Minggu, 10 Oktober 2010

Keluarga ~ Bila Suami kembali Cinta pada Pacar Lama

Bila Suami kembali Cinta pada Pacar Lama

oleh Taufik Hidayat pada 04 Oktober 2010 jam 11:10

Jatuh Cinta Pada "Pacar" Lama

Ibu Rieny yang terhormat, Tolonglah saya menemukan kembali logika yang raib entah kemana. Yang saya punya saat ini hanyalah emosi dan perasaan semata. Dan ini betul-betul memporak-porandakan hati dan akal sehat saya. Saya ibu dari 2 anak, usia saya 33 tahun. Rumah tangga saya sampai detik ini baik-baik saja. Saya bersyukur Tuhan menghadiahkan seorang suami yang nyaris sempurna bagi saya. Mencintai, menyayangi, baik hati, pengertian, tanggung jawab. Sungguh bukan pilihan yang salah. Akan tetapi Bu, sejak 4 bulan lalu, muncul "sosok" lain yang mulai memporak-porandakan logika saya. Satu sosok dari masa lalu yang tiba-tiba muncul dan langsung menduduki rating I di kehidupan saya. Kurang lebih 12 tahun lalu, jauh sebelum mengenal suami, saya punya seorang "kakak" yang merupakan segala-galanya bagi saya ketika itu. Dia sangat mencintai, menyayangi, mengerti jiwa saya saat itu yang sedang gencar-gencarnya mencari pengakuan dan jati diri. Kami tidak tinggal sekota, sehingga hubungan hanya via surat. Namun itu bukan halangan. Dari dirinya, saya bisa dapatkan kasih sayang, cinta, perlindungan, perhatian, hiburan, sampai-sampai saya tidak membutuhkan pacar. Semua ini berjalan lancar-lancar saja karena kebetulan kami masih ada hubungan kerabat. Waktu itu saya belum menyadari apa arti cinta dalam arti khusus. Yang saya ketahui, saya menyayangi dia, demikian juga dia. Semua terasa indah dan menyenangkan. Sampai suatu ketika, dia memutuskan menikah secara tiba-tiba dengan wanita yang dia cintai yang saat itu sudah hamil. Tidak tahu kenapa, saya syok, terpukul, rasanya dunia betul-betul kiamat. Yang ada dalam pikiran saya waktu itu perasaan kehilangan yang amat menyakitkan. Satu-satunya orang tempat saya bersandar dan berpegang diambil orang. Saya menangis berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Dia juga merasa bersalah pada saya, lantaran prosesnya mendadak dan tiba-tiba. Saat pernikahannya pun saya enggan hadir bila tidak dipaksa. Bagaimanapun dia "kakak" saya. Akhirnya, saya hadir, tapi bisa Ibu bayangkan, sejak saya menginjakkan kaki di kota tempat dia melangsungkan pernikahan sampai kembali lagi ke rumah, yang namanya air mata tidak kunjung berhenti. Apalagi saat prosesi pernikahan di gereja (kami keluarga Kristiani yang fanatik dan kuat). Semenjak itulah, saya memutuskan tidak lagi mengingatnya. Saya membulatkan tekadharus mandiri, tanpa dukungan orang lain. Semua berjalan seiring waktu, kami tak pernah kontak lagi sampai saya pun kemudian menikah. Pernikahan saya sempat tidak direstui keluarga, karena kami lain agama, dan kalau tidak karena saya hamil mungkin orang tua tidak bakal merestui. Sekarang semua sudah berlalu, rumah tangga kami kini baik-baik saja, orang tua juga sudah bisa menerima menantunya (meski mungkin sangat terpaksa). Saya dan "kakak" jarang sekali bertemu. Paling kalau ada perhelatan besar di keluarga besar kami baru bertemu, itu pun just say hello tanpa pernah mengungkit masa lalu. Sampai di akhir Januari lalu, saya jatuh sakit. Cukup parah dan saya sendiri sempat syok berat begitu dokter memvonis saya mengidap penyakit ini. Di tengah kekalutan, kekacauan hati, tiba-tiba saya teringat kembali pada sosok "kakak" yang pernah saya punyai. Saya hubungi dia lewat SMS, dan itulah awal kedekatan kami kembali. Respons dia sangat luar biasa dan di luar dugaan saya. Sejak itu, tiada hari tanpa SMS darinya. Jam 11 malam pun dia SMS sekedar mengucapkan, "Good Night, kamu harus kuat." Pagi saat bangun, dia pun pasti langsung SMS. Lalu, kami sepakat bertemu karena kebetulan saya harus menjalani pemeriksaaan di kota di mana ia tinggal. Dia menawarkan saya tinggal di rumahnya. Saya terima, karena secara teknis menguntungkan saya. Suami dan orang tua saya pun setuju. Bu, saya laksana anak belasan tahun yang tengah jatuh cinta. Hubungan saya dengan istrinya juga baik-baik saja. Setiap saya check up, "kakak" menemani saya. Di saat saya kesakitan, ia menghibur. Itu pun tanpa istrinya. Bagaimana saya tidak serasa melayang mendapat perlakuan seperti itu, Bu?Dia tetap kirimi saya SMS setiap malam, dan kami mengobrol sampai larut malam. Padahal kami cuma beda kamar. Apakah dia mengasihani saya karena umur saya tidak lama lagi? Dia bilang sejak dulu mencintai saya, tapi tidak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya. Dan suatu malam, untuk pertama kalinya ia mengatakan "I love you." Saya lebih syok lagi mendengar kami dulu sebetulnya sudah dijodohkan. Orang tua saya amat berharap dia mau jadi menantunya, juga sebaliknya, tapi karena salah seorang kakaknya tidak setuju, maka orang tua saya tak meneruskannya. Dia sendiri baru tahu setelah menikah. Bu, dia kemudian memeluk, mencium saya, dengan rasa yang berbeda. Semua itu dia lakukan tanpa sepengetahuan istrinya. Apakah ini sudah dapat dikatakan perselingkuhan? (ya, tentu saja, RH). Saat perawatan sudah usai dan saya harus kembali, ada ketakutan yang teramat sangat. Takut kehilangan! Malam sebelum saya pulang, kami sama-sama tidak tidur sampai pagi. Tengah malam, dia SMS saya dan bilang menunggu saya di luar. Saya bingung dan takut. Bagaimana mungkin saya melakukan itu sementara istrinya terlelap. Namun, akhirnya saya keluar juga untuk pamit dan mengucapkan terima kasih padanya. Malam itu, kami hanya duduk berhadapan tanpa bisa bicara apa-apa. Kami sama-sama hanyut dalam tangisan. Kami berpelukan, erat sekali. Entah berapa kali dia ucapkan "Saya mencintai kamu" malam itu. Sekarang saya sudah kembali ke istana saya bersama suami dan anak-anak yang mencintai saya. Tapi sekarang ada bayangan lain yang kerap hadir dan mengganggu, Bu. Sejak malam itu, kami masih tetap berhubungan via SMS. Malah makin parah daripada sebelumnya. Suami tahu saya sering SMS-an dengan "kakak" dan ia oke saja. Perlu Ibu ketahui, saya dan suami bekerja di bidang entertainmen, sehingga kecemburuan jarang sekali ada. Prinsip kepercayaan kami junjung tinggi. Yang lebih parah, pihak keluarga sangat mendukung kedekatan kami kembali (walaupun tanpa tendensi apa-apa). Orang tua saya malah menitipkan saya pada "kakak." Bu, saya sangat butuh dia untuk menyemangati saya, menguatkan hati saya. Serakahkah saya, Bu? Saya butuh dan tidak ingin kehilangan keduanya. Mereka punya arti berbeda tapi sama dalam hidup saya. Tolonglah saya menemukan sikap yang terbaik. Terima kasih. X - Somewhere

Bu X yang terhormat, Saya yakin Anda tidak menyurati saya dengan harapan saya akan memberikan pembenaran pada apa yang Anda lakukan kini, atas nama apa pun! Bahkan, ketika umur kita tinggal beberapa tarikan napas pun, yang tidak diizinkan oleh ajaran agama, tidak akan berubah menjadi "boleh dilakukan," bukan?

Saya ingin sekali mengajak Anda menelaah, mengapa emosi mengalahkan akal sehat Anda. Rasanya, bertambahnya usia belum berperan banyak pada bertambahnya kematangan kepribadian Anda. Kebetulan, ada faktor pencetus yang relatif "hebat," sehingga dampaknya juga terasa seru.

Bayangkan saja, bertemu dalam keadaan sakit yang tak tersembuhkan, ternyata "kakak" sangat memerhatikan Anda, lalu "old flame" alias api cinta yang lama berkobar lagi dan terasa makin seru karena masing-masing sudah terikat dalam perkawinan!

Sisi intelegensi Anda saya rasa berada di taraf yang cukup tinggi. Cara Anda bercerita menunjukkan Anda punya cara berpikir yang runtut, sistematis, dan logis. Saya harus katakan, orang seperti Anda, bila tak dibarengi pemilikan norma dan nilai kehidupan yang jelas dan (lebih penting lagi) benar, akan mudah sekali mencari pembenaran atas apa-apa yang ingin dilakukan, serta berani pula menanggung risiko untuk "melawan arus" dalam arti tampil beda. Alasan yang paling umum dipakai biasanya adalah: "Yang penting saya tidak mengganggu orang lain."

Kenapa Anda merasa cocok sekali dengan "sang kakak"? Rupanya ada banyak hal yang bisa dicari persamaannya. Bukankah Anda dan dia sama-sama menikah karena kecelakaan? Sama-sama menikmati hal-hal terlarang demi pemuasan syahwati? Dengan memohon maaf, ingin saya ingatkan bahwa untuk tetap berada pada posisi pembuatan keputusan yang tidak mengedepankan emosi dan memporak-porandakan akal sehat (seperti istilah Anda), landasan utama yang harus dan mesti ada sebenarnya adalah agama, Bu.

Di dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk di dalamnya perkawinan, titik inilah justru kerawanan Anda berada. Bisa saja Anda mengatakan keluarga Anda fanatik dan kuat, tetapi nyatanya dalam rentang kehidupan hingga kini, hal itu tidak tercermin pada keputusan penting yang Anda buat dalam menapakinya. Sudah di masa muda Anda menikah karena kecelakaan, Anda tetap berbeda keyakinan dengan suami walau sudah punya 2 anak, dan yang paling mutakhir, walaupun Anda katakan suami adalah the best yang bisa Anda miliki, ternyata Anda khianati juga kepercayaannya.

Seorang dikatakan fanatik beragama bila ia memiliki keyakinan penuh atas apa yang dikatakan sebagai kebenaran, kebaikan dan keburukan, serta apa yang disuruh dan dilarang agamanya. Nah, silakan periksa diri, apakah kriteria ini "masuk" bila dilekatkan pada diri dan perilaku Anda selama ini?

Secara psikologis, kebutuhan Anda untuk memperoleh penguatan dari sosok lain di sekitar Anda, selain orang tua dan suami, sebenarnya amat dapat dipahami. Seseorang yang divonis mengidap penyakit yang membuatnya merasa dekat dengan kematian, biasanya merasa lemah, sendirian, dan amat sensitif terhadap bentuk-bentuk perhatian dan sikap peduli lingkungannya. Tetapi, bila ini lalu dibarengi oleh pemahaman dan keyakinan kuat bahwa dalam kondisi apa pun manusia harus hidup di relalias jalur yang sesuai dengan ajaran agamanya, maka ia tidak perlu terjerumus ke dalam perselingkuhan, bukan?

Mudah-mudahan Anda sepakat dengan saya, setiap manusia yang hidup di dunia ini sebenarnya setiap saat justru bergerak menjauhi kehidupan, karena ia makin mendekat pada kematiannya. Maka, bila ia percaya akan ada kehidupan setelah mati, sebuah kehidupan di mana manusia sudah tak punya peluang lagi untuk berbuat amal kebaikan, niscaya setiap kesempatan akan ia pakai untuk memperbanyak "tabungan"nya.

Bila Anda katakan, "kan saya tidak berhubungan intim?", pada hemat saya, begitu perempuan merasa nyaman saat berinteraksi dengan laki-laki yang bukan suaminya, ia sudah mulai melakukan perselingkuhan. Tingkat keparahannya bertambah bila intensitas hubungannya makin teratur dan seperti yang Anda katakan, kebutuhan untuk terus berhubungan lalu makin meningkat pula.

Anda sudah tahu melakukan semua ini berarti akan berpeluang buruk bagi kelangsungan rumah tangga Anda, batin Anda akan makin tidak tenang karena gejolak antara rasa senang berlawanan dengan rasa bersalah di dalam diri. Anda juga sudah tahu, kok, yang bisa menghentikan ini semua adalah Anda sendiri.

Saya tak mau membuang waktu bicara tentang "kakak" Anda itu, karena saya berpendapat laki-laki tidak akan bisa melanjutkan "serangan-serangan" dan rayuan gombalnya kalau perempuan tidak memberi respons. Minta ampun pada Tuhan sekaligus kesembuhan untuk penyakit Anda. Kalau saya jadi Anda, akan saya buang kartu telepon saya dan saya ganti yang baru, lalu saya tolak semua upayanya menghubungi saya!

Dekatkan diri terus kepada Tuhan, sambil mensyukuri hari-hari dalam kehidupan yang masih bisa Anda nikmati, karena ini berarti Anda masih diberi kesempatan memperbanyak amal kebaikan Anda. Kalau ini masih belum cukup kuat untuk memotivasi diri, ada satu cara lagi yang saya anjurkan.

Berdiam dirilah sejenak dan bayangkan bila Anda sudah meninggalkan dunia yang fana ini, dengan cara apa Anda ingin dikenang oleh orang-orang terdekat Anda? Suami, anak-anak, dan orang tua Anda? Bagaimana rasanya kalau anak Anda pada suatu hari di dalam hidupnya akan menjawab seperti ini: "Memang, sih dia ibu saya, tapi saya tidak bangga padanya, karena hidupnya tidak diwarnai oleh ketaatan beragama. Dia begini dan begitu, yang isinya dosaaa melulu."

Tidak nyaman, kan, Bu? Apalagi untuk yang masih hidup di dunia ini. Nah, buatlah "rekaman kehidupan" yang diwarnai keindahan budi pekerti dan kasih sayang yang tulus, sehingga bila Anda kelak meninggal dunia, orang-orang terdekat Anda akan mengenang Anda dengan penuh cinta dan air mata kerinduan, karena yang muncul di ingatan mereka adalah ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya dan istri yang menjunjung tinggi kesetiaannya pada sang suami.

Pilihannya ada pada Anda, Bu X. The Choise is yours ...Salam sayang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail (1909-1998)

  H. Abdul Hadi (1909-1998) Guru Hadi atau Abdul Hadi bin KH. Ismail dilahirkan pada tahun 1909 M di Gang Kelor Kelurahan Jawa, Manggarai Ja...