Pucuk dicinta ulam tiba. Ketika perut lapar, datang pula makanan
enak. Yummi. Inilah mimpi, hampir semua orang. Tapi tidak bagi satu kenalan yang ini, sebut saja Danang. Teman Kita ini, dua tahun lalu, salah satu direktur di Telkomsel.
Saya mengenal lewat seorang teman lama. Ini karena dia tertarik untuk mempublikasikan salah satu kegiatan yang sedang dirintisnya, yakni pembinaan terhadap tukang ojek. Nah, kalo dia justru menyodorkan bantal saat orang ngantuk. Dia memberikan ulam, ketika orang lapar.
Sebagai seorang di sebuah perusahaan nasional seperti itu, sebenarnya terlampau remeh-temeh mengurus tukang ojek. Memang tidak ada urusan lebih mulia dibanding tukang ojek? Ada ladang amal lain yang lebih hebat, di mata saya tentu. Misalnya, mengurus anak yatim.
Danang, Teman Kita ini, tidak punya alasan khusus ketertarikan tukang ojek. “Daripada mereka bermain kartu saat menunggu penumpang, kan lebih baik ngomongin agama,” begitu salah satunya. Maka, hampir setiap bulan sekali ia mengumpulkan puluhan tukang ojek. Mereka diberi makan dan sedikit uang bensin. Buat apa mereka kumpul? “Mengaji,” katanya.
Karena itu, pertemuan pun dilakukan di masjid, di pagi hari, selepas subuh. Itu pun dipilih pas hari libur. Pertimbangannya,”Biar mereka nggak kehilangan penghasilan,” katanya. Di saat pengajian, mereka hanya diminta untuk peduli dengan sesama tukang ojek. Tidak menyia-nyiakan waktu. Jika tidak ada pertemuan di masjid, biasanya, beberapa tokoh tukang ojek ini berkumpul di rumahnya yang asri di Jatibening. Di teras belakang rumahnya, sengaja di buat untuk berkumpul. Ada saung. Ada kolam ikan, ada mushola. Asri, seasri orang ini.
Teman Kita ini, selain memiliki kesibukan mengurus paguyuban tukang ojek, dia juga ikut memperhatikan para pembantu di kompleks perumahannya. Biasanya, setiap Minggu sore, ia mengumpulkan para pembantu. “Itu khusus pertemuan para pembantu,” ujarnya.
Meski memakai label “khusus”, sebenarnya tidak juga. Kan Danang bukan pembantu? Dananglah meminta para majikan untuk mengizinkan pembantu ke luar rumah, sekitar dua jam saja. Untuk apa? “Selain ada pengajian ada juga kegiatan lain. Biar mereka tambah wawasan, tambah kejujuran,” katanya.
Tukang ojek dan pembantu, entah mereka ini digarap para caleg di pemilu kali ini atau tidak. Sejatinya, mereka adalah pemilih potensial. Tukang ojek mungkin mendapat “cipratan” kegiatan caleg. Minimal diminta datang ke lapangan, dan sedikitnya mendapat uang bensin Rp 20.000. Lumayan.
Wah, jika ada kampanye para pembantu kan heboh ya? Dan, para majikan yang akan ketar-ketir menghadapi pembantu yang makin cerdas, makin tahu hak-haknya. Tapi bukan itu Danang mengumpulkan mereka. Ia tak sedikit pun berpikir untuk memanfaatkan mereka untuk kepentingan pribadi. Semua kegiatan, Danang yang membiayai. Ia tidak mencari sponsor, tidak minta sumbangan.
Jangan dibayangkan, Kawan Kita ini sudah berusia lebih dari 60-an tahun. Dia masih muda. Masih energik. Masih kokoh. Ini berbeda dengan orang kebanyakan. Mereka berbuat sesuatu untuk mengisi hari tua. Untuk menyongsong senja. Ketika hari mulai redup.
Teman Kita ini juga menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Sabar dalam menjalankan kebaikan itu. Tidak sedikit yang mengejek, ada yang mengkritik juga, tetapi Danang acuh. Ia maju tak gentar. Ada juga orang-orang yang ingin memanfaatkan Teman Kita untuk kepentingan pribadi. Ya itu tadi, urusan politik.
Jika tidak sabar, mungkin kegiatan ibadah sosial itu sudah lama berhenti. Prinsipnya, semua niat baik memang tidak selamanya menyenangkan semua orang. Toh niat baik saja sudah dicatat sebagai satu kebaikan. Apalagi dilaksanakan. “Nggak apa-apa Mas saya ditertawakan orang,” katanya.
Lho, sabar ternyata juga diperlukan, meski kita punya niat baik. Tulus. Ikhlas, dan mulia! Bahkan, ketika senja masih jauh pun….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar