Uang Adalah Musuh…
Hmm, uang memang kejam. Gara-gara uang, kita bisa kehilangan teman. Gara-gara teman, kita bisa juga kehilangan segala-galanya: nyawa dan kehormatan. Tapi, bagaimana kita bersabar dalam menghadapi fitnah uang ini?
Saya pernah mendirikan sebuah LSM bersama teman-teman. LSM tersebut sukses mendapatkan dana dari lembaga asing. Jika tak salah ingat, satu tahun pernah mendapat grand samapai Rp 1,5 M. Ini untuk proyek advokasi budget atau APBD di beberapa daerah. Karena ada yang kurang puas, maka beberapa orang staf di lembaga tersebut, akhirnya mengundurkan diri, dan mendirikan lembaga baru.
Di lembaga baru, semula berjalan baik-baik saja. Karena sangat ingin kekeluargaan, periode kepemimpinan pun digilir per dua tahun. Sampai periode kedua, benturan sudah terjadi. Dan, puncaknya saat periode kepimpinan yang ketiga, terjadi kesalahpahaman yang sebenarnya juga tak lepas dari soal uang. Bukan masalah idealisme.Bukan pula masalah pembagian pekerjaan. Lebih sebenarnya ada yang merasa pendapatannya berkurang dan lain. Pokoknya UUD (ujung-ujungnya duit).
Saya karena tidak ingin terlibat dalam konflik, dan juga karena kesibukan saya, memilih mundur. Dengan harapan setelah saya mundur, terjadi rekonsiliasi. Biar semuanya selesai. Ternyata makin runyam. Dua orang keluar akibat hubungan makin tidak harmonis.
Nah, di sini saya melihat seorang rekan yang memiliki kesabaran luar biasa. Perempuan itu, kita sebut saja Srikandi. Dia masih lajang, kuat pendirian, tegas, dan cenderung kaku. Akibat sikapnya itu, dia dimusuhi teman-temannya.
Dia tetap tegar. Yang menjadi pegangan dia adalah aturan. Selama tidak melanggar aturan organisasi, dia bela mati-matian. Maka, selain dimusuhi teman-temannya, anak buahnya pun ada pula yang mencoba-coba mengail di air keruh. “Saya Pak, kan terus hanya menjalankan aturan,” katanya.
Nasi sudah menjadi bubur. Dan, sejarah akhirnya berulang. Lagi-lagi perpecahan terjadi karena uang. “Sebenarnya sayang nggak mau begini Pak. Saya ingin seperti dulu,” kata teman kita ini. Sikapnya itu mendapat dukungan dari satu teman saya yang senior. “Kita nggak boleh mengulangi kejadian yang dulu,” kata teman yang baru saja menjadi caleg.
Tak bisa lagi diselamatkan. Akhirnya perpisahan terjadi. Dari sini, Srikandi sepertinya tidak merasa menang. Dia malah sedih. Ia merasa kehilangan teman, sahabat yang pernah berjuang di masa sulit. Tetapi, mereka justru bertengkar ketika uang sudah banyak. Dan, akibat yang dirasakan sekarang, setelah pertengkaran itu akhirnya semua kehilang elan vital, kehilang semangat, dan akhirnya lembaga pun terus menurun performanya. Dua teman yang meninggalkan lembaga itu juga redup. Maka benar kata pepatah lama, setiap pertengkaran,”Yang kalah jadi abu, yang menang jadi arang.” Kedua belah pihak tidak ada yang utuh menjadi batang kayu.
Kisah serupa pernah terjadi teman saya yang lain. Sebut saja Budiman. Dia pernah mendapat pekerjaan dari sebuah perusahaan asing yang nilainya lebih dari Rp 1 M. Karena dia ingat teman yang membutuhkan uang, dan teman itu punya kemampuan, maka ia mengajak kawan itu kita namai dia Efik. Ketika pekerjaan selesai, tiba-tiba Efix merasa punya jasa, dialah yang mendapatkan job dan semua bisa karena dia. Dia minta bagian 40% dari keuntungan.
Budiman termasuk orang yang sesuai dengan namanya. Daripada kehilangan teman, ia akhirnya mengalah. Dan memberi apa yang diminta. Budiman juga tetap menjaga pertemanan. “Saya hanya nggak ingin mengajak kerja sama dia lagi,” ujarnya. Selebihnya, ia tidak sakit hati. Tidak pula dendam. Ia hormati sikap Efik. Menurut Budiman, satu pelajaran yang tidak bisa dilupakan dalam berbisnis haruslah tetap tegas. Hatta itu dengan teman sendiri. “Saya nggak menduga, hukum teman ya teman. Bisnis tetap bisnis itu ternyata ampuh. Sialnya, nggak gua lakukan sejak awal,” katanya.
Begitulah Budiman. Ia tak kapok untuk mengajak teman-teman baiknya mengerjakan berbagai pekerjaan. Dan, ada juga teman yang berkhianat seperti Efix. Semua gentleman agreement, berantakan karena teman yang diajak itu mengingkari komitmen. Budiman tetap tak membenci teman yang mengecewakannya. Setahu saya, Budiman sekarang lebih senang memberikan pekerjaan kepada orang yang benar-benar profesional. Bukan lagi teman. “Yang penting hasilnya bagus. Klien nggak kecewa,” kata Budiman. Jika terpaksa memberikan pekerjaan kepada teman, dia akan memberikan perjanjian hitam putih. “Nggak bisa sistem pertemanan lagi,” katanya.
Saya setuju dengan Budiman. Daripada bertengkar karena uang, rasanya harga seorang teman lebih mahal dibanding dengan apapun. Kata orang, musuh satu sudah berlebih. Tapi, teman seribu tetap masih kurang. Saya ingat kata-kata Budiman. “Uang bisa dicari, tapi teman nggak bisa dibeli,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar