia perokok kuat, hingga giginya kuning dan menghitam.
Merokok kuat, batuk juga kuat. Saya lebih mengenalnya bukan sebagai wartawan tetapi lebih sebagai seniman. Maklum, saya pernah ingin menjadi seniman juga (menulis cerita pendek, puisi, main teater). Jadi, saya banyak berdiskusi dengan Paman Doblang tentang seni dan budaya.
Jiwa seniman, konon, sangat sulit diatur orang lain. Hidup sesuka dirinya, dan cenderung tidak mau terikat dengan semua prosedur dan aturan. Paman Doblang pun begitu. Dia hidup ini untuk dirinya sendiri. Dia bisa tidur di saat semua orang bekerja. Dia bisa bekerja di saat semua orang terlelap.
Ya, wartawan memang sebagian jiwanya seniman. Saya pun mirip dengan Paman Doblang, meski dalam banyak hal, saya tidak bertolak belekang dengan dirinya. Salah satunya, Paman Doblang ini biasa pulang ke rumah seminggu sekali. Bahkan, kadang bisa lebih. Saya masih merasa harus pulang setiap hari. Tidak boleh tidak.
Paman Doblang ini, sangat egois. Bahkan untuk anaknya pun, dia tidak mau mengalah. Apalagi urusan dengan istrinya. Saya cukup kenal istrinya, karena sering pula bertemu. Sang Istri, kita sebut saja Dewi Sembodro, sering mengeluh dengan perilaku suaminya. “Dulu saya berharap, semakin tua, dia semakin bijak, mau berubah,” katanya.
Dewi Sembodro misalnya mengeluh tentang gaya hidup Paman Doblang yang semau gue. Tidak mau diatur. “Tapi, apa semua seniman seperti itu?” katanya. Dewi Sembodro ini, bukan main sabar menghadapi suami yang bertingkah seperti itu. Dewi ini pernah menjadi tulang punggung keluarga, di saat Paman Doblang tidak memiliki penghasilan.
“Dia kok bisa, hidup seperti gelandangan. Nggak pernah mikir, kecuali berpikir untuk dirinya sendiri,” katanya kesal. Dewi Sembodro tetap menyayangi suaminya. “Karena dia cinta pertama saya. Saya mengagumi dia,” katanya. Jika tidak cinta, sulit bagi Dewi Sembodro bisa melahirkan enam orang anak yang pintar dan sehat.
Saking sayangnya, Dewi Sembodro itu hampir setiap hari mencari di mana Paman Doblang menginap. Paman Doblang, biasa tidur di rumah teman. Tidur di masjid, kadangkala menginap juga di mobil. Dia bisa memarkirkan mobil di mana saja yang dia anggap nyaman, lantas tidur. Ya, mobilnya memang laksana hotel. Dia mobilnya lengkap dengan perlengkapan mandi, bantal dan juga jaket.
Ketika zaman dulu belum telepon, bisa dibayangkan bagaimana kerepotan Dewi Sembodro mengurus semua itu. Sekarang tentu tidak terlalu masalah. Jika Dewi mencari suaminya, dia punya trik khusus, yakni tanya ke teman-teman suaminya. Apakah Paman Doblang menginap di sana atau tidak. Jika tidak, dia akan bertanya info semalam berjalan bersama siapa.
Meski Dewi Sembodro demikian sayang, toh dia merasa kesabarannya itu ada kadang berat juga. “Yang paling berat, saat dia nggak pulang lebih dari seminggu, dan saya nggak bisa mencarinya. Itu saya benar-benar pusing,” katanya. Dia sebenarnya berharap suaminya hidup normal. “Kasihan anak-anak. Mereka seperti tidak punya ayah,” katanya.
Paman Doblang sendiri merasa, apa yang dilakukan adalah bagian dari pencarian. “Ini proses hidup saya. Saya harus menjadi diri saya untuk bisa merasa hidup ini seperti apa,” katanya. Tapi kok ya seumur hidup masih dianggap proses? “Mencari memang begitu,” jawabnya.
Tetapi, Paman Doblang sangat serius bila sedang menulis. Ia bisa tidak bergeser dari tempat duduknya seharian. Ia hanya berhenti ketika akan sholat. Sayang, ritme serius ini kadang hanya muncul sepekan sekali. Ya, seniman kan mengandalkan mood. Selama tidak mood, Paman Doblang tidak bisa didikte. Tidak mau mengerjakan apapun. Ia bisa merokok dari pagi sampai pagi. Dia bisa duduk di depan teve dari malam sampai pagi.
Bagaimana dengan Dewi Sembodro bisa bersabar? “Saya ini mencintai dia seperti mencintai diri saya. Memang kadang jengkel, tetapi ya itulah dia. Mau diapakan lagi?” katanya. Nah, ujung kesabaran Dewi Sembodro akhrinya bermuara ketika suaminya diam-diam mengkhianati cintanya.
Dewi Sembodro semula tidak mau bercerai, karena dia masih mencintai Paman Doblang. “Cuma, tiba-tiba kok dia menjadi rajin bekerja. Kok tiba-tiba dia semangat mencari uang? Saya malah menjadi curiga,” katanya. Nalurinya sangat kuat. Hingga Dewi Sembodro akhirnya memilih untuk mengakhiri rumah tangga yang sudah dia lalui, lebih dari 30 tahun.
Mengapa Paman Doblang berubah? “Itu tadi proses. Saya sudah saatnya berbenah,” katanya. Sayang, proses itu berujung buruk. Sangat buruk bagi sang istri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar