Minggu, 10 Oktober 2010

Dakwah ~ Hidup dan Mati …

Hidup dan Mati …

oleh Taufik Hidayat pada 07 Oktober 2010 jam 11:06

Hidup dan mati, tipis sekali batasnya. Baru semenit yang lalu segar bugar, semenit kemudian tinggal nama. Ya, coba tengok korban Hercules di Magetan, Jawa Timur itu. Banyak kejadian semacam ini. Setiap detik. Setiap jam, selalu saja ada orang yang menangis, meratapi kepergian orang-orang yang dicintai.

Orang yang mencintai, yang meratapi, suatu saat juga akan menjadi orang yang ditangisi. Mengihlaskan kepergian orang yang dicintai, juga bukan perkara mudah. Dua bulan lalu, saat ibu meninggal (mudah-mudahan Alloh mengampuni semua dosanya), saya merasakan hal yang sama. Saya berusaha untuk tidak menangis. Toh tidak berhasil juga. Saya bersyukur tidak sampai meratap — sesuatu yang dilarang secara agama. Hanya satu kakak saya, yang selama ini menunggui dan merawatnya, yang begitu terpukul.

Saya punya teman, yang ditinggal orang yang dicintainya, sampai pingsan tiga kali. Dia lelaki seperti saya. Ada juga yang sampai menghukum dirinya dengan tidak mau makan, tidak mau merawat dirinya lagi. Dia sangat terpukul, sampai menyalahkan Sang Pencipta. Menangis, sepanjang tidak meratap, tidak dilarang. Nabi Muhammad Sholallohu Alaihi Wassalam, juga pernah mengeluarkan air mata, ketika putranya, Ibrahim meninggal.

Bagaimanapun, hidup memang harus memikirkan mati. Lebih penting lagi, berpikir kehidupan setelah mati. Sayang, termasuk saya, masih lebih senang berpikir tentang hidup di dunia yang sesaat ini, dibanding mengejar hidup yang abadi.

Saya bertemu dengan orang yang sukses, tetapi tetap bisa juga berpikir tentang kehidupan yang abadi. Kita sebut saja dia dengan nama Kohar. Dia ini seorang direktur sebuah perusahaan IT yang dulu sempat maju. Pak Kohar ini, demikian bertanggung jawab terhadap keluarga dan anak buahnya.

Saking inginnya berpikir setelah kematian, dia hidup seimbang untuk dua tujuan: dunia dan akherat. Dia sudah beberapa kali dibongongi timnya sendiri. Orang-orang kepercayaan sendiri. Partner pertama, masuk bui karena terlibat perbuatan tercela. Orang yang kedua, ngemplang utang di bank dan nggak sanggup bayar. Koharlah yang harus menangung. Padahal, ia tidak ikut menikmati uang hasil utang tersebut. “Ya, saya mau nggak mau harus bertanggung jawab. Ya, inilah cobaan. Kalau hidup tanpa cobaan, kita nggak akan naik derajat,” katanya.

Taruhan Kohar sangat mahal. Selain seluruh hartanya bisa disita bank, dia juga harus kehilangan pekerjaan yang sedang berjalan. Untuk efisiensi, ia harus pindah kantor. Semula di daerah Segi Tiga Emas, belakangan minggir ke arah selatan Jakarta. “Biar lebih irit. Perbandingannya begini mas. Di kantor lama sewa sebulan, di sini bisa untuk satu tahun,” katanya.

Dia tetap tegar. Tak sepatah kata pun dari dia yang menyiratkan dia patah semangat. Toh ia tetap manusia. Yang punya rasa takut. Punya rasa khawatir. Memiliki keterbatasan daya. Dia mengaku, sering menangis bila sholat malam. Ia curahkan semua gundah gulana ini kepada Sang Pemberi Hidup. Bukan kepada ciptaan-NYA.

Saya dulu punya teman SMA, yang setiap kali sholat air matanya selalu berurai. Sholat apapun, dia selalu begitu. Saya bertanya, mengapa dia menangis? “Karena ini mungkin sholat saya yang terakhir,” katanya.

Luar biasa. Memang, salah satu resep agar sholat bisa khusuk, adalah dengan membanyangkan sholat itu sebagai ibadah terakhir. Saya pernah mencoba, tetapi hanya beberapa kali berhasil. Itu pun, seingat saya, hanya di awal-awal rokaat. Selebihnya, pikiran telah berlalu lalang, entah ke mana. Bahkan, terkadang bacaan yang sedang dibaca pun lupa.

Banyak kisah-kisah generasi Salaf (awal) yang menangis setiap kali sholat. Mereka menangis, karena bacaan yang sedang dibaca. Jika bertemu ayat-ayat tentang ancaman, tentang neraka, mereka seperti tersekat lehernya. Tiba-tiba bacaannya terhenti, menangis, dan melanjutkan bacaan. Yang luar biasa, mereka sanggup membaca satu ayat yang isinya ancaman itu berulang-ulang kali dalam satu rakaat. Dan, setiap membaca menangis pula.

Bagaimana sekarang? Di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, tidak sedikit imam yang melakukan hal yang sama. Tentu, jamaah yang tidak mengerti makna ayat yang dibaca, tidak bisa ikut menangis. Seperti saya, ya hanya menebak-nebak saja isi ayat tersebut.

Di beberapa masjid di Jakarta, kabarnya ada juga imam yang sering begitu. Saya beberapa kali mengalami. Ada yang aneh. Ayatnya, setahu saya, bukan tentang ancaman, kok imam itu membaca dengan suara gemetar. Setengah menangis. Saya tidak tahu apa maksudnya. Di situ ada ayat tentang bersyukur dan ruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail (1909-1998)

  H. Abdul Hadi (1909-1998) Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail dilahirkan pada tahun 1909 M di Gang Kelor Kelurahan Jawa, Manggarai Ja...