Sebelum Ajal Menjemput…
Sebelum ajal menjemput, apa yang hendak kita lakukan? Saya punya sepupu yang memilih untuk menjalani dalam sunyi. Maksudnya? Dia memilih meninggal di sawah.
Entah apa yang terjadi, tetapi dia memang orang yang sangan unik. Jika orang lain ingin meninggal selepas menjalankan ibadah, atau saat ibadah, bahkan ada yang ingin mati syahid, kakak saya justru seperti berjalan memutar. Menyulitkan diri sendiri.
Ini bukan untuk dicontoh, tetapi cukup dijadikan pelajaran kita bersama. Kita panggil teman kita itu dengan Dulman saja. Entah kenapa tiba-tiba ingin memanggilnya demikian. Yang pasti, dia sepupu yang menjengkelkan.
Kita mulai dari perilaku dia dulu. Sejak muda, dia seorang playboy kampung. Dia pernah menikah dengan bude saya. Dari bude, ia memiliki satu anak. Tidak berjalan lama, dia menikah lagi dengan perempuan beda kampung.
Saat akan bercerai, dia berjanji akan memberi nafkah untuk anaknya setiap hari. Janji itu disampaikan di depan orang-orang banyak. Tetapi, janji tinggal janji. Jika tidak salah, kewajiban itu hanya berjalan tidak lebih dari tiga bulan. Setelah itu, dia seperti mengubur janjinya sendiri.
Dengan istri baru, dia makin giat bekerja. Istrinya muda, cantik, dan galak bukan main. Dia mestinya ikut tergabung dalam Ikatan Suami Takut Istri. Pokoknya, sejak pernikahan itu, praktis dia seperti hidup di bawah ketiak istrinya.
Nah, istrinya ini sangat ambisius. Dia tidak mau dikalahkan oleh tetangga. Tidak boleh ada yang menang, selain dirinya. Maka, suaminya pun harus bercocok tanam dari pagi hingga petang. Meski sudah memiliki sawah cukup luas, dia masih juga gatal. Saat orang lain sudah pulang ke rumah, dia justru berusaha memperluas lahan sawahnya dengan cara ilegal. Diam-diam. Entah meruntuhkan tanggul milik sebelah, atau dengan cara lain.
Dia pernah dipanggil Badan Pertanahan Nasional (BPN) karena tetangganya komplain atas sawah yang terus tergerus. Dia bergeming. Dia malah menantang orang yang melaporkan itu berkelahi. Lengkap dengan golok di tangan.
Lain waktu, saat bagi-bagi warisan, dia juga bertindak culas. Dari lima bersaudara, Dulman ini sebenarny sudah mendapat warisan paling banyak. Selain sawah dan rumah, ia juga mewarisi harta yang lain. Ternyata ia tak puas. Kakak kandungnya sendiri, dia bunuh dengan cara halus. Ya, dia bercerita ke orang-orang, bila ingin membunuh kakaknya.
Entah apa yang dilakukan, kakaknya benar-benar meninggal. Akhirnya tanah dan rumah yang mestinya jatuh ke tangan kakaknya, menjadi miliknya. Tak ada satu pun keluarga kakaknya yang berani menggugat. Bahkan, kepala kampung yang enggan menjadi saksi saat tanah itu akan dijual, juga diancam akan dihabisi.
Kegemaran lain, diam-diam dia juga senang bermain api dengan istri orang lain. Dia selalu mendekati ibu-ibu yang ditinggal merantau suaminya. Ada satu ibu yang berhasil diganggu, bahkan sampai punya anak. Ibu saya, pernah pula diganggunya. Saat itu, bapak sedang bekerja di Pekanbaru. Beruntung ibu punya pendirian. “Ibu kamu memaki-maki dia,” kata Bapak saya mengenang. Bapak pasti sangat marah saat mendapat laporan dari Ibu. Enggak tahu apa yang dilakukan, karena bagian cerita itu saya belum lahir.
Yang paling heboh, Dulman ini pernah pula akan berkelahi dengan sepupu yang lain, soal tanah persawahan. Ya, saya punya dua sepupu yang sama-sama suka memperluas tanahnya dengan cara ilegal. Nah, tanah keduanya itu berbatasan langsung. Wah, bisa dibayangkan kan bagaimana keduanya saling bersaing merebut tanah milik saudaranya sendiri. Beruntung didamaikan. Jika tidak, mungkin sudah ada yang tewas.
Menjelang ajal, Dulman ini juga menunjukkan gejala yang aneh. Si Istri, sudah kurang pendengarannya. Jadi, komunikasi mereka sangat kacau. Si suami bicara apa saja, selalu ditanggapi dengan kemarahan oleh istrinya.
Karena kesal, akhirya sepanjang hari Dulman tidak berada di rumah. Dia seperti sudah tidak betah tinggal di rumah. Ia hanya pulang makan, dan selebihnya dia pergi ke manapun dia mau. Tapi, ya paling sering di sawah itu. Bukan ingin bekerja, tetapi semata-mata sebagai pelarian. Jadi, jangan-jangan teman-teman yang lebih senang di kantor itu juga sebagai bentuk pelarian he…he….
Dulman ini juga sering mengulang kebiasaan zaman muda. Menggoda perempuan. Meski sudah memiliki cucu, kelakuannya tidak banyak berubah. Anak-anaknya pun sampai malu melihat kelakuan pasangan suami istri ini. Tidak heran bila anak-anaknya tidak ada yang betah menginap di rumahnya.
Suatu hari, dia bekerja dari pagi, sampai tengah hari. Istrinya menyusul, mengajaknya pulang. Tapi, Dulman tidak mau.
Di tempat lain, satu anak lelakinya tiba-tiba merasa harus pulang. Si cucu, kok ya memaksa dirinya untuk mengunjungi si kakeknya. Detik itu juga. Setiba di rumah, anak lelaki itu langsung mencari Dulman di sawah.
Tiba di sawah, Dulman terlihat melayang, dan jatuh. Si anak mengejar, membaringkan, dan mengusahakan agar tetap sadar. Tetapi, pemilik skenario yang asli, Alloh, telah memberi kata akhir di cerita kehidupan Dulman. Dia meniggal di tengah sawah. Si anak merasa yakin bisa menolong. Dengan sekuat tenaga, dia bopong Dulman menaiki pematang, mendaki tanah terjal ke kampung. Ia tak sadar, karena si ayah sudah menjadi mayat.
Selang beberapa hari, di sawah tempat Dulman meninggal, ada seekor monyet. Orang-orang pun bertutur. “Si Dulman berubah menjadi monyet.” Saya tidak percaya. Tapi, seumur hidup saya, tidak pernah ada monyet sampai ke kampung saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar