Siang itu saat putri kecilku pulang dari sekolah.
"Assalamualaikum!" teriaknya dengan muka lugu tanpa dosa memberi salam kepadaku.
"Walaikumsalam. Kamu dah pulang Keysia?" jawabku kepada Keysia.
"Sudah Bunda. Bunda masak apa?" tanya Keysia kepadaku sambil membuka sepatu dan mengganti seragamnya.
"Bunda masak sayur sop dan goreng empal daging," seruku kepada Keysia.
"Bunda, Kakek mana?" Keysia menanyakan keberadaan kakeknya, bapakku. Memang Keysia begitu dekat dengan Bapak, entah karena cucu pertama entah karena adanya persamaan sikap yang sama-sama keras kepala.
"Kakek di belakang sedang berbaring di balai-balai," jawabku. Memang rumah kami tidak terlalu besar, tetapi di halaman belakang ada balai bambu tempat beristirahat di samping pohon durian yang rimbun.
Kulihat Keysia dan Bapak sudah bercanda bersama lagi, dan tampaknya Keysia sedang menceritakan tentang pengalaman sekolah yang dialaminya hari itu. Setelah puas bermain berdua, kulihat Bapak terbaring dia atas balai bambu sambil bersenandung bersama Keysia. Cucu perempuannya tampak membaringkan kepalanya di sisi Bapak, ikut menikmati nyanyiannya walaupun Keysia jelas tidak mengenal lagunya. Dan kulihat Keysia menyodorkan sebuah buku tata cara sholat untuk kakeknya. Bapak hanya tersenyum, tahu akan apa yang bakal dikatakan cucunya.
"Ayo Kek, Keysia ajarin caranya sholat seperti diajarin ibu guru di sekolah ya," pintanya polos dengan mata berharap.
"Lagi? Kemarin kan sudah," elak Bapak dengan nada bercanda, walau suaranya terdengar parau akibat tubuhnya yang kian melemah.
"Kemarin kan Kakek belum aku kasih tahu," protes Keysia sebal.
"Kakek ngantuk Keysia, Kakek kan sakit," elak Bapak lagi kemudian langsung membalikkan tubuhnya pura-pura mendengkur. Keysia tidak melanjutkan protesnya, dia percaya kakeknya benar-benar tidur. Gadis kecil itu berjinjit untuk mencium kening kakeknya dengan sayang.
"Maafin Keysia ya, udah ganggu Kakek. Met bobo Kakek sayang." Bapak tampak tetap pura-pura tidur.
Sebenarnya Bapak dulu selalu menjalankan sholat, bahkan hampir semua sholat sunnah dikerjakannya. Bukankah dulunya Bapak anak seorang guru ngaji sebelum terjerembab dalam kehidupan sebagi preman. Bapak sering bercerita tentang peristiwa lalu, kejadian pahit yang telah mengubah hidupnya.
*****
Pada awal pernikahannya dengan Ibu, Bapak bekerja sebagai buruh pabrik dan mereka bahagia dengan kehidupannya yang dijalani dengan indah. Aku pun mendapat kasih sayang yang penuh dari Bapak dan Ibu. Walau kami dulu tinggal di rumah kontrakan yang terbilang sangat sempit tapi kami bahagia, sampai suatu saat pabrik garment tempat Bapak dan Ibu bekerja gulung tikar dikarenakan krisis ekonomi dan kenaikan harga BBM yang mempengaruhi kenaikan harga bahan baku dan penurunan penjualan.
"Bu, pabrik tempat kita bekerja tutup. Kita harus bagaimana ya Bu?"
Aku ingat ucapan Bapak waktu itu, saat aku masih duduk di bangku kelas 5 SD.
"Sabar Pak, kita coba usaha saja," jawab Ibu dengan penuh kesabaran. Ibu adalah seorang yang sabar dan penyayang terhadap aku dan adikku.
Setelah tidak bekerja pada pabrik garment tersebut, kehidupan kami mengalami penurunan yang drastis. Ibu mencoba berjualan lauk matang di rumah, dan Bapak mencoba menjadi pedagang kaki lima dan berjualan di depan perkantoran elit.
Musibah yang datang tetap kami jalani sekeluarga dengan sabar, orangtuaku begitu ikhlas menjalani semuanya. Dan Bapak pernah berkata kepada kami sekeluarga, "Hidup itu berat tetapi tetap harus dijalani, seberat dan sesusah apapun. Jangan mengeluh dan merepotkan orang lain." Itulah prinsip Bapak. Aku salut kepada Bapak, walau dalam keadaan susah beliau tetap tegar sebagai tulang punggung keluarga.
Tetapi awan hitam masih menyelimuti keluarga kami. Ketika aku pulang sekolah aku melihat banyak orang berlari-lari di dekat rumah kontrakan kami sambil berteriak-teriak dan membawa ember untuk memadamkan api. "Kebakaran... kebakaran..." begitulah orang-orang berteriak. Dan begitu pilu melihat rumah kontrak kami habis dilalap si jago merah. Lalu aku pun panik mencari Ibu dan Bapak.
"Bang Roni, Ibu mana, Bapak kemana?" tanyaku dan aku pun menangis sekencang-kencangnya melihat kejadian itu. Seorang yang kusapa Bang Roni, tetangga kami dalam rumah petak kontrakan kami, mengantarkan aku ke Ibu.
Kulihat Ibu sedang Ibu sedang menangis sesenggukan di pojok mushola dan Bapak masih berusaha menyelamatkan barang berharga yang tertinggal di rumah kami, walau memang kami sebenarnya tidak memiliki apapun di rumah.
"Gusti Allah, mengapa Kau tidak berhenti memberi kami cobaan," begitu ratap Ibu kala itu sambil menggendong adikku, Budi, dan dalam kondisi hamil 6 bulan. Begitu kulihat guratan kepedihan yang dialami Ibu.
Setelah kebakaran padam, kami sekeluarga tidak mempunyai tempat tinggal lagi.
"Ibu, lalu kita tinggal dimana?" tanya Budai dengan polos menanyakan kemana kami akan tinggal. Ibu hanya diam tak bisa menjawab pertanyaan Budi ketika Budi baru pulang sekolah kala itu dan diam melihat rumah kontrakan kami habis dilalap api.
Kulihat Bapak membawa beberapa benda berharga yang kami miliki, berupa radio butut dan beberapa pakaian kami sekeluarga. Keringat dan air mata tampak jelas di muka Bapak kala itu. Sungguh dunia seakan runtuh, dan bapakku, seorang yang tegar pun, seakan tidak kuat menanggung beban yang dihadapinya.
Dalam hati, tangan mungilku waktu itu hanya bisa mengadah dan menghadap langit dan berdoa.
"Tuhan, kenapa rumah Ika dibakar? Sekarang Ika, Budi, Bapak, dan Ibu harus tinggal dimana?" aku pun menangis sekencang-kencangnya. Bapak dengan tangan yang kasar memeluk aku dan Budi sekakan ingin berkata, "Sabar Nak. Bapak akan mencari jalan keluar terbaik untuk kalian."
*****
Karena tidak memiliki uang dan apapun, akhirnya kami dengan suatu pilihan berat, diajak oleh Pak Nainggolan, teman Bapak sewaktu berjualan di emperan, tinggal di bawah kolong jembatan.
"Ini rumah baru kita Ka, Bud," terlihat Bapak dengan muka yang dibuat seolah Bapak bahagia dengan sesuatu yang dibilangnya rumah, walau hanya terdiri dari tumpukan-tumpukan kardus bekas di bawah kolong jembatan.
Walau terbuat dari kardus, rumah kami begitu nyaman. Aku nyaman dengan bekap kedua orangtua. Bapak dan Ibu begitu memberi rasa cinta mereka kepada aku dan Budi. Bapak kini berusaha mencari nafkah dengan menarik becak. Aku dan Budi, karena tetap ingin sekolah, memutuskan untuk mengamen di jalan. Uangnya aku kasih ke Ibu.
"Bu, ini hasil ngamen aku dan Budi. Bu, Ika mau sekolah lagi," ucapku sambil memberi uang receh sebesar 10 ribu.
"Iya Bu, Budi kangen sama teman-teman Budi. Budi mau sekolah lagi." Ibu hanya diam dan menangis.
"Bapak pulang!" teriak Budi.
"Eh Bapak," ucapku menyambut kedatangan Bapak waktu itu.
"Bapak bawa nasi bungkus Nak, buat kalian makan."
Bapak membawa nasi bungkus plus tempe, tahu, dan kerupuk. Itulah yang biasa kami makan. Nasi tersebut oleh Ibu dibagi empat untuk aku, Budi, Bapak, dan Ibu.
Walau hanya makan seadanya, alhamdulillah kami masih bisa makan tiga kali sehari, dengan porsi seadanya. Kulihat Bapak tetap tegar menjalani harinya dan tetap menjalankan sholat lima waktu. Bapak selalu menggunakan baju koko kebesaran yang tersisa dari kebakaran rumah kami yang dulu.
"Bapak, kayaknya Ibu sudah mau melahirkan deh satu bulan lagi," ucap Ibu waktu tengah malam, saat aku pura-pura tidur dan mendengarkan percakapan Bapak dan Ibu.
"Iya Bu, tapi melahirkan dimana. Bapak tidak punya uang untuk biaya melahirkan, gimana ya Bu?" kulihat Bapak melamun di sana.
Sore itu sepulang mengamen dengan Budi, kulihat Bapak duduk diam di pojok rumah.
"Sore Pak, kok tidak narik Pak?" tanyaku polos kepada Bapak.
"Becak Bapak disita oleh polisi. Katanya Bapak melanggar peraturan lalu lintas. Polisi mengatakan apa Bapak gak lihat di tiang depan sana ada gambar becak dilarang masuk area sini," begitu kata Bapak tentang kejadian diambilnya becaknya. Kulihat Bapak menangis di depan rumah kardus kami.
Bapak mengepal tangannya sambil memukul tanah tanda kekesalannya, kekesalan tentang garis hidup dan kemiskinan yang menimpa kami. Dia berteriak, "Aku benci padaMu ya Allah. Tidak habis pikir aku, pekerjaanku, rumahku dan kini becakku Kau ambil semua. Kenapa, apa salahku, aku benci padaMu ya Allah!"
Ibu hanya diam, tidak ada sepatah kata, hanya tersenyum dan memeluk Bapak dari belakang, seakan berusaha menenangkan Bapak.
Sudah tiga bulan ini Bapak menganggur, dan sejak saat itu kerjaan Bapak cuma luntang lantung tidak jelas. Ibu mencoba mencari nafkah kami dengan memulung dan aku dan adikku tetap mengamen. Saat aku mengamen di perempatan lampu merah, kulihat seseorang seperti Bapak melakukan pencopetan dan orang tersebut dikejar-kejar massa. Untungnya orang itu berhasil menyelamatkan diri dari amukan massa.
Ketika di rumah aku bertanya kepada Bapak, "Pak, tadi aku lihat seorang pencopet dikejar massa. Kasihan orang itu Pak, kenapa dia mencopet ya Pak?"
Tidak seperti biasanya Bapak yang kukenal ramah membentakku, "Sudahlah, anak kecil tau apa sih!" Kulihat Bapak memegangi sebuah luka di kakinya yang sama kulihat dengan pencopet yang kulihat sempat terjatuh di lampu merah tadi.
Pada awalnya Bapak tidak berterus terang kepada Ibu, aku, dan adikku, tetapi lama-lama kami tahu bahwa Bapak telah bergabung dengan kelompok preman Bang Hasan Palembang, sebuah gang preman yang sering merampok, menodong, dan berbuat kekerasan lainnya.
"Ini uang untuk Ika dan Budi sekolah lagi Bu," suatu hari Bapak menyerahkan uang kepada Ibu, "Dan Ibu, tolong jangan memulung lagi. Sebentar lagi Ibu sudah akan melahirkan."
"Ini uang dari mana Pak?" tanya Ibu kepada Bapak.
"Sudahlah kamu tidak perlu tahu!" bentak Bapak kala itu.
Tetapi suatu hari aku melihat tangan Bapak berdarah-darah, seperti habis berkelahi dan banyak kawan-kawan Bapak yang datang ke rumah.
"Cung, aku nggak nyangka kalo kamu tega membunuh lelaki itu."
"Itu masalah pilihan Met, aku terdesak waktu itu, nggak ada pilihan lain!" Bapak membela diri.
"Tapi tidak harus dengan membunuhnya kan?"
"Aku tidak menyangka kalau sabetanku mengantarnya meregang nyawa."
"Bodoh kamu, hasil sabetanmu nyaris memutuskan lehernya, mana mungkin nggak mati."
"Oke, ike, aku mengaku salah. Saya kira kita tidak usah memperpanjang masalah ini, oke."
Sahabat Bapak yang dipanggil Memet diam.
Aku bercerita kepada Ibu tentang kejadian tadi dan bahwa Bapak menjadi preman, tetapi Ibu diam, seakan tidak bisa berkata lagi.
"Sudahlah Ika, kamu sekolah saja, biarkan bapakmu mencari uang. Kita doakan saja bapakmu selamat," ucap Ibu pasrah dengan penjelasanku tentang Bapak.
Makin lama nama Bapak sebagai preman semakin berkibar dan Bapak terkenal dengan julukan si Kuncung dari Semarang. Apakah aku harus bangga atau sedih, perasaan yang tidak bisa aku deskripsikan. Sekarang aku anak jagoan, anak preman, banyak orang takut terhadap aku, mungkin karena keangkeran nama Bapak.
Pernah suatu hari, aku menunggak membayar uang sekolah selama 5 bulan dan aku tidak bisa mengikuti ujian sekolah. Aku menceritakan hal ini kepada Ibu, lantas Ibu menceritakannya kepada Bapak. Ternyata Bapak membawa teman-temannya menyatroni rumah kepala sekolah kami dan hampir melukai kepala sekolah walau pada akhirnya kepala sekolah tersebut dapat memahami dan memperbolehkan aku mengikuti ujian.
Semenjak kejadian kepala sekolah didatangi Bapak semenjak itu di kelas aku pun ditakuti. Tidak ada orang yang berani menggangguku karena takut kepada Bapak, semua teman-temanku dan guru-guruku tidak berani menggangguku. Tapi walau aku anak preman, aku bukan seorang yang menggunakan nama Bapak. Prestasiku sangat bagus dan memuaskan. Pada kelas 1 -3 SMP aku selalu menjadi yang terbaik di sekolah, begitupun Budi adikku, dia termasuk anak yang cerdas.
Dan aku berhasil lulus SMU dengan nilai yang sangat memuaskan. Aku mencoba melamar ke kelurahan dekat rumah kardusku, dan alhamdulillah aku diterima menjadi pegawai honorer di sana. Bapak masih tetap seorang preman. Walaupun begitu Bapak tidak pernah main judi, minum minuman keras ataupun main perempuan. Bapak tetap seorang yang hangat di keluarga, walau di luar Bapak ditakuti.
*****
Aku sangat bersyukur karena aku bisa diterima sebagai karyawan di kelurahan walaupun aku menjadi pegawai rendahan di kelurahan. Dengan begitu aku bisa sedikit mengangkat kehidupan keluargaku. Alhamdulillah, aku bisa mengontrak rumah untuk kami sekeluarga walau hanya sebuah rumah petak seperti rumah kontrakan kami yang kebakaran dulu. Memang itu tekadku semenjak dulu, yaitu mengangkat martabat keluarga, dan ibu sudah tidak aku perbolehkan memulung lagi. Kini Ibu mulai membuka usaha menjual makan di depan rumah kontrakan.
Tetapi Bapak masih dengan kegiatannya menjadi preman jalanan, tetapi sudah tidak seberingas dulu lagi. Bapak hanya memegang lahan parkir, tidak ikut mencopet, menodong atau tidak kekerasan lagi. Dan kini bukan hanya ada aku dan Budi, aku memiliki adik bernama Andi yang lahir di tengah kesusahan ekonomi keluarga kami.
Sebagai pegawai kelurahan, tugasku mengurus pembuatan KTP. Dari pengurus KTP, aku bertemu dengan Mas Sapto, seorang yang ternyata menaruh hati padaku. Memang banyak orang yang menyukai aku karena kata orang aku cantik, dengan tubuh mungil dan kulit putih. Tapi beberapa orang takut terhadap Bapak, atau mereka menghindari aku karena aku tinggal di kolong jembatan. Memang aku telah biasa dilecehkan sebagai orang yang berekonomi sangat rendah. Kami yang hidup di kolong jembatan sudah tidak dianggap dalam catatan pemerintah, hal ini aku ketahui setelah aku bekerja di kelurahan.
Tentang permasalahan cinta, Ibu melarang aku untuk berpacaran karena Ibu tidak mau aku dipermainkan laki-laki.
"Laki-laki itu buaya semua, Nduk," begitu kata Ibu. Aku selalu mengikuti saran dari Ibu dan aku ingin berbakti kepada kedua orangtua karena aku tahu, mereka sudah susah payah membesarkan aku dengan liku hidup yang begitu sulit.
"Nama kamu Ika ya," begitulah awal perkenalanku dengan seorang pemuda. Namanya Iwan Subrata, seorang pegawai bank swasta yang menaruh hati padaku. Pada awalnya aku hanya menanggapi dingin karena aku takut berakhir dengan kekecewaan. Tetapi Iwan berhasil meluluhkan hatiku yang membeku.
"Ika, maukah kamu menikah dengan aku?" Pada suatu hari Mas Iwan bertandang ke rumahku memberi sebuah kertas yang isinya sangat menggemparkan hatiku. Dia memintaku untuk menikah dengannya. Aku hanya diam dan bingung dengan perasaan yang ada pada diriku.
"Kamu serius atau mau mainin aku? Kalau kamu mau mainin aku, lebih baik kamu pergi, aku takut kamu dihajar Bapak. Bapakku preman Mas, dan aku hanya hidup sebagai orang yang tidak punya. Apa kamu siap menikah dengan aku dengan kondisi yang memprihatinkan?" tulisku dalam surat balasan yang kuberikan pada Budi.
"Aku tidak takut dengan bapakmu. Seorang bapak akan melindungi anaknya, itu pasti. Tapi aku serius Ika, aku ingin menikah dan menghabiskan sisa hidupku dengan kamu. Keluargamu adalah keluargaku, aku siap dengan kondisi seperti apapun," sebuah inti suran yang dikirim kepadaku. Akhirnya aku menyetujui untuk menikah dengannya.
Semua tidak berjalan mulus. Aku tahu bahwa keluarga Mas Iwan datang dari keluarga yang terhormat, sedang aku dari keluarga yang teramat miskin. Pada awalnya ibu Mas Iwan sangat menentang keinginan Mas Iwan. Dia bilang aku berasal dari bibit, bobot, bebet yang tidak jelas, bapakku preman, dan aku tinggal di rumah kardus. Tapi hal itu tidak menyurutkan tekat Mas Iwan untuk menyuntingku.
Mas Iwan menemui Bapak pada hari Minggu sore.
"Asalamualaikum," Mas Iwan datang saat Bapak ada di rumah.
"Masuk. Ada apa?" tanya Bapak dengan acuh.
"Begini Pak, nama saya Iwan Subrata. Saya datang dengan maksud ingin menikahi putri Bapak, Ika. Tapi sebelum orangtua saya datang, saya memberanikan diri untuk menanyakan kesediaan Bapak untuk memperbolehkan saya menikahi anak Bapak," jelas Mas Iwan kepada Bapak kala itu. Bapak awalnya sangat terkejut, tapi Bapak adalah seorang yang bijaksana dan memperbolehkan putrinya untuk dinikahi oleh Mas Iwan.
Dalam waktu enam bulan setelah permintaan Mas Iwan akhirnya kami menikah. Sebuah pernikahan sederhana di rumah itu dan aku bahagia bersama dengan Mas Iwan yang sangat baik. Berkat Mas Iwan, adikku Budi bisa melanjutkan kuliah dan menjadi seorang sarjana ilmu komputer. Budi telah bekerja sebagi seorang staf IT di perusahaan multinasional, sedang Andi, adikku terkecil, masih sekolah di SMU. Bapak dan Ibu kini tinggal bersama kami.
Aku pun kini telah mempunyai seorang putri kecil yang cantik dan ceria bernama Keysia, seorang yang sifatnya mirip Bapak, keras kepala. Bapak kini telah meninggalkan pekerjaannya sebagai preman. Dia membuka usaha bengkel dengan modal dibantu oleh Budi, tetapi mungkin rasa sakit hati Bapak terhadap Tuhan masih membekas di hatinya. Sampai saat ini Bapak tidak mau sholat.
Pada suatu hari Bapak sakit. Aku membawanya ke rumah sakit dan mendapat pernyataan bahwa Bapak menderita penyakit paru-paru akut, penyakit yang susah diobati.
"Pak," aku memandangnya lekat-lekat, ingin memulai pembicaraan. Mataku sembab habis menangis.
"Dokter bilang umur Bapak tidak lama lagi kan?" tebak Bapak. Aku menggeleng lemah.
"Dokter tidak bilang begitu. Dia hanya bilang kalau Bapak sakit parah dan sulit diobati."
"Itu sama saja," kata Bapak. Pandangan matanya mengabur seakan ada ribuan kunang-kunang mengitari dirinya. Dia lalu mengenang hidupnya yang sangat keras.
Satu yang Bapak pernah cerita kepada Ibu bahwa Bapak sangat menyesali pernah mengutuk Allah dan tidak pernah sholat. Bapak bercerita bahwa dia takut ibadahnya tidak diterima. Kini Bapak bahkan hampir lupa caranya sholat.
Mas Iwan, aku, Budi, bahkan Keysia berkeinginan kembali mengajarkan Bapak sholat, tapi kadang masih ada kegalauan dalam hati Bapak.
"Bapak belajar sholat ya?" aku sering mengajak Bapak, tapi teguranku membuat Bapak terkejut karena selama ini Bapak menganggap aku tidak pernah mempermasalahkan keislamannya.
"Bapak, biarlah yang dulu kekerasan hidup dan cobaan hidup berlalu. Allah selalu menguji kita karena Allah sayang kita kan Pak. Buktinya kini Allah memberi sesuatu yang indah. Budi bisa kuliah seperti mimpi Bapak dulu, dan aku telah menikah dengan Mas Iwan, orang yang menyayangi aku dan keluarga kita, serta ada Keysia, cucu Bapak yang sangat mencintai Bapak," ujarku.
Tampak sebuah senyum dari wajah Bapak seakan dia setuju tentang apa yang telah aku terangkan kepadanya. Setelah pembicaraan itu aku melihat Keysia masuk ke dalam kamar, "Eh, Kakek udah bangun. Sini Keysia ajarin cara sholat."
"Boleh, tapi ajarinnya pelan-pelan ya."
Bapak pernah berkata tentang harapannya dia ingin kembali berbakti kepada Allah dan menjalankan perintahnya sebelum dia meninggal. Suatu keajaiban telah terjadi dalam hidupku. Aku melihat Bapak telah melaksanakan sholat ashar berjamaah dengan Keysia putriku. Alhamdulillah, seorang preman tua telah kembali insyaf dan sholat karena seorang putri kecil yang begitu mencintainya. Keysia, putri kecilku yang cantik yang bisa meluluhkan seorang preman tua dan menuntunnya ke jalan Allah, bukan karena kepintarannya tapi ketulusan yang ia pancarkan dari tubuh kecilnya.
Aku pun terharu atas kejadian yang kusaksikan, dan kupanjatkan doa kepada Allah atas sumua karunia yang telah diberikan kepadaku.
"Ya Tuhanku, tunjukkanlah aku untuk mensyukuri nikmatMu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan suapaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhoi. Berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Amin."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar