Istri cantik dan setia,hampir menjadi impian semua lelaki. Ada yang menambahkan dengan kreteria lain: kaya, pintar, keturunan orang yang tiada cela, dari keluarga yang baik, sampai sholehah. Ah, saya harus bersyukur, karena semua itu ada pada istri saya (jika istri saya baca, pasti dia akan tersenyum).
Meski memiliki berbagai kreteria seperti itu, ada juga lelaki yang masih merasa belum cukup. Saya punya teman yang merasa seperti itu. Duhai teman, saya kok malah menilai dirimu seperti kucing. Meski sudah kenyang, jika ada ikan asin masih saja terlihat lahap menyantapnya.
Saya perkenalkan teman kita kali ini. Kita juluki dia Kang Mung. Dia lebih tua dari saya, sekitar 10 tahunan. Dia ini punya penggemar yang cukup banyak. Di mana-mana dia punya kelompok diskusi. Dia pintar, pandai bicara. Badan yang agak pendek, tidak membuat dia terlihat cebol, karena badannya tegap.
Jika berbicara Kang Mung ini sangat menggetarkan lawan bicaranya. Seperti kucing dalam awal cerita tadi, dia sudah menikah lama sekali. Anaknya sudah ada yang kuliah, dan anak terakhirnya baru lahir dua tahun lalu. Anaknya, ada empat orang. Mengapa bisa usia anak pertama dan terakhir begitu jauh?
Rahasia mereka ada pada istrinya. Sang Istri, kita sebut saja Mbak Hawa. Ketika Kang Mung menikahi Mbak Hawa, usia perempuan itu belum juga genal 17 tahun. Mbak Hawa baru lulus SMP langsung dipinang Kang Mung. Tak heran jika sekarang masih terlihat sangat muda, baru 34 tahun.
Mereka menikah di Tasikmalaya, dan lantas Mbah Hawa diboyong ke Bekasi. Mereka tinggal di daerah Kampung Cerewet, Bekasi Timur. Keluarga ini awalnya sangat harmonis, juga rukun. Meski penghasilan tidak tetap, tapi Mbak Hawa merupakan perempuan yang ahli mengatur keuanngan rumah tangga. Dari rumah kontrakan, dia pindah ke rumah sederhana. Sekitar 6 tahun lalu, keluarga ini pindah ke perumahan cukup elit di sekitar daerah tersebut.
Terjadi perubahan pergaulan. Kata kerennya sih semacam gegar budaya. Dari lingkungan orang yang biasa-biasa saja, menjadi sedikit berkelas tinggi. Ya, entah apa yang terjadi, mereka lantas kurang harmonis.
Suatu ketika, prahara rumah tangga keluarga teman saya ini terguncang mungkin 5,6 skala richter, di kedalaman hati paling bawah. Mereka awalnya diskusi panjang lebar tentang poligami. Karena Kang Mung sangat menguasai ilmu agama, maka Mbak Hawa menjadi agak kalah dalam diskusi itu. Pendeknya, pemahaman akan poligami, terpaksa diterima Mbah Hawa.
Suatu hari, menurut penuturan Mbak Hawa, datanglah seorang perempuan yang lumayan cantik ke rumah mereka. Dia memperkenalkan sebagai anggota diskusi Kang Mung. Perempuan itu menangku bernama Laila. Karena tanpa curiga, Mbak Hawa juga langsung mencoba mengakrabkan diri. Laila ini bertanya pendapat Mbak Hawa tentang poligami. “Ya, saya katakan, sebagai perempuan, pasti saya nggak setuju. Itu kan naluri,” katanya.
Malam harinya, Kang Mung sedikit berbasa-basi, tentang kunjungan anggota kelompok diskusi. Setelah dijelaskan oleh Mbak Hawa, sontak Kang Mung marah. “Dia itu calon istri saya,” kata Kang Mung. Lemaslah semua persendian Mbak Hawa. Seperti layang-layang tanpa lagrangan, tanpa kerangka. Dunia terasa sempit. “Pokoknya saya nggak boleh,” kata Mbak Hawa.
Bagaimana sih awal mula Kang Mung, bisa tertarik dan tiba-tiba ingin menikah lagi? Suatu ketika, menurut cerita Kang Mung kepada saya, dia awalnya tidak ingin untuk poligami. Tawaran poligami itu datang, justru dari teman sesama penceramah. “Dia teman lama saya. Dia kasih tahu, ada janda yang mau dinikahi, meski dimadu,” kata Kang Mung. Kang Mung nggak berpikir tawaran itu berbuntut serius. Dia menjawab lagi,”Saya nggak mungkin bisa menafkahi istri lagi. Apalagi janda dan punya anak dua,” kata Kang Mung.
Rupanya, jawaban Kang Mung itu disampaikan ke Laila. Dapat jawaban berikutnya, Laila sebenarnya tidak menuntut diberi nafkah lahir (ekonomi), karena dia punya penghasilan. Laila ini pegawai Bank Danamon, dan punya sedikit jabatan. Kang Mung ini, memang mengandalkan hidup dari honor mengajar atau ceramah di berbagai tempat. Tidak hanya di Bekasi, tetapi sampai di pusat perkantoran di Jakarta, bahkan Tangerang. Tiada hari tanpa ceramah. Bahkan ada hari yang harus ia jalani sampai 4 tempat dalam sehari. Dari sini, dia membiayai hidup istri dan keempat anak-anaknya.
Suatu hari, ada seusai memberi ceramah, ada satu perempuan yang sudah menunggu. Dia menyebut namanya, dan mereka berkenalan. Tak lama kemudian, sahabat sesama penceramah itu memberi tahu, Laila bersedia dinikahi. Dengan berbagai keterbatasan dan syarat Kang Mung, Laila siap menerima pinangan. Mereka pun menikah. Mereka merencanakan secara matang.
Setelah menikah, pasangan Kang Mung-Laila ini kontrak rumah di daerah yang tak begitu jauh dari rumah Mbak Hawa. “Biar saya gampang mengurus anak-anak. Saya punya kebiasaan mengantar sekolah anak-anak,” kata Kang Mung. Semula semua berjalan lancar. Mbak Hawa, sampai beberapa bulan, belum tahu suaminya sudah menikah lagi.
Sampai suatu ketika, datang surat dari sebuah bank, intinya pengajuan kredit disetujui. Disetujui, nama istri yang dicantumkan dan harus hadir ke bank adalah Laila. Mbak Hawa, tak percaya. Dia hampir pingsan menerima kenyataan itu. Toh dia berusaha sabar, menunggu sampai suaminya tiba di rumah.
Saat Kang Mung tiba di rumah, Mbak Hawa langsung meledak. Siapa itu Laila? “Itu istri saya, yang dulu datang ke sini,” jawab Kang Mung. Saya nggak tahu kisah selanjutnya. Yang pasti, Mbak Hawa bercerita, “Buat apa uang sebesar itu?” kata Mbak Hawa. Kang Mung hanya diam. Mbak Hawa berusaha sabar menghadapi kenyataan suaminya sudah menikah lagi. Dia tidak mau dimadu, tetapi ia berpikir anak-anaknya.
Akhirnya dengan memendam galau di hati, ia berusaha menerima pil pahit itu. “Kalau saya nggak mikirin anak-anak, saya sudah minta cerai,” kata Mbak Hawa ke istri saya. Tak lama kemudian, cobaan berdatangan bagai gelombang. Hanya selang beberapa pekan, datang lagi tagihan kartu kredit yang nilainya cukup besar. Tidak hanya satu, tetapi berikutnya datang lagi tagihan serupa dari bank lain. “Lho ini buat apa? Dulu kita hidup secukupnmya tidak pernah punya utang,” kata Mbak Hawa. Kang Mung diam seribu bahasa.
Utang ternyata tidak hanya datang dari bank, Mbak Hawa belakangan juga tahu suaminya meminjam ke tetangga. Jumlahnya cukup banyak, dan tidak hanya dari satu orang. “Saya benar-benar malu,” katanya. Dan, ketika semua jatuh tempo, maka pusinglah Kang Mung. Mungkin juga karena malu, akhirnya dia mengurung diri. Dia menghentikan semua jadwal diskusi di berbagai tempat. Ia hanya jalan di lokasi yang mungkin dianggap aman, tidak ada orang yang tahu tentang utang-utangnya.
Mbak Hawa harus bersabar lagi. Anak tertuanya yang sedang kuliah di Bogor, akhirnya berhenti. Si anak tidak diberi biaya untuk hidup dan SPP. “Coba, saya harus bagaimana?” kata Mbak Hawa. Akhirnya, dia mencoba membangkitkan semangat suaminya. Dia mendorong suaminya agar mau berceramah lagi. “Hanya dengan cara itu, dia punya penghasilan,” kata Mbak Hawa.
Akhirnya roda mulai normal lagi. Tidak demikian halnya dengan Kang Mung. Dia sedikit mengalami perubahan gaya hidup. Karena istri barunya memiliki mobil, dia pun mau memberi kenikmatan itu kepada istri yang tua. Belum lama ini, dia terlihat tamasya bersama keluarga istri tua, dengan satu kendaraan. Mbak Hawa ini juga mulai tegar. Dia tidak ingin bergantung kepada suaminya. Di rumah, Mbak Hawa memberi jasa jahitan baju untuk tetangga dan teman-temannya. Dia, juga semangat untuk kembali mencari ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar