Perpisahan yang membahagiakan
Ketika Rasulullah kehilangan putranya yang bernama Ibrahim, beliau menangis. Memang kehilangan seringkali meninggalkan rasa pedih dalam hati. Kehilangan acapkali menggumpalkan mendung kesedihan di ufuk hati dan kemudian butiran-butiran air mata berlinang di pipi.
Tetapi, ternyata tidak setiap kehilangan selalu menghadirkan kesedihan dan kepedihan. Tidak setiap kepergian harus ditangisi dan mengoyak rajutan kebahagiaan dalam hati. Bahkan ada sesuatu yang bukan saja tidak usah ditangisi jika ia pergi, namun memang harus pergi dari hidup kita. Harus hilang dan tidak pernah kembali lagi.
Kemaksiatan. Dosa. Itulah sesuatu yang memang harus pergi dan kita usir dari hidup kita. Agar tidak kembali lagi untuk selamanya. Ucapkan selamat tinggal dan perpisahan abadi terhadap dosa. Cerminan dari do’a yang sering dibaca Nabi dalam do’a iftifah sholat, “Ya Allah jauhkanlah antara aku dan antara dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah sucikanlah aku dari dosa-dosaku sebagaimana disucikannya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah cucilah aku dari dosa-dosaku dengan air, salju dan embun."
Dosa sering kali dibalut oleh kesan kenikmatan. Kesan kesenangan. Walau sesaat. Bak fatamorgana dan air di lautan yang diminum tetapi tidak pernah mampu menghilangkan rasa haus. Hanya menambah rasa penasaran dan makin terasa haus. Dari itulah tidak banyak yang mampu mengangkat dirinya dari arus dosa. Karena kenikmatan itu. Karena kesenangan itu.
Orang yang telah kernbali, berarti harus kehilangan kenikmatan fatamorgana. Memang terkadang ada rasa kehilangan. Terkadang ada rasa ingin kembali ketika berjumpa dengan teman masa lalu yang masih asyik berenang di keruhnya dosa. Padahal hanya waktu saja yang kita butuhkan. Untuk berpindah dari kenikmatan sesaat yang menyesatkan pada ke-nikmatan hakiki yang abadi. Dosa harus hilang dari kita. Kita harus ikhlas kehilangan dosa. Kita harus bahagia karena telah mampu menyapih diri ini dari candu dosa. Walau berpisah dengan dosa bukan hal yang mudah. Kita sendiri mungkin telah merasakan tawaran manis dosa akan segala hal yang tampaknya nikmat. Dan kita pun telah banyak mengorbankan segalanya untuk dosa itu. Tetapi ternyata ia telah menjerumuskan kita dan siapa saja yang mendekatinya. Kemudian ia pergi meninggalkan kita dalam kesendirian menyesalinya. Sampai kita lupa akan peristiwa ini, dan dosa datang kembali membawa tawaran yang terkesan lebih manis. Mengapa ingatan kita begitu lemah akan hari-hari suram yang pernah kita lalui bersama dosa. Anak muda yang berurai air mata di suatu malam sambil berdo’a semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita. Mansur bin Ammar mengira hari telah pagi, dia pun keluar dan ternyata hari masih gelap. Di tengah keheningan malam dia mendengar rintihan do’a di sela isakan tangis anak muda yang tak pernah dikenalnya. “Tuhanku ketika aku bermasiat kepada-Mu aku tidak bermaksud mendurhakai-Mu. Ketika aku melakukan dosa bukannya aku tidak tahu bahwa adzabnya sangat pedih. Ketika aku melakukan dosa bukannya aku tidak tahu bahwa aku tidak pernah bisa lepas dari penglihatan-Mu. Tetapi jika bukan Engkau siapakah yang akan menolongku. Kalau Engkau putus-kan tali ini siapakah yang akan sanggup menyambungnya kembali. Tuhanku, setiap usia-ku bertambah, bertambah pula dosa-dosaku. Setiap aku bertaubat setiap itu pula aku kernbali kepada dosa dan tidak malu kepada-Mu.”
Suara itu putus. Isakan terhenti. Mansur bin Ammar tidak mendengar apa-apa lagi. Hanya taawwudz yang keluar dari mulut Mansur. Esok harinya dia melihat ada jenazah di rumah itu dan seorang ibu tua yang menangis. “Ini anakku. Yang ketika malam telah larut dia selalu sholat di mihrobnya menangisi dosa-dosanya. Dia bekerja di siang hari dan selalu membagi hasilnya menjadi tiga. Sepertiga untukku, sepertiga untuk orang-orang miskin dan sepertiga lagi untuk dia berbuka puasa," jelas ibu tua itu.
Malam itu telah menjadi saksi untuk sebuah ucapan selamat tinggal. Selamat tinggal yang diucapkan oleh anak muda itu kepada semua dosanya. Benar-benar dia telah meninggalkan dosa-dosanya. Bahkan meninggalkan dunia untuk selamanya menuju Tuhannya.
Kini kita harus lebih banyak menangis. Bukan untuk dosa yang akan meninggalkan kita. Tetapi mengapa kita tak sanggup mengucap selamat tinggal kepada dosa-dosa itu. Kehilangan dosa adalah anugerah. Kehilangan yang akan mendatangkan kebahagiaan. Itulah kisah perpisahan yang membahagiakan.
Agar Kita Bisa Tersenyum Nanti
Kehilangan yang juga tidak perlu ditangisi adalah kehilangan sesuatu yang memang tidak mungkin kita cegah. Masa tua. Tidak satu pun yang sanggup menghentikan lajunya perputaran bumi. Agar usia tidak bergeser. Semuanya pasti menuju kepada masa tua.
Telah banyak yang hilang ketika kita sampai pada usia itu. Hari-hari masa muda yang penuh dengan dinamika telah lenyap. Tulang-tulang juga mulai rapuh. Teresa cepat lelah. Penyakit datang silih berganti. Rambut tidak hitam lagi. Yang pasti banyak yang tidak seperti dulu lagi.
“Tua dan kematian adalah penyakit yang tidak ada obatnya," kata Nabi SAW. Ya, pergeseran hari menuju masa tua tidak perlu ditangisi. Tidak perlu disesali. Tidak perlu ditakuti. Karena semua perasaan itu hanya akan menambah tugas hati untuk menanggung beban dan masalah baru.
Jangan terlalu dipusingkan bagaimana meremajakan kulit. Tetapi sibukkan diri dengan aktifitas yang akan membuat kita tersenyum ketika masa tua tiba. Karena sinar aktifitas yang pangkalnya ada di usia muda memancar hingga usia tua.
Suatu hari Jabir bin Zaid yang usianya sudah berkepala enam datang ke masjid dengan memakai sepasang sandal usang. Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya, “Telah berlalu dari usiaku enam puluh tahun. Dua sandalku yang usang ini lebih aku cintai dari seluruh usiaku yang telah berlalu, kecuali hari-hariku yang aku hiasi dengan kebaikan.”
Karena hanya hari-hari bersama kebaikan itulah yang akan abadi. Sementara hari-hari lain yang dikotori dengan dosa tak akan meninggalkan kesan. Bahkan hanya menjadi beban. Orang seperti Jabir mungkin bisa banyak tersenyum karena hari-hari lalunya penuh dengan kebaikan. Tetapi kita, akankah bisa tersenyum ketika menengok kembali ke belakang. Semoga.
Berapa pun usia yang telah berlalu dari kita, tidak terlalu penting. Apa saja kenikmatan masa muda yang telah hilang juga tidak penting. Usaha maksimal agar kita bahagia dan tersenyum bangga di usia tua itulah yang jauh lebih penting. Rasanya kita perlu meniru do’a Ibnu Abi Lubabah setiap sore hari menjelang, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan siang dan mendatangkan malam sebagai ketenangan, nikmat dan keutamaan. Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang pandai bersyukur. Segala puji bagi Allah yang telah memberiku kenikmatan hari ini. Bisa jadi banyak dosa yang aku lakukan pada hari-hari usiaku yang telah lalu. Ya Allah ampunilah aku pada sisa usiaku dan jagalah aku dari api neraka."
Masih ada lagi kehilangan yang tidak perlu kita tangisi. Apalagi kalau itu adalah ibarat harga yang harus kita bayar untuk kesuksesan. Mengorbankan salah satu pilihan hidup untuk fokus pada satu pilihan hidup yang prioritas. Bentangan pilihan hidup di hadapan kita begitu luas. Banyak yang bisa kita pilih. Tetapi tentu saja tidak semuanya bisa kita raih. Walau-pun keinginan terkadang lebih besar dari kemampuan diri.
Mungkin kita ingin menggabungkan beberapa keahlian dalam hidup kita. Mungkin kita ingin menangani banyak pekerjaan dalam satu waktu. Mungkin kita berharap bisa membaca beberapa buku dalam kesempatan yang sempit.
Sebenarnya tidak ada cacat dari keinginan besar itu. Tetapi yang harus diwaspadai adalah tidak terkonsentrasinya pemikiran dan usaha, sehingga tidak ada hasil maksimal. Apalagi kalau kemampuan diri terhitung pas-pasan. Bukankah lebih baik satu tapi istimewa dan berprestasi daripada banyak tapi tidak karuan hasil nya.
Berarti ada yang harus kita buang. Berarti harus ada yang kita pangkas dari keinginan yang menggebu itu. Imam Ibnu Madini rela kehilangan banyak ilmu. Tetapi beliau terfokus pada satu bidang ilmu. Awalnya, protes datang dari teman karibnya Yahya bin Said Al Qotton, “Jangan kau habiskan waktumu untuk mempelajari hadits. Karena kamu akan kehilangan banyak ilmu." Ibnu Madini ulama yang memiliki prinsip hidup yang kokoh. Dia tetap pada jalur hadits saja. Memang dia akhirnya harus kehilangan banyak ilmu. Tetapi dia adalah lautan dan rujukan utama dalam masalah ilmu hadits, tiada tanding tiada banding. Sebagaimana kesaksian Sholeh bin Muhammad, “Aku tidak mengetahui orang yang lebih pakar di bidang hadits dan ilalnya kecuali Ibnu Madini."
Begitulah, ternyata memang kehilangan tidak semuanya menyimpulkan kesedihan. Ada bagian hidup ini yang hilang dan ternyata itu adalah modal untuk kita tersenyum di kemudian hari. Wallahu’alam.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar